
Data Ekonomi Belum Mendukung, IHSG Masih "Deg-deg Plas"

Hari ini, pasar akan mencermati dua data penting yang akan dirilis. Pertama, inflasi Januari 2021 yang akan menjadi indikator pulihnya atau terjaganya daya beli masyarakat. Kedua, data Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers' Index/PMI) sektor manufaktur per Januari.
Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/ MtM) bakal di angka 0,34%. Sementara itu, inflasi tahunan (year-on-year/ YoY) ada di 1,65%. Kemudian, inflasi inti secara tahunan diperkirakan 1,53%.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan secara umum terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan III, inflasi Januari 2021 diperkirakan 0,37% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini membuat inflasi tahunan menjadi 1,67%.
"Penyumbang utama inflasi yaitu cabai rawit sebesar 0,1% (MtM), tempe dan tahu masing-masing sebesar 0,03%, cabai merah dan tarif angkutan antar-kota masing-masing sebesar 0,02%, daging ayam ras, ikan kembung, kacang panjang, bayam, kangkung, ikan tongkol, daging sapi, emas perhiasan, nasi dengan lauk dan tarif angkutan udara masing-masing sebesar 0,01%," papar keterangan tertulis BI.
Di luar itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0,05% dan bawang merah sebesar -0,01% Jika sesuai dengan ekspektasi pasar, maka laju inflasi Tanah Air melambat. Pada Desember 2020, inflasi MtM adalah 0,45%, YoY 1,68%, dan inflasi inti 1,6% YoY.
Perlambatan laju inflasi ini bukanlah kabar bagus, karena menandakan permintaan masyarakat masih lemah. Lebih-lebih kalau melihat inflasi inti, yang merupakan indikator kekuatan daya beli. Inflasi inti kini mencapai titik terendah sejak BPS melaporkan data ini pada 2004.
Pemicunya tak lain adalah pandemi yang memaksa berlakunya pembatasan kegiatan masyarakat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah di Jawa-Bali. Sedianya PPKM berakhir pada 25 Januari 2021, tetapi kemudian diperpanjang dua pekan lagi.
Selain itu, PMI) manufaktur Indonesia juga akan dirilis, berbarengan dengan rilis PMI berbagai negara pada 1 Februari 2021. PMI adalah salah satu indikator awal (leading indicator) yang sering digunakan untuk membaca arah perekonomian ke depan.
Rata-rata PMI manufaktur global pada 2020 adalah 49,17. Artinya, pengusaha masih 'tiarap', masih kontraksi. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka berarti dunia usaha berada di fase ekspansi sehingga ekonomi akan bergeliat.
Di Indonesia, angka PMI menurut proyeksi Trading Economics bakal berada di level 51, atau sedikit melemah dari capaian sebulan sebelumnya pada angka 51,3. Ekspansi yang sedang terjadi cenderung tertekan karena PPKM yang berlarut-larut dan tak efektif.
Pasar pun menanti suntikan sentimen positif dari luar negeri. Sayangnya, kabar negatif masih dominan seperti misalnya kabar bahwa anggota Senat AS mengirim surat ke Presiden AS Joe Biden untuk menurunkan nilai stimulus yang diajukannya (US$ 1,9 miliar), agar tak menekan anggaran negara.
Padahal, stimulus sempat digadang-gadang menjadi penyelamat jangka pendek perekonomian AS yang bisa berdampak positif juga ke perekonomian dunia, berkat efek bergulirnya (multiplier effect).
(ags/ags)