Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Kamis (18/2/2021) kurang bergairah, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga SBN sama-sama bergerak melemah. Sedangkan untuk rupiah cenderung stagnan.
IHSG ditutup di zona merah pada perdagangan kemarin. Indeks acuan bursa nasional tersebut melemah 0.44% ke 6.200,31, setelah sepanjang perdagangan sesi I kemarin, IHSG masih bergerak di zona hijau.
Pemicunya adalah adanya revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi RI tahun 2021 oleh Bank Indonesia (BI).
Data perdagangan mencatat nilai transaksi kemarin mencapai Rp 12,8 triliun, masih tergolong kecil apabila dibandingkan dengan rata-rata transaksi bulan Januari lalu dan terpantau investor asing membeli bersih Rp 213 miliar di pasar reguler.
Sebanyak 208 saham terapresiasi, 256 terkoreksi, sisanya 165 stagnan.
Asing melakukan pembelian di saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp 278 miliar dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) Rp 144 miliar.
Sedangkan jual bersih dilakukan asing di saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang dilego Rp 146 miliar dan PT Astra Internasional Tbk (ASII) yang dijual Rp 83 miliar.
Pada perdagangan kemarin, hampir seluruh bursa saham Asia mengalami pelemahan dan lagi-lagi pelemahan terbesar dialami oleh indeks saham Filipina.
Namun, ada dua indeks saham Asia yang masih mampu bertahan di zona hijau, yakni indeks Shanghai Composite China dan indeks SE Weighted Taiwan.
Berikut pergerakan bursa saham Asia pada perdagangan kemarin.
Nilai tukar rupiah nyaris tidak bergerak melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (18/2/2021). Bahkan, rupiah tetap berada di posisinya saat Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunganya.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di stagnan di Rp 14.010/US$. Rupiah sempat melemah 0,21% ke Rp 14.040/US$, tetapi setelahnya kembali ke Rp 14.010/US$ dan bertahan hingga penutupan perdagangan.
Mata uang Asia bervariasi melawan dolar AS hari ini tetapi kebanyakan melemah. Sehingga rupiah yang stagnan bisa dikatakan cukup bagus.
Hingga penutupan pasar pukul 15:05 WIB kemarin, peso Filipina menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,25%. Sementara dolar Taiwan menjadi yang terbaik dengan penguatan 0,12%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Sementara itu, harga obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin kompak ditutup melemah, ditandai dengan imbal hasilnya (yield) yang serentak menguat, sehingga investor cenderung melepas obligasi pemerintah.
Adapun yield SBN dengan seri FR0087 tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara naik cukup signifikan, yakni sebesar 15,2 basis poin (bp) ke level 6,524%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Di pasar surat utang, pemangkasan suku bunga acuan pada umumnya diikuti penurunan yield obligasi dan kenaikan harganya.
Namun hari ini, pelaku pasar cenderung menahan diri masuk ke pasar keuangan, terlihat dari nilai transaksi bursa saham yang hanya Rp 12 triliun atau di bawah rerata nilai transaksi 3 bulan terakhir sebesar Rp 15 triliun.
Mereka juga memilih melepas surat utang mengikuti tren kenaikan imbal hasil surat utang di AS. Kenaikan yield SBN membuat selisih (spread) yield antara SBN tenor 10 tahun dengan obligasi pemerintah AS (Treasury Bond) kini melebar, yakni sebesar 529,7 bp per hari ini.
Pasalnya, yield Treasury Bond AS saat ini cenderung stagnan di level 1,282% setelah sempat menguat hingga menyentuh level 1,3% yang merupakan level tertinggi sejak Februari 2020 atau sebelum pandemi.
Kemarin, Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Februari 2021. Gubernur BI, Perry Warjiyo dan koleganya memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17-18 Februari 2021 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry usai RDG BI, Kamis (18/2/2021).
Keputusan ini sudah diperkirakan oleh pelaku pasar sebelumnya. dan sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.
Tahun lalu, BI menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 bp. Penurunan hari ini menjadi yang pertama pada 2021.
Namun, BI juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 2021 menjadi 4,3-5,3% dari yang sebelumnya 4,8-5,8%.
"Pada 2021 BI perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 4,3-5,3%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Kamis (18/2/2021).
Penurunan proyeksi tersebut dikarenakan rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2020. Sehingga secara keseluruhan tahun 2020 terjadi kontraksi ekonomi sebesar 2,07%.
Perry menyebutkan ekonomi Indonesia ke depan sangat bergantung kepada pemulihan ekonomi global dan program vaksinasi nasional yang ditargetkan pemerintah selesai pada akhir 2021. BI turut mendorong ekonomi dengan sinergi bersama pemerintah.
"Sinergi 5 aspek pembukaan sektor produktif aman, akselerasi stimulus fiskal, peningkatan kredit dari perbankan dan sektor keuangan, berlanjutnya stimulus moneter dan makroprudensial, percepatan digitalisasi," jelas Perry.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup melemah pada perdagangan Kamis (18/2/2021), setelah data klaim tunjangan pengangguran masih lebih buruk dari perkiraan.
Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 119,68 poin atau 0,38% ke level 31.493,34. Sedangkan S&P 500 ditutup melemah 17,36 poin atau terkoreksi 0,44% ke level 3.913,97 dan Nasdaq Composite turun 100,14 poin atau terperosok 0,72% ke 13.865,36.
Saham teknologi lagi-lagi menjadi pemberat Nasdaq, di mana saham Saham Apple Inc, Microsoft Corp, Tesla Inc dan Alphabet Inc turun antara 0,5% dan 1,2% dan membebani indeks S&P 500 dan Nasdaq yang kaya akan teknologi.
Sedangkan Saham Wallmart tersungkur lebih dari 5% setelah merilis kinerja keuangan kuartal IV-202 yang lebih buruk dari estimasi pasar. Pertumbuhan penjualan tahun ini diperkirakan masih lambat karena efek pandemi.
Sementara saham Facebook Inc anjlok karena Wall Street menilai konsekuensi yang lebih luas dari tindakannya untuk memblokir semua konten berita di Australia.
Rilis laporan keuangan perusahaan yang kuat, kemajuan dalam peluncuran vaksinasi dan harapan paket stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun membantu indeks saham AS kembali mencapai rekor tertinggi pada awal pekan ini.
Namun, kekhawatiran atas prospek inflasi yang meningkat telah mendorong investor untuk membukukan keuntungan di saham-saham yang valuasinya sudah tinggi, terutama di sektor teknologi dan layanan komunikasi di S&P 500, yang telah mendorong kenaikan 76% di S&P 500 sejak posisi terendah Maret 2020.
Sementara itu, Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan bahwa klaim awal pengangguran pekan lalu menembus angka 861.000, atau jauh lebih buruk dari proyeksi ekonom dalam survei Dow Jones yang memperkirakan angka 773.000.
Peter Essele, Kepala Manajemen portofolio di Financial Network Commonwealth Boston, mengatakan ada banyak antusiasme yang berlebihan dibangun ke pasar saham menuju ke tahun ini.
"Kami mulai memasuki lingkungan di mana risiko benar-benar menjadi faktor sekali lagi dan terutama risiko inflasi, Sekarang pertanyaannya adalah apakah fundamentalnya akan sesuai dengan tingkat harga yang ada saat ini." Katanya.
Investor memantau ketat pergerakan harga di luar bursa saham, di mana imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun menyentuh level tertingginya dalam 1 tahun sementara harga minyak dan gas melompat menyusul badai salju di Texas.
Bursa saham Wall Street pada penutupan perdagangan Kamis (17/2/2021) berakhir tidak menggembirakan, di mana ketiga indeks di bursa saham New York kompak ditutup melemah. Hal ini tentunya dapat menjadi sentimen negatif bagi pasar Asia maupun dalam negeri.
Bursa Wall Street kembali melemah salah satunya karena saham-saham teknologi yang masih menjadi target aksi jual oleh investor.
Data klaim pengangguran yang kurang memuaskan juga menjadi pemberat pergerakan Wall Street kemarin, di mana klaim awal pengangguran pekan lalu menembus angka 861.000, atau jauh lebih buruk dari proyeksi ekonom dalam survei Dow Jones yang memperkirakan angka 773.000.
Dari perilisan data ekonomi, di kawasan Asia, pasar perlu mengamati rilis data inflasi di Jepang untuk periode Januari 2021, di mana diperkirakan inflasi Jepang akan tumbuh negative 1% di Januari 2021.
Di kawasan Eropa, parade rilis data perkiraan Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager' Index/PMI) versi Markit periode Februari 2021 juga perlu dicermati oleh pelaku pasar. Selain di Eropa, data perkiraan PMI Markit juga akan dirilis di Amerika Serikat (AS).
Sementara itu di dalam negeri, sentimen dari penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi RI di tahun 2021 oleh BI masih akan mewarnai pasar keuangan dalam negeri pada hari ini.
Sebelumnya sebagai informasi, pada Kamis kemarin, BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 2021 menjadi 4,3-5,3% dari yang sebelumnya 4,8-5,8%.
"Pada 2021 BI perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 4,3-5,3%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Kamis (18/2/2021).
Penurunan proyeksi tersebut dikarenakan rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2020. Sehingga secara keseluruhan tahun 2020 terjadi kontraksi ekonomi sebesar 2,07%.
Perry menyebutkan ekonomi Indonesia ke depan sangat bergantung kepada pemulihan ekonomi global dan program vaksinasi nasional yang ditargetkan pemerintah selesai pada akhir 2021.
BI turut mendorong ekonomi dengan sinergi bersama pemerintah.
"Sinergi 5 aspek pembukaan sektor produktif aman, akselerasi stimulus fiskal, peningkatan kredit dari perbankan dan sektor keuangan, berlanjutnya stimulus moneter dan makroprudensial, percepatan digitalisasi," jelas Perry.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data Indeks Harga Produsen (IHP) Korea Selatan periode Januari 2021 (04:00 WIB),
- Rilis data perkiraan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Markit Australia periode Februari 2021 (05:00 WIB),
- Rilis data Tingkat Inflasi Jepang periode Januari 2021 (06:30 WIB),
- Rilis data Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Jibun Bank Jepang periode Februari 2021 (07:30 WIB),
- Rilis data Indeks Harga Produsen (IHP) Jerman periode Januari 2021 (14:00 WIB),
- Rilis data Penjualan Ritel Inggris periode Januari 2021 (14:00 WIB)
- Rilis data Tingkat Inflasi Prancis periode Januari 2021 (14:45 WIB),
- Rilis data perkiraan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Markit Prancis periode Februari 2021 (15:15 WIB),
- Rilis data perkiraan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Markit Jerman periode Februari 2021 (15:30 WIB),
- Rilis data perkiraan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Markit Zona Euro periode Februari 2021 (16:00 WIB),
- Rilis data sekilas Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Markit Inggris periode Februari 2021 (16:00 WIB), dan
- Rilis data perkiraan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Markit Amerika Serikat periode Februari 2021 (21:45 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (2020 YoY) | -2,07% |
Inflasi (Januari 2021, YoY) | 1,55% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2021) | 3,5% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,17% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (kuartal III-2020) | 0,36% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (kuartal III-2020) | US$ 2,05 miliar |
Cadangan Devisa (Januari 2021) | US$ 138 miliar |
 TIM RISET CNBC INDONESIA