
Krisis Energi Mengintai, Kapan Dunia Bisa Tenang Bung?

Jebloknya Wall Street tentunya menjadi kabar buruk bagi bursa saham Asia hari ini, termasuk IHSG. Apalagi bursa saham Eropa juga berguguran kemarin, semakin menunjukkan sentimen pelaku pasar sedang memburuk.
Seperti disebutkan sebelumnya kenaikan yield Treasury membuat pasar saham rontok. Dalam 4 hari terakhir total 18,57 basis dan saat ini berada di level tertinggi sejak 17 Juni lalu.
![]() |
Kenaikan yield Treasury tenor 10 tahun tersebut menjadi indikasi pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga. Alhasil, kenaikan tersebut tidak hanya membuat pasar saham rontok, tetapi pasar SBN juga akan goyang lagi, dan rupiah juga berisiko kembali melemah.
Kabar buruk lainnya, krisis energi yang terjadi di Eropa dikhawatirkan akan memberikan dampak secara global. Krisis tersebut dimulai akibat meroketnya harga gas alam.
Reuters melaporkan sepanjang tahun ini harga gas alam di Eropa sudah meroket hingga 280%, sementara di Amerika Serikat (AS) lebih dari 130%.
Berdasarkan data Refinitiv, pada perdagangan Selasa harga gas alam di Henry Hub (Oklahoma, AS) tercatat US$ 5,841/MMBtu, naik 2,37% dari hari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sejak Februari 2014.
![]() |
Banyak faktor yang dikatakan memicu lonjakan harga gas alam. Mulai dari rendahnya persediaan, pengurangan penggunaan energi fosil, hingga kurangnya supply dari Rusia.
Awal mula penurunan persediaan terjadi di bulan April lalu, saat Eropa mengalami cuaca dingin yang tidak biasa, membuat permintaan gas alam meningkat. Persediaan sejak saat itu berkurang drastis hingga di bawah rata-rata lima tahun sebelum pandemi. Penurunan tersebut mengindikasikan terjadinya krisis pasokan.
Kenaikan harga gas alam tersebut diperkirakan masih akan terus terjadi mengingat sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Kenaikan harga gas alam membuat biaya utilitas yang harus ditanggung warga Benua Biru meningkat drastis, kemudian inflasi yang sudah tinggi akan kembali melonjak. Pada akhirnya daya beli masyarakat melemah, konsumsi menurun, dan pemulihan ekonomi bisa terancam.
Reuters yang mengutip para analis mengatakan pukulan terhadap perekonomian memang tidak terelakkan, tetapi saat ini masih terlalu dini untuk memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB).
Meski demikian, kenaikan harga energi tersebut meningkatkan risiko stagflasi, atau kondisi dimana inflasi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi rendah.
"Cukup jelas ada rasa tidak nyaman yang berkembang mengenai prospek perekonomian, karena semakin banyak dunia usaha yang melihat prospek kenaikan biaya" kata Michale Hewson, kepala analis pasar di CMC Market.
Tingginya harga energi yang bisa memicu kenaikan inflasi sudah masuk dalam radar bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Gubernur ECB, Christine Largarde, mengatakan tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi bisa berlangsung lebih lama ketimbang akibat pandemi Covid-19 yang mengganggu supply.
"Harga energi akan menjadi penting dan kemungkinan mempengaruhi inflasi lebih lama. Kita sedang dalam masa transisi, dari sumber energi fosil.... Kita bercita-cita untuk tidak terlalu bergantung pada fosil," kata Lagarde pada CNBC International, Kamis (23/9).
Ketika inflasi semakin meningkat, maka bank sentral dikatakan akan berada dalam situasi yang sulit. Sebab untuk meredam inflasi, stimulus moneter harus dikurangi, suku bunga perlu dinaikkan. Apalagi, dengan pandemi Covid-19 yang masih belum selesai, pemulihan ekonomi masih berjalan, kehilangan dukungan kebijakan moneter longgar tentunya memberikan risiko ke pertumbuhan PDB.
"Jika kita melihat inflasi yang lebih tinggi, sementara atau pun struktural, dan pertumbuhan ekonomi melambat, itu akan menjadi situasi yang sulit bagi pasar dan bank sentral untuk menilai, menavigasi, dan berkomunikasi," kata Piet Haines Christiansen, kepala strateghi di Danske Bank.
Meski demikian, kemarin Lagarde mencoba menenangkan pasar dengan menyatakan ECB tidak akan bereaksi berlebihan terhadap inflasi yang bersifat sementara.
"Tantangan utama adalah memastikan kami tidak beraksi berlebihan merespon kenaikan harga yang sementara akibat masalah supply yang tidak berdampak pada jangka menengah. Kami juga menjaga demand agar tetap positif yang lebih tahan lama membuat inflasi naik menuju target 2%
Kami hanya akan bereaksi terhadap inflasi inti yang kami yakini tahan lama. Kami tidak melihat tanda-tanda kenaikan inflasi ini secara luas di perekonomian," kata Lagarde sebagaimana dikutip CNBC International, Selasa (29/9).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini (2)
(pap/pap)