
Data Ekonomi Belum Mendukung, IHSG Masih "Deg-deg Plas"

Pasar saham Amerika Serikat (AS) pun menghadapi gejolak pada pekan lalu, yang berpeluang kembali berlangsung pada pekan ini. Indeks S&P 500 anjlok 3,3% dalam sepekan menjadi 3.714. Sepanjang Januari, indeks utama bursa AS tersebut terhitung melemah 1,1%.
Pemicunya adalah perlawanan investor ritel untuk memukul para pelaku short selling yang kerap kali merugikan mereka pada masa sebelumnya. Kali ini, mereka bersatu mengangkat harga saham yang menjadi tujuan short selling para "bandar besar" itu.
Short selling adalah transaksi di mana investor melakukan penjualan suatu saham tanpa memiliki sahamnya terlebih dahulu. Dia meminjam saham dari sekuritas untuk menjualnya, dengan harapan ketika sahamnya ambruk ke depan, dia dapat membelinya kembali di harga murah dan mengembalikan pinjamannya ke sekuritas dengan keuntungan.
Saham yang locus delicti adalah GameStop, emiten grosir game yang menghadapi tantangan di tengah pandemi dan tren belanja digital. Saham tersebut sempat tembus US$ 483 per unit pada 28 Januari, melesat hingga 13.000% dari posisi terendahnya tahun lalu.
Investor kini khawatir jika GameStop terus naik, para pemilik dana (hedge funds) yang jadi korban bisa dipaksa menjual portofolionya di saham lain untuk mendulang dana dan memicu koreksi besar. Secara bersamaan, GameStop dikhawatirkan menjadi sinyal bahwa pasar telah membentuk gelembung, di mana harga saham terlalu mahal melampaui valuasi.
Untuk mendapatkan alasan beli, investor kini bertumpu pada rilis kinerja emiten unggulan, seperti Amazon, Nintendo, dan Alphabet (induk usaha Google).
Pagi ini, kontrak berjangka (futures) indeks bursa AS cenderung tertekan. Kontrak futures indeks Dow Jones Industrial Average drop 107 poin, mengindikasikan bahwa indeks bursa tersebut bakal dibuka melemah 109 poin. Sementara itu, kontrak serupa indeks S&P 500 dan Nasdaq terkapar masing-masing sebesar -0,5% dan -0,8%.
(ags/ags)