Newsletter

'Badai' Evergrande Mulai Mereda, IHSG Rebound Hari Ini?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
22 September 2021 06:01
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup cenderung beragam pada perdagangan Selasa (21/9/2021) kemarin. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga surat berharga negara (SBN) kompak ditutup melemah, sedangkan rupiah ditutup menguat tipis.

IHSG ditutup melemah 0,26% ke level 6.060,76. Sepanjang perdagangan kemarin, IHSG lagi-lagi diperdagangkan di zona merah.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi perdagangan kemarin kembali turun menjadi Rp 10,9 triliun. Investor asing mulai melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 429 miliar di pasar reguler. Sebanyak 229 saham naik, 284 saham turun dan 146 lainnya stagnan.

Sementara itu, bursa Asia secara mayoritas ditutup menguat pada perdagangan Selasa kemarin, di mana Hang Seng yang sebelumnya sempat dibuka ambruk lebih dari 1%, pada penutupan perdagangan kemarin berhasil rebound dan menguat 0,51%.

Selain Hang Seng, indeks saham BSE Sensex India, KLCI Malaysia, PSEI Filipina, Straits Times Singapura, dan Set Index Thailand juga ditutup di zona hijau pada perdagangan kemarin.

Namun di indeks Nikkei Jepang pada perdagangan kemarin ditutup ambruk hingga lebih dari 2%, karena investor mengakumulasi sentimen yang terjadi pada perdagangan Senin (20/9/2021) dan Selasa kemarin, setelah pada Senin lalu tidak dibuka karena sedang libur nasional.

Selain Nikkei, IHSG juga masih membukukan pelemahan pada perdagangan kemarin, sehingga indeks Asia yang terkoreksi pada perdagangan kemarin hanya Nikkei dan IHSG.

Sementara untuk pasar saham China, Korea Selatan, dan Taiwan masih ditutup karena masih libur nasional dalam rangka hari Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid-Autumn).

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia pada perdagangan Selasa (21/9/2021).

Indeks Saham Asia

Sedangkan untuk rupiah pada perdagangan Selasa kemarin ditutup menguat tipis terhadap dolar Amerika Serikat (AS), baik di pasar spot maupun di kurs tengah Bank Indonesia (BI).

Di kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor, rupiah berada di level Rp 14.244, menguat tipis 0,05%. Sedangkan di pasar spot, US$ 1 setara dengan Rp 14.235, juga menguat tipis 0,04%.

Jika dibandingkan dengan mata uang Asia lainnya, rupiah berada di posisi paling terakhir dari empat mata uang Asia yang menguat terhadap dolar AS. Adapun empat mata uang Asia tersebut yakni ringgit Malaysia, yen Jepang, peso Filipina, dan rupiah.

Sementara untuk rupee India, dolar Singapura, dan baht Thailand melemah terhadap sang greenback (dolar AS) pada perdagangan kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Selasa (21/9/2021).

Dolar AS vs Asia

Adapun untuk pergerakan harga SBN pada perdagangan kemarin kembali ditutup melemah, ditandai dengan kembali naiknya imbal hasil (yield). Mayoritas investor kembali melepas SBN pada perdagangan kemarin.

Hanya yield SBN bertenor 5, 25, dan 30 tahun yang yang masih dikoleksi oleh investor dan mengalami pelemahan yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN bertenor 5 tahun turun 0,8 basis poin (bp) ke level 4,866, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 25 tahun juga menurun 1,4 bp ke level 7,179%, dan yield SBN dengan jangka waktu 30 tahun melemah 0,3 bp ke level 6,816%.

Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 2,2 bp ke level 6,199% pada perdagangan kemarin.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Selasa (21/9/2021).

SBN

Meskipun pasar masih dikhawatirkan oleh krisis likuiditas dari perusahaan raksasa kedua properti China, Evergrande Group, namun pelaku pasar di saham mulai mengurangi kekhawatirannya, ditandai dengan menguatnya mayoritas bursa Asia kemarin.

Rupiah juga masih mampu menguat melawan dolar AS di pasar spot dan kurs tengah Bank Indonesia (BI), setelah BI mengumumkan kebijakan moneter terbarunya, menjadi salah satu yang membantu rupiah menguat.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-7 day reverse repo rate) di level 3,5%. Hal ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,5%.

Sementara itu di pasar obligasi pemerintah, melemahnya yield SBN jangka panjang menandakan bahwa optimisme pasar terhadap pertumbuhan ekonomi global semakin berkurang, sedangkan melonjaknya yield SBN jangka pendek menunjukkan adanya ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS).

Namun jelang pertemuan bank sentral AS, the Fed pada Rabu (22/9/2021) waktu AS atau Kamis (23/9/2021) dini hari waktu Indonesia, pelaku pasar masih cenderung wait and see karena menanti sinyal lebih jelas terkait kapan tapering off akan dilakukan.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup beragam dengan mayoritas masih melemah pada perdagangan Selasa (21/9/2021), menyusul di kala koreksi (buy on weakness) para pemodal.

Namun untuk Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 gagal menembus kembali level penguatan pada perdagangan kemarin, di mana Dow Jones ditutup melemah 0,15% ke level 33.919,84, dan S&P 500 turun tipis 0,08% ke level 4.354,16.

Sedangkan Nasdaq Composite berhasil rebound ke zona hijau dengan menguat 0,22% ke posisi 14.746,4. Berhasil rebound-nya Nasdaq didorong oleh aksi buy on weakness investor di saham teknologi, terutama di saham Apple.

Sebelum Dow Jones dan S&P 500 gagal rebound, sebenarnya kedua indeks utama di Wall Street tersebut sempat bergairah kembali menyusul aksi buy on weakness oleh investor.

Saham migas, ConocoPhillips melompat 4% pada penutupan perdagangan kemarin, diikuti saham produsen chip, perbankan, dan saham energi lainnya. Sedangkan saham Uber meroket 11% setelah menaikkan outlook kinerjanya untuk kuartal III-2021.

Pasar Asia cenderung stabil setelah sempat tertekan oleh kecemasan kasus Evergrande Group. Pemerintah China diprediksi tak akan membiarkan kasus gagal bayar perusahaan properti tersebut berlarut hingga berujung pada krisis.

Pengembang properti terbesar kedua di China (dari sisi penjualan) yakni China Evergrande Group saat ini menghadapi risiko gagal bayar (default) bunga utang senilai US$ 83 juta pada Kamis nanti, menurut S&P Global Ratings.

Pelaku pasar mengantisipasi hasil rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan diumumkan dini hari besok waktu Asia, demikian juga dengan proyeksi ekonomi kuartalan mereka yang populer disebut dot plot. Ketua The Fed, Jerome Powell telah mengatakan bahwa tapering (pengurangan suntikan likuiditas ke pasar) bisa dimulai tahun ini.

″Kita akan melihat apakah ada bukti bahwa dot plot The Fed tidak muncul dengan isi yang menakutkan pasar... kita juga harus melihat ada-tidaknya bukti bahwa pemerintah China akan mengambil langkah [terkait Evergrande]," tutur Yung-Yu Ma, Kepala Perencana Investasi BMO Wealth Management, seperti dikutip CNBC International.

Di lain sisi, kekhawatiran terkait dengan risiko penyebaran virus corona (Covid-19) varian delta yang kian meluas juga mulai berkurang, setelah Johnson & Johnson (J&J) melaporkan bahwa suntikan vaksinnya memiliki efektivitas hingga 94%. Saham farmasi global ini ditutup naik 0,4%.

September secara historis menjadi bulan volatil terutama dengan reli indeks S&P 500 yang sepanjang tahun berjalan telah mencapai 16%.

Meski demikian, beberapa perencana investasi pada Senin lalu telah mengingatkan bahwa koreksi yang terjadi hari itu sudah terlalu dalam dan membuka peluang beli.

Pada Senin (20/9/2021), indeks S&P 500 drop 1,7% menjadi koreksi terburuk sejak 12 Mei lalu. Dow Jones Industrial Average anjlok 614 poin (-1,8%), menjadi koreksi harian terburuk sejak 19 Juli. Sementara itu, Nasdaq terbanting 2,2%.

Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sentimen dari pasar saham Wall Street yang ditutup beragam pada perdagangan Selasa kemarin.

Meskipun ketiga indeks utama Wall Street sempat rebound ke zona hijau, namun untuk indeks Dow Jones dan S&P 500 kembali gagal menembus level penguatan pada penutupan perdagangan kemarin. Hanya indeks Nasdaq yang berhasil ditutup menghijau pada perdagangan kemarin.

Hal ini dikarenakan para pemodal (investor) mengambil kesempatan dari murahnya harga saham, sehingga investor memanfaatkan beli di kala koreksi (buy on weakness).

Kekhawatiran investor terkait dengan risiko penyebaran virus corona (Covid-19) varian delta yang kian meluas juga mulai berkurang, setelah Johnson & Johnson (J&J) melaporkan bahwa suntikan vaksinnya memiliki efektivitas hingga 94%.

Selain itu, kecemasan investor terkait krisis likuiditas Evergrande Group sepertinya mulai berkurang, ditandai dengan mulai stabilnya pasar saham Asia pada perdagangan kemarin, meskipun indeks Nikkei masih ambruk pada penutupan perdagangan kemarin.

Pasar saham China juga akan memulai perdagangan pada pekan ini, setelah selama dua hari tidak dibuka karena sedang libur nasional memperingati hari Festival Pertengahan Musim Gugur (Mid-Autumn).

Dari agenda ekonomi penting, bank sentral Jepang dan China akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbarunya pada hari ini.

Konsensus Tradingeconomics memperkirakan Bank sentral China (People Bank of China/PBoC) akan tetap mempertahankan suku bunga acuan pinjamannya pada hari ini, di mana suku bunga pinjaman tenor 1 tahun tetap di level 3,85%, sedangkan suku bunga pinjaman tenor 5 tahun di level 4,65%.

Selain China, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) juga akan mengumumkan suku bunga acuan terbarunya, di mana Tradingeconomics memperkirakan BoJ juga akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level -0,1%.

Sementara itu di Eropa, data ekonomi yang akan dirilis pada hari ini adalah data pembacaan awal dari indeks keyakinan konsumen (IKK) Zona Euro pada periode September 2021.

Namun sebagian besar investor global masih memfokuskan perhatiannya ke rapat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang sudah dimulai pada Selasa malam waktu Asia dan akan diumumkan pada Kamis (23/9/2021) dini hari waktu Asia.

Selain mengumumkan hasil rapat, The Fed juga akan memproyeksikan ekonomi kuartalan mereka yang populer disebut dot plot. Ketua The Fed, Jerome Powell telah mengatakan bahwa tapering (pengurangan suntikan likuiditas ke pasar) bisa dimulai tahun ini.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Pengumuman suku bunga acuan pinjaman bank sentral China (People Bank of China/PBoC) periode September 2021 (08:30 WIB),
  2. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT PP Presisi Tbk (09:30 WIB),
  3. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Jago Tbk (10:00 WIB),
  4. Pengumuman suku bunga acuan bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) periode September 2021 (10:00 WIB),
  5. Rapat Kebijakan Non-Moneter bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) (15:00 WIB),
  6. Rilis data pembacaan awal Indeks Keyakinan Konsumen Zona Euro periode September 2021 (21:00 WIB),
  7. Rilis data Penjualan Rumah Amerika Serikat periode Agustus 2021 (21:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2021 YoY)

7,07%

Inflasi (Agustus 2021, YoY)

1,59%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (September 2021)

3,5%

Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021)

-5,17% PDB

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2021)

-0,8% PDB

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2020)

US$ -0,4 miliar

Cadangan Devisa (Agustus 2021)

US$ 144,78 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular