Pantengin Gaes, Hari Ini Jokowi Disuntik Vaksin Covid-19 Lho!

Beralih ke bursa saham New York, tiga indeks saham acuan Wall Street berakhi di zona hijau. Namun apresiasi yang terjadi tipis saja. Indeks S&P 500 mengalami penguatan 0,04%. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,19% dan Nasdaq Composite memimpin penguatan dengan melompat 0,28%.
Pada perdagangan hari pertama pekan ini ketiga indeks tersebut mengalami koreksi. Para pelaku pasar mulai mengantisipasi valuasi saham di AS yang saat ini sudah terbilang 'mahal', sehingga memang rawan terjadi koreksi (pull back) untuk kembali menyehatkan valuasi yang sudah ketinggian.
Menggunakan metode valuasi forward price to earning ratio (P/E), S&P 500 saat ini ditransaksikan di 22,7x.
Apabila menggunakan metrik valuasi yang dikembangkan oleh peraih nobel ekonomi Robert J Shiller pada 2013 yang dikenal dengan Cyclically Adjusted Price to Earning (CAPE) ratio, rasio harga terhadap earning S&P 500 saat ini sudah mencapai 34,7x.
Di saat Wall Street sudah tak sekencang sebelumnya, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang menjadi acuan sudah tembus 1% dan mencapai level tertinggi sejak Maret 2020.
Ada beberapa alasan yang rasional untuk menjelaskan mengapa imbal hasil instrumen investasi pendapatan tetap yang sering jadi acuan valuasi sebagai risk free rate tersebut meningkat.
Pertama adalah prospek perekonomian AS yang lebih cerah, kedua adalah kemungkinan risiko terjadinya gagal bayar (default) yang tinggi. Untuk alasan kedua ini didukung dengan pandangan bahwa terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS ke-46 dan komposisi Kongress yang kini dikuasai oleh Partai Demokrat.
Di bawah pemerintahan Joe Biden ada potensi besar stimulus jumbo bernilai triliunan dolar akan kembali digelontorkan sehingga akan membuat defisit anggaran semakin bengkak.
Namun di saat yang sama bank sentral AS (Federal Reserves/The Fed) masih akan mempertahankan kebijakan akomodatifnya. Suku bunga acuan akan ditahan mendekati nol persen setidaknya sampai 2023 dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih akan dilakukan dengan nilai mencapai US$ 120 miliar per bulan.
Adanya potensi kenaikan inflasi (reflasi) juga menjadi alternatif pandangan yang menjelaskan mengapa yield meningkat. Namun bagaimanapun juga adanya injeksi likuiditas secara masif masih akan berpotensi menguntungkan pasar saham kendati valuasinya sudah mencapai level tertinggi sejak tahun 2000.
Reli pasar saham yang terjadi banyak dipandang sebagai fenomena bubble. Namun bukan berarti crash akan terjadi dalam waktu yang singkat. Hanya saja valuasi yang sudah tergolong mahal memang perlu dicermati dan diwaspadai.
(twg/twg)