Newsletter

PPKM Dilonggarkan, Masyarakat Siap Belanja Besar-besaran?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
08 September 2021 06:28
Warga mempelajari platform investasi di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta
Foto: Pengunjung mempelajari platform investasi digital di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku pasar cenderung berhati-hati pada perdagangan Selasa (7/9/2021) kemarin, sehingga bursa saham melemah meski imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tertekan sementara rupiah menguat tipis. Hari ini, sentimen masih akan cenderung variatif dan bertumpu dari dalam negeri, khususnya data keyakinan konsumen.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah tipis 0,24% ke level 6.112,4 kemarin, mengabaikan data cadangan devisa (cadev) Agustus yang dilaporkan melonjak US$ 7,5 miliar ke level US$ 144,8 miliar.

Dalam rilis resmi BI dijelaskan, peningkatan posisi cadev pada Agustus 2021 tersebut terutama karena adanya tambahan alokasi umum (special drawing rights/SDR) sebesar US$ 4,46 miliar SDR atau setara dengan US$ 6,31 miliar dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).

Alokasi SDR kali ini untuk mendukung ketahanan dan stabilitas ekonomi global dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19, membangun kepercayaan pelaku ekonomi, sekaligus memperkuat cadangan devisa global.

Data perdagangan mencatat nilai transaksi menciut menjadi Rp 9,7 triliun, dengan 252 saham terapresiasi, 247 lain terdepresiasi dan 149 sisanya stagnan. Investor asing masih melakukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 262,8 miliar di pasar reguler. .

Di pasar uang, kabar kenaikan cadev membantu penguatan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang perdagangan Selasa (7/9/2021) Mata Uang Garuda tidak pernah mencicipi zona merah sekalipun, dan bahkan sempat menyentuh level psikologis 14.200.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat tipis 0,04% di Rp 14.215/US$. Apresiasi tersebut terus bertambah hingga 0,35% ke Rp 14.170/US$. Rupiah hari ini masih mentok di level tersebut, menjadi yang terkuat sejak 10 Mei lalu.

Setelah itu, penguatan rupiah terus terpangkas. Maklum saja, penguatan belakangan ini sudah cukup tajam sehingga memicu aksi ambil untung (profit taking). Di akhir perdagangan, rupiah berada di Rp 14.210/US$, terhitung menguat tipis 0,07% di pasar spot.

Di pasar obligasi, harga Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Selasa (7/9/2021), setelah Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa periode Agustus yang dilaporkan melonjak.

Mayoritas investor kembali melepas SBN ditandai dengan menguatnya imbal hasil (yield). Hanya SBN bertenor 15, 20, dan 30 tahun yang masih ramai diburu oleh investor dan mengalami pelemahan yield.

Yield SBN bertenor 15 tahun turun sebesar 0,3 basis poin (bp) ke level 6,296%, sedangkan yield SBN berjatuh tempo 20 tahun juga turun tipis 0,1 bp ke 6,859%, dan yield SBN dengan jangka waktu 30 tahun melemah 0,4 bp ke 6,803%.

Sementara, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield SBN acuan negara kembali menguat 2,3 bp ke 6,116% hari ini. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup ambles pada Selasa (7/9/2021), di tengah kecemasan pemodal akan merebaknya varian delta yang bisa mengganggu prospek pembukaan kembali ekonomi.

Indeks Dow Jones Industrial Average drop 269,1 poin (-0,3%) ke 35.100. Indeks S&P 500 tergelincir 0,3% ke 4.520,03 sementara Nasdaq tertekan 0,1% ke 15.374,33.

Saham Boeing menjadi pemberat utama setelah anjlok 1,8% menyusul pemberitaan Wall Street Journal bahwa pengiriman 787 Dreamliner akan tertunda. Saham produsen obat Johnson & Johnson dan Merck melemah setelah Morgan Stanley menurunkan target harga saham mereka.

Sementara itu, saham GM anjlok setelah pabrikan otomotif di Munich Motor Show mengatakan bahwa kendala pasokan chip akan memperberat laju industri otomotif dunia.

"Kami melihat pergerakan tak mulus pada September-Oktober sebagai transisi tahap akhir menuju pertengahan siklus," tulis perencana keuangan Andrew Sheets seperti dikutip CNBC International.

Kemarin, Wall Street libur untuk memperingati Hari Buruh. Di tengah situasi libur tersebut, Goldman Sachs merilis laporan yang menurunkan proyeksinya atas perekonomian AS, dengan mengacu pada merebaknya virus Covid-19 varian delta sementara prospek stimulus mengabur.

Pertumbuhan ekonomi Negara Adidaya diprediksi tumbuh 5,7% secara tahunan pada 2021, atau di bawah konsensus pasar di angka 6,2%. Proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal IV-2021 pun dipangkas menjadi 5,5%, dari proyeksi semula sebesar 6,5%.

"Hambatan pertumbuhan konsumsi yang kuat ke depan terlihat kian jelas: varian Delta telah memperberat pertumbuhan kuartal III-2021, dan mengaburnya stimulus fiskal serta pelemahan pemulihan sektor jasa akan menjadi risiko yamg membayangi dalam jangka menengah," tutur bank investasi tersebut dalam laporan yang dikutip CNBC International.

Indeks S&P 500 sepanjang September tertekan 0,06%, dan secara historis merupakan bulan yang menantang bagi pasar. Menurut CFRA, bulan ini memiliki rerata koreksi di angka 0,6%, atau terburuk jika dibandingkan dengan bulan yang lain.

Namun sepanjang tahun berjalan, indeks Dow Jones masih terhitung melesat 14,7%, indeks S&P melambung 20,3% sedangkan Nasdaq loncat 19,3%.

Hari ini tidak ada rilis data ekonomi yang dipantau, dan investor akan menunggu Kamis dan Jumat untuk melihat data klaim tunjangan pengangguran baru, serta indeks harga produsen (Producer Price Index/PPI).

Sentimen negatif berhembus dari Amerika Serikat (AS) dengan koreksi saham-saham unggulan di awal pembukaan Wall Street pekan ini, menyusul kekhawatiran merebaknya varian baru virus Covid-19 di Negara Adidaya tersebut.

Pemodal menganggap likuiditas berlebih yang digelontorkan bank sentral mereka (Federal Reserve/The Fed) dalam program moneter ekstra longgar (quantitative easing/QE) ini hanya menjadi semacam 'pereda nyeri', yang tidak bisa menjadi obat untuk menghentikan problem utama krisis ekonomi dunia saat ini, yakni pandemi.

Mereka cenderung memilih memantau situasi dan memegang dana tunai, mengingat koreksi di bursa saham terjadi bersamaan dengan kenaikan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS. Kenaikan yield mengindikasikan harga yang turun karena aksi jual. Dengan kata lain, dana dari busra saham tidak lantas berakhir dibelanjakan obligasi.

Bursa Asia pun bergerak variatif dengan reli bursa saham China menyambut rilis data perdagangan mereka yang menunjukkan lonjakan ekspor, sementara indeks bursa Korea Selatan tertekan.

Ekspor China dilaporkan melompat 25,6% secara tahunan (year-on-year/YoY) per Agustus, atau melampaui ekspektasi analis dalam polling Reuters yang berujung pada angka prediksi kenaikan sebesar 17,1%.

Dengan konstalasi permodalan global seperti itu, sulit berharap akan ada suntikan sentimen positif dari bursa AS untuk membantu reli di bursa saham nasional. Secara teknis, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan bertumpu pada sentimen dalam negeri dan kawasan Asia.

Salah satu sentimen yang diperhatikan adalah rilis pertumbuhan ekonomi Jepang per kuaratl II-2021, yang menurut proyeksi Tradingeconomics akan berbalik positif dengan pertumbuhan sebesar 1,3% secara tahunan. Pada kuartal I-2021, ekonomi Negara Oshin ini terkontraksi 3,7%.

Ketika negara dengan perekonomian terbesar kedua di Asia ini pulih, mengikuti China yang melaporkan lonjakan perdagangan, maka negara lain di Asia termasuk Indonesia pun bisa berekspektasi bahwa permintaan akan meningkat sehingga mereka mendapat berkahnya. Saham-saham manufaktur dan energi berpeluang menjadi sasaran beli pemodal di Tanah Air hari ini.

Dari dalam negeri sendiri, pasar akan memantau rilis Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) per Agustus yang akan memberikan gambaran mengenai optimisme masyarakat dalam membelanjakan uangnya, terkait dengan prospek pemulihan ekonomi.

Sebelumnya, IKK pada Juli turun ke posisi 80,2 dari sebelumnya yang berada di atas 100. Indeks penjualan ritel masuk ke zona negatif dengan realisasi sebesar -6,2%. Hal ini sejalan dengan indeks nilai belanja Bank Mandiri yang turun ke posisi 76,5.

Survei dijalankan di tengah masih merebaknya virus Covid-19 varian delta di seluruh dunia. Namun, Indonesia berhasil mencetak pembaikan situasi dengan turunnya tingkat okupansi rumah sakit dan kasus baru. Jika hari ini pasar mendapat kabar baik dengan pembalikan angka IKK, maka saham perbankan, konsumer dan ritel berpeluang terkena aksi beli sesaat.

Berikut data ekonomi dan agenda emiten yang akan dirilis hari ini:

  • Pertumbuhan Ekonomi Jepang kuartal II-2021 (07:00 WIB)
  • Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia per Agustus (08:30 WIB)
  • RUPST PT Kawasan Industri Jababeka Tbk/KIJA (10:00 WIB)
  • Paparan Publik PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (11:00 WIB)
  • Paparan Publik PT Vale Indonesia Tbk/INCO (11:00 WIB)
  • RUPST PT AirAsia Indonesia Tbk/CMPP (14:00 WIB)
  • Paparan Publik PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (14:00 WIB)

Sementara itu, indikator perekonomian nasional terbaru adalah sebagai berikut ini:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular