Pada perdagangan hari ini, Rabu (14/4/2021), Amerika Serikat (AS) mengirim kabar gembira yang bisa membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, hingga obligasi Indonesia bangkit. Penggerak pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 hingga 5.
IHSG pada perdagangan kemarin melemah 0,36% ke 5.927,435. Setelah sebelumnya sempat merosot lebih dari 1%. IHSG kini sudah melemah dalam 3 hari beruntun.
Data perdagangan mencatat investor asing kemarin melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 477 miliar di pasar reguler, dengan nilai transaksi Rp 9,31 triliun. Pada Senin lalu, investor asing juga net sell sebesar Rp 521 miliar, artinya dalam 2 hari terakhir terjadi capital outflow dari pasar saham nyaris Rp 1 triliun.
Sementara itu rupiah melemah tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.600/US$, dengan rentang pergerakan hanya di kisaran Rp 14.580 - 14.600/US$.
Di awal pekan, rupiah membukukan pelemahan 0,21%, dan sebelumnya juga melemah dalam 8 pekan beruntun dengan total 4,37%. Melihat pergerakan rupiah yang sempit kemarin, ada kemungkinan akan terjadi pergerakan besar hari ini merespon rilis data inflasi AS.
Menteri Kesehatan India Harsh Vardhan dilaporkan menyalahkan gelombang kedua infeksi dan kurangnya komitmen warga untuk memakai masker dan mempraktikkan jarak sosial sebagai penyebab melonjaknya kasus Covid-19 di India, seperti dikutip dari CNBC International, Senin (14/4/2021).
Dalam beberapa pekan terakhir masyarakat India menyelenggarakan festival keagamaan, kampanye politik pada pemilihan umum negara bagian dan banyak warga yang mengikuti aktivitas ini tanpa menggunakan masker dan menjaga jarak.
Lonjakan kasus di India tersebut kini menghantui Indonesia yang memasuki bulan Ramadhan dengan fenomena mudik. Meski pemerintah sudah melarang mudik, tetap saja pelaku pasar sedikit was-was.
Tidak hanya IHSG dan rupiah, obligasi Indonesia juga mengalami pelemahan. Hal tersebut tercermin dari kenaikan yield Surat Berharga Negara (SBN) di semua tenor.
Kemarin, pemerintah Indonesia kembali mengadakan lelang obligasi kemarin, dan hasilnya membaik ketimbang lelang sebelumnya. Target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 30 triliun, sementara yang dimenangkan Rp 24,2 triliun. Total penawaran yang masuk sebesar Rp 42,9 triliun.
Meski yang dimenangkan lebih rendah dari target indikatif, tetapi lelang kali ini sudah lebih baik dari sebelumnya yang jauh di bawah target.
Pada lelang 30 Maret lalu, pemerintah menetapkan target indikatif sebesar Rp 30 triliun, yang dimenangkan hanya Rp 4,75 triliun. Sehingga sehari setelahnya diadakan lelang tambahan.
Penawaran yang masuk pada lelang 30 Maret tersebut sebesar Rp 33,95 triliun. Artinya, SBN perlahan sudah mulai menarik lagi di mata pelaku pasar.
Bursa saham AS (Wall Street) bervariasi pada perdagangan Selasa waktu setempat. Di awal perdagangan kemarin, ketiga indeks utama langsung masuk ke zona merah, tetapi dua diantaranya berhasil bangkit. Kabar dari vaksin dari emiten Johnson & Johnson (J&J), serta rilis data inflasi AS mempengaruhi pergerakan Wall Street.
Indeks Dow Jones melemah 0,2% ke 33.677,27, sementara S&P 500 membukukan rekor tertinggi sepanjang masa setelah menguat 0,33% ke 4.141,59. Indeks Nasdaq memimpin penguatan setelah melesat lebih dari 1% le 13.996,1.
Vaksin J&J untuk sementara dihentikan penggunaannya setelah dilaporkan memicu kasus penggumpalan darah akut terhadap enam orang penerima vaksin di AS. Dugaan tersebut kini sedang ditelusuri Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention).
"Kami merekomendasikan jeda penggunaan vaksin ini menyusul banyaknya peringatan," ujar Badan Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) dalam pernyataannya di Twitter.
Saat ini, ada 6,8 juta vaksin mereka yang siap disuntikkan ke warga AS.
Kabar tersebut muncul sebelum perdagangan Wall Street dibuka, sehingga begitu bel berbunyi ketiga indeks langsung masuk ke zona merah. Saham J&J di awal perdagangan merosot 2,5%, tetapi berhasil dipangkas dan berakhir dengan melemah 1,3%.
Selain itu, pergerakan juga dipengaruhi rilis data inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi. Inflasi di AS pada bulan Maret dilaporkan tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) lebih tinggi dari ekspektasi 2,5% YoY.
Kenaikan inflasi tersebut meski lebih tinggi dari prediksi tetapi tidak seburuk yang dibayangkan.
Pemerintah dan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kompak menyatakan bahwa inflasi AS akan meningkat beberapa bulan ke depan. Kenaikan itu diduga bersifat sesaat karena kecilnya basis Maret 2020 akibat pembatasan masyarakat (lockdown) dan mulai dibelanjakannya stimulus.
Pejabat The Fed menyatakan kesediaannya untuk membiarkan inflasi meninggi dalam beberapa waktu tanpa melakukan perubahan kebijakan akomodatif mereka, termasuk dalam ha pembelian aset di pasar dan suku bunga acuan 0,25%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Wall Street memang bervariasi, tetapi indeks S&P 500 yang kembali mencetak rekor tertinggi bisa menjadi angin segar bagi pasar Asia hari ini, Rabu (14/4/2021), termasuk Indonesia.
Kenaikan inflasi di AS yang tidak seburuk yang ditakutkan pelaku pasar juga menjadi kabar baik, sebab pasca rilis data tersebut indeks dolar AS merosot, begitu juga dengan yield obligasi (Treasury) AS.
Melansir data Refinitiv, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS (DXY), pada perdagangan Selasa merosot 0,34% ke 91,823, yang merupakan level terendah sejak 23 Maret lalu. Sementara yield Treasury tenor 10 tahun turun 5,62 basis poin ke 1,6198%.
Penurunan kedua aset tersebut berpeluang membuat rupiah dan SBN bangkit pada hari ini, begitu juga dengan IHSG.
Inflasi AS yang dilihat dari consumer price index (CPI) bulan Maret dilaporkan tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dari bulan sebelumnya 1,7% YoY. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari hasil survei Reuters sebesar 2,5% YoY.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 1,6% YoY, dari bulan sebelumnya 1,3% YoY, dan lebih tinggi dari prediksi 1,5% YoY.
Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneternya. Perhitungan inflasi yang digunakan The Fed adalah personal consumption expenditure (PCE). Inflasi PCE baru akan dirilis pada 30 April nanti.
Meski demikian, inflasi CPI yang dirilis hari ini bisa memberikan gambaran apakah inflasi PCE naik atau turun. Data terakhir menunjukkan inflasi PCE tumbuh 1,4% YoY di bulan Maret, sementara inflasi inti PCE 1,6% YoY.
Kenaikan inflasi yang sedikit di atas prediksi tersebut direspon positif oleh pelaku pasar. Apalagi, kenaikan tersebut akibat low base effect, dimana pada Maret tahun lalu inflasi sangat rendah. Selain itu, The Fed memang memprediksi inflasi akan tinggi dalam beberapa bulan ke depan, sebelum kembali menurun.
Alhasil, bisik-bisik The Fed akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti tidak berubah menjadi "teriak-teriak".
Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 6,7%, masih di bawah dua digit persentase.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Kabar vaksin Covid-19 kembali menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan. Sebelumnya muncul kabar bahwa vaksin di China tidak memiliki tingkat perlindungan yang tinggi terhadap virus Covid-19. Padahal, sekitar 60% vaksin yang dipakai pemerintah Indonesia dalam program vaksinasi saat ini merupakan produksi China.
Direktur Pusat Pengendalian Penyakit China Gao Fu mengakui bahwa efektivitas vaksin besutan Negeri Panda tersebut saat ini masih rendah, dan pihaknya menjajaki metode pencampuran vaksin untuk memperkuatnya.
"Tidak memiliki tingkat perlindungan yang sangat tinggi," tutur dia dalam konferensi pers pada Minggu malam waktu setempat, di Chengdu. Dia mengakui pihaknya secara resmi masih menjajaki kemungkinan penggunaan vaksin dengan metode berbeda, seperti eksperimen mRNA yang banyak digunakan di Negara Barat.
Kini, vaksin Johnson & Johnson (J&J), untuk sementara dihentikan penggunaannya di Amerika Serikat. Otoritas makanan dan obat-obatan Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA) meminta negara bagian AS untuk menghentikan sementara penggunaan vaksin Covid-19 J&J, setelah enam orang di AS dilaporkan mengalami pembekuan darah langka.
Dalam rekomendasinya, FDA rekomendasi ini "demi kehati-hatian" usai melihat efek samping yang terjadi pada segelintir penerima yang tampaknya sangat jarang.
"Keamanan vaksin Covid-19 adalah prioritas utama pemerintah federal, dan kami menanggapi semua laporan masalah kesehatan setelah vaksinasi Covid-19 dengan sangat serius," tulis FDA bersama dengan Centers for Disease Control dan Prevention (CDC), seperti dikutip dari CNBC International, Selasa (13/4/2021).
"Orang yang telah menerima vaksin J&J yang mengalami sakit kepala parah, sakit perut, sakit kaki, atau sesak napas dalam waktu tiga minggu setelah vaksinasi harus menghubungi penyedia layanan kesehatan mereka," kata FDA dan CDC.
Kabar kurang bagus dari vaksin Covid-19 tersebut bisa mempengaruhi sentimen di pasar dalam negeri, apalagi saat ini tengah dibayangi risiko lonjakan kasus akibat fenomena mudik Lebaran, walaupun sudah dilarang Pemerintah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (3)
Singapura yang akan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 akan menjadi perhatian. Muncul ekspektasi Singapura mampu lepas dari resesi, jika itu terjadi tentunya akan menjadi kabar baik.
Suatu negara dikatakan mengalami resesi ketika produk domestik bruto (PDB) mengalami kontraksi 2 kuartal beruntun secara tahunan (year-on-year/YoY).
Hingga kuartal IV-2020 lalu, PDB Singapura sudah mengalami kontraksi selama 4 kuartal beruntun secara tahunan. Sementara jika dilihat secara kuartalan, PDB Singapura sudah positif sejak kuartal III-2020.
Tingkat ekspor yang mengalami kenaikan dalam 4 bulan beruntun membuat pelaku pasar melihat PDB akan tumbiuh positif secara tahunan di 3 bulan pertama tahun ini.
Data dari Pemerintah Singapura menunjukkan ekspor non-minyak naik 8,2% month-to-month (MtM), dan sudah naik dalam empat bulan beruntun.
Sementara jika dibandingkan dengan Februari 2020, ekspor non-minyak naik 4,2%, dan sudah naik dalam 3 bulan beruntun.
Singapura merupakan negara yang mengandalkan ekspor guna memutar roda perekonomiannya. Pada 2019, rasio ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura adalah 104,91%. Singapura menjadi negara dengan rasio ekspor terhadap PDB terbesar di dunia. Artinya, ketika ekspornya mulai pulih, maka pertumbuhan ekonomi juga akan bangkit.
Bank ING menyebut data ekspor mengkonfirmasi perekonomian Singapura mengawali tahun 2021 dengan cukup kuat, dan PDB akan tumbuh positif di kuartal I. ING merevisi proyeksi PDB periode Januari-Maret menjadi tumbuh 0,2%, dari proyeksi sebelumnya kontraksi 2,7%.
Sementara sepanjang tahun 2021, ING memprediksi PDB Singapura akan tumbuh 5,2%.
Meski demikian, konsensus yang dihimpun Trading Economics menunjukkan jika PDB Singapura masih akan berkontraksi 0,2% di kuartal I.
Lepas atau tidaknya Singapura dari resesi akan terjawab pada hari ini.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Data dan Agenda Berikut
Data pesanan mesin Jepang kuartal I-2021 (6:50 WIB)
- Data PDB Singapura kuartal I-2021 (7:00 WIB)
- Pengumuman kebijakan Otoritas Moneter Singapura (7:00 WIB)
- Data sentimen konsumen Australia (7:30 WIB)
- Data produksi Industri zona euro (16:00 WIB)
- Data stok minyak mentah AS (21:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA