Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar berada dalam tekanan sepanjang pekan lalu, dengan reli di bursa saham dan pelemahan imbal hasil (yield) obligasi yang mengindikasikan aksi spekulasi investor di tengah kenaikan risiko ekonomi. Mengawali pekan ini, tren tak akan banyak berubah kecuali untuk saham berbasis pertumbuhan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan lalu masih mampu bertahan di zona hijau dan di level psikologis 6.100. Membukukan kenaikan mingguan sebesar 0,48% (29,18 poin), IHSG berakhir di level 6.101,69 pada Jumat pekan lalu.
Indeks acuan bursa saham tersebut melemah hanya dalam dua dari lima hari perdagangan yakni di awal dan akhir hari perdagangan. Mengawali pekan, IHSG merosot 0,91% ke 6.017,39 dan pada Jumat akhir pekan lalu IHSG melemah 0,58%.
Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 54,9 triliun dan investor mencetak pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 2 triliun di pasar reguler. Sebanyak 191 saham menguat, 277 lain melemah, dan 172 sisanya flat.
Saham perbankan mendominasi perdagangan, dipimpin PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai transaksi Rp 1,8 triliun, diikuti PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dengan transaksi masing-masing sebesar Rp 1,7 triliun
Namun, pasar terlihat masih cemas melihat perkembangan kasus Covid-19 yang terus menguat. Akibatnya, harga obligasi pemerintah Indonesia sepekan lalu menguat, sebagaimana terlihat dari pergerakan imbal hasilnya (yield) yang rata-rata melemah 3,5 basis poin (bp).
Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar tertekan hingga 13,9 bp ke 6,298%, dari posisi akhir pekan lalu 6,437%. Imbal hasil bergerak berlawanan dari harga sehingga pelemahan yield mengindikasikan harga surat utang yang naik.
Di tengah tekanan sentimen tersebut, rupiah sepekan lalu masih berhasil menguat, meski sangat tipis yakni sebesar 0,03% ke Rp 14.490 per dolar AS. Dari 5 hari perdagangan, Mata Uang Garuda ini hanya menguat pada Kamis (22/7/2021), sebesar 0,41%.
Rupiah mengalami tekanan akibat lonjakan kasus penyakit virus corona (Covid-19) di Indonesia, sementara itu dolar AS kini menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentralnya (Federal Reserve/The Fed).
Bank Indonesia (BI) pekan lalu memilih bermain aman, dengan mempertahankan suku bunga acuan (7-Day Reverse Repo Rate) di level 3,5%. Suku bunga Deposit Facility dan Lending Facility juga bertahan masing-masing 2,75% dan 4,25%.
Kali terakhir BI menurunkan suku bunga acuan adalah pada Februari 2021. Selepas itu, suku bunga selalu ditahan dengan stabilitas nilai tukar rupiah menjadi alasan utama.
Di Amerika Serikat (AS) optimisme pasar kembali pulih. Semua indeks saham menguat pada penghujung perdagangan pekan lalu, di mana indeks Dow Jones, S&P 500 dan Nasdaq kompak mencetak rekor tertinggi baru.
Indeks Dow Jones Industrial Average naik 238,2 poin (+0,68%) ke 35.061,55 yang merupakan level tertinggi sepanjang masa dan mencetak reli tahun berjalan sebesar 14%. S&P 500 menguat 44,3 poin (+1,01%) ke 4.411,79. Nasdaq tumbuh 152,4 poin (+1,04%) ke 14.836,99.
Secara mingguan, Dow Jones menguat 1%, S&P 500 melesat 2%, sementara Nasdaq memimpin dengan reli 2,8% di tengah kenaikan kasus Covid-19 di berbagai negara yang memicu spekulasi bahwa saham teknologi bakal kembali diuntungkan dari pengetatan aktivitas publik.
"Kita menyaksikan selama di palung pandemi, saham teknologi dan laba bersih mereka meningkat pesat, jadi saya pikir banyak investor bakal kembali ke mata air tersebut, di tengah kenaikan kasus Covid," tutur Yung-Yu Ma, Kepala Perencana Investasi BMO Wealth Management, kepada CNBC International.
Reli terjadi setelah kekhawatiran seputar imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS kian pudar. Pada Jumat pekan lalu, imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun-yang menjadi acuan-pasar menguat 0,014% menjadi 1,281%, atau pulih dari kejatuhannya di level terendah 5 bulan yakni 1,13%, yang dicetak pekan sebelumnya.
Penurunan imbal hasil tersebut sempat memicu kecemasan pasar mengenai adanya risiko besar yang membayangi perekonomian Negara Adidaya tersebut, sehingga para investor memburu obligasi yang dikenal sebagai aset investasi minim risiko (safe haven). Ketika obligasi diburu, maka harganya menguat dan imbal hasilnya turun.
Kinerja positif emiten unggulan selama kuartal II-2021 juga menjadi penopang reli di pasar. Dengan nyaris seperempat konstituen indeks S&P 500 merilis laporan keuangannya, sebanyak 88% dari itu membukukan lonjakan kinerja yang terbaik sejak 2008, menurut pantauan FactSet.
Revinitif memperkitakan pertumbuhan laba bersih periode tersebut akan mencapai 76%, menjadi kinerja terbaik sejak 2009. Margin laba bersih mereka juga masih positif dan mengalahkan inflasi, dengan besaran rata-rata 12,8%, atau di atas rerata historinya, menurut S&P Global.
American Express melaporkan kinerja yang lebih baik dari ekspektasi, sehingga sahamnya melonjak 1,3%. Twitter dan Snap masing-masing melompat sebesar 3% dan 24% setelah membukukan laba bersih yang melampaui ekspektasi pasar.
Sentimen mayor yang bakal mempengaruhi selera risiko para investor hari ini terutama adalah keputusan pemerintah untuk memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan itu dalam keterangan pers dari Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (25/7/2021). "Saya memutuskan untuk melanjutkan penerapan PPKM level 4 dari tanggal 26 Juli sampai dengan 2 Agustus 2021," ujarnya.
Meski demikian, pelonggaran dilakukan di beberapa sektor. Pasar rakyat yang menjual sembako bisa beroperasi, tetapi dengan protokol kesehatan ketat. Selain itu usaha kecil juga boleh dibuka hingga pukul 21:00, dan warung makan atau sejenisnya diizinkan buka hingga pukul 20:00 WIB, dan boleh makan ditempat dengan protokol kesehatan ketat maksimal 20 menit per pengunjung.
Dalam keterangan pers selanjutnya, Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan mal dan pusat perdagangan bisa buka hingga pukul 17:00 dengan kapasitas 25%.
Kebijakan tersebut diambil di tengah masih tingginya kasus Covid-19 akibat masuknya varian delta ke Indonesia. Per hari Minggu kemarin, kasus baru Covid-19 dilaporkan menimpa 38.679 orang, atau turun dari posisi sehari sebeumnya 45.416 orang tetapi masih jauh dari target pemerintah sebanyak 10.000.
Di tengah kondisi demikian, pelaku pasar akan dipaksa untuk memutar ulang aset sahamnya, dengan memburu saham-saham berbasis pertumbuhan, untuk mengejar momentum pertumbuhan jangka pendek. Saham komoditas, saham berbasis teknologi dan bank digital berpeluang kembali menjadi kutub aksi jual-beli, sementara saham siklikal seperti konsumer dan properti tertekan.
Pola serupa telah terjadi di bursa AS pekan lalu, di mana Nasdaq meroket hingga nyaris 3% manakala Dow Jones tumbuh hanya 1%. Investor memanfaatkan risiko kenaikan kasus Covid-19 sebagai momentum untuk memburu saham teknologi, yang terbukti diuntungkan tatkala terjadi pengetatan aktivitas publik.
Sejauh ini, efek pengetatan akibat kenaikan kasus Covid-19 tercermin dari kenaikan klaim tunjangan pengangguran yang dirilis pekan lalu, sebanyak 419.000, atau jauh lebih tinggi dari hasil polling Reuters terhadap para ekonom yang memperkirakan sebanyak 350.000 klaim.
"Data tersebut menunjukkan bukti adanya pelambatan ekonomi," kata Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Cambridge Global Payments, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (22/7/2021).
Di tengah situasi demikian, saham Facebook melesat lebih dari 5% pada Jumat pekan lalu, sementara Alphabet (induk usaha Google) meroket 3%. Keduanya akan merilis kinerja keuangan per kuartal II-2021 pekan ini berbarengan dengan Apple, Microsoft dan Amazon.
Di sisi lain, situasi demikian bakal membantu mengurangi tekanan rupiah. Jika pada Juni lalu bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menyatakan ada peluang kenaikan suku bunga acuan tahun depan, maka kondisi terbaru ini membuat peluang itu mengecil. Suku bunga AS yang tinggi memang bakal memukul daya tarik rupiah.
The Fed akan mengadakan rapat kebijakan moneter pekan ini, yang akan menjadi perhatian pelaku pasar, karena bakal berisi pandangan terbaru mereka terhadap kondisi ekonomi, serta peluang tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).
Berikut beberapa agenda emiten dan data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
Di bawah ini sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA