Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat akan menggelar RDG pada 18-19 November 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 4%.
Menurut Rao, memang betul bahwa tekanan inflasi sangat minim. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Oktober 2020 sebesar 1,44% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Inflasi tahun kalender (Januari-Oktober 2020) pun masih rendah, yaitu 0,95%.
Ekonomi Indonesia pun masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 3,49% YoY pada kuartal III-2020. Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air sudah terkontraksi dua kuartal beruntun, artinya Indonesia sudah memasuki masa resesi ekonomi.
"Akan tetapi, bank sentral sepertinya lebih fokus untuk mendorong pertumbuhan dari sisi lainnya yaitu menopang pasar obligasi dan menjaga likuiditas tetap memadai agar ekonomi tetap stabil usai era pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) berakhir. Namun bukan berarti BI tidak waspada, karena kasus positif harian mulai meningkat pada November setelah agak melambat," sebut Rao dalam risetnya.
Akan tetapi, sepertinya kebutuhan menurunkan suku bunga acuan sudah semakin mendesak. Hal itu terkonfirmasi dalam laporan BPS lainnya yaitu kinerja perdagangan internasional.
Nilai ekspor pada Oktober 2020 tercatat US$ 14,39 miliar, turun 3,29% YoY. Sementara impor tercatat US$ 10,78 miliar, anjlok 26,93% YoY.
Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 3,61 miliar. Catatan tertinggi sejak Desember 2010.
Kali terakhir Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan adalah pada April 2020. Selepas itu, surplus neraca perdagangan selalu dalam hitungan miliar dolar AS.
Memang harus diakui kinerja ekspor Indonesia membaik. Pencapaian Oktober 2020 lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dengan perkiraan kontraksi 4,5% YoY, sementara konsensus versi Reuters punya proyeksi -4,36%.
Ekspor dari beberapa sektor juga sudah tumbuh positif. Pada Oktober 2020, ekspor produk pertanian tercatat US$ 0,42 milar, melonjak 23,8% YoY. Kemudian ekspor industri barang industri pengolahan naik 3,86% YoY ke US$ 11,79 miliar.
"Dari bulan ke bulan, ekspor menunjukkan peningkatan. Ada tren yang membaik," ujar Setianto, Deputi Statistik Distibusi dan Jasa BPS.
Namun, tidak bisa disangkal pula bahwa surplus neraca perdagangan lebih disebabkan oleh impor yang ambles-seamblesnya. Sejak Juli-Oktober 2020, impor selalu terkontraksi dalam kisaran dua digit.
Masalahnya, sebagian besar impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang digunakan untuk proses produksi di dalam negeri. Jadi kalau impor turun dalam, maka itu jadi pertanda bahwa industri dalam negeri sedang mati suri.
Pada Oktober 2020, nilai impor bahan baku/penolong adalah US$ 7,9% atau turun 27,4% YoY. Lebih dalam dibandingkan September 2020 yang -18,96% YoY.
Kemudian nilai impor barang modal pada Oktober 2020 adalah US$ 1,85 miliar. Turun 24,24% YoY, lebih parah ketimbang bulan sebelumnya yang turun 17,72% YoY.
Data ini memberi konfirmasi bahwa industri dalam negeri memang sedang 'mati suri'. Sebelumnya sudah ada yang menggambarkan bahwa industri manufaktur Tanah Air memang masih dalam fase kontraksi.
IHS Markit mengumumkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia pada Oktober 2020 sebesar 47,8. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,2, tetapi masih di bawah 50. Artinya, industriawan nasional belum melakukan ekspansi.
"Volume produksi mengalami kontraksi selama dua bulan berturut-turut pada Oktober, meskipun tingkat penurunan mulai berkurang mencapai laju lebih lambat. Sama halnya dengan output, arus masuk pesanan baru menurun pada laju lebih lambat. Sementara itu, permintaan eksternal terus melemah pada laju substansial. Para responden menekankan bahwa dampak dari pandemi terus memperburuk kondisi permintaan secara keseluruhan.
"Dengan melemahnya penjualan, perusahaan menyoroti kapasitas berlebih yang terlihat dari penumpukan pekerjaan yang terus menurun. Untuk mengendalikan biaya agar perusahaan tetap dapat bertahan, perusahaan terus mengurangi jumlah karyawan. Perusahaan juga mengurangi harga jual," papar laporan IHS Markit.
Oleh karena itu, sepertinya kebutuhan 'perangsang' tambahan untuk ekonomi yang sedang 'mati suri' ini sangat didambakan. 'Perangsang' itu bisa datang dari bank sentral berupa penurunan suku bunga acuan.
Benar, BI sudah cukup agresif menurunkan suku bunga acuan. Sejak awal tahun ini, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah berkurang 100 basis poin (bps) ke titik terendah sejak suku bunga ini menjadi acuan menggantikan BI Rate.
Namun ruang penurunan masih sangat terbuka. Pertama, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, inflasi sangat 'jinak'. Kedua, juga sudah disebutkan, ada kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar Indonesia bisa mentas dari resesi.
Ketiga, stabilitas nilai tukar rupiah terjaga, bahkan mata uang Ibu Pertiwi terus menguat. Dalam sebulan terakhir, rupiah menguat 3,89% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan selama tiga bulan ke belakang, penguatannya mencapai lebih dari 4%.
"Surplus neraca perdagangan yang besar pada Oktober 2020 semakin membuat kami yakin bahwa: 1) tren penguatan rupiah sepertinya akan terjaga selama bulan ke depan; 2) BI akan punya opsi untuk menurunkan suku bunga acuan," sebut riset Citi.
Well, ada yang berpandangan bahwa kontraksi ekonomi disebabkan oleh permintaan (demand) yang anjlok. Persepsi seperti ini berkesimpulan bahwa suku bunga serendah apapun tidak ada gunanya, karena toh permintaan sangat rendah.
Namun ada pandangan kedua, bisa jadi permintaan semakin tertekan karena suku bunga yang dipandang masih tinggi. Penurunan suku bunga diharapkan bisa menjadi pemancing agar permintaan meningkat dan pada akhirnya ekonomi tidak lagi terkontraksi.
Sekarang mungkin ada baiknya MH Thamrin menengok pandangan yang kedua. Sudah ada urgensi, kebutuhan di depan mata, untuk mendongrak pertumbuhan ekonomi.
Siapa tahu jalan Indonesia untuk lepas dari jerat resesi adalah penurunan suku bunga. Dalam situasi penuh cobaan seperti ini, semua opsi layak dipertimbangkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA