
Jika Rupiah Menguat, Ucapkan Terima Kasih ke Pak Powell

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan pekan lalu. Sentimen domestik jadi pemberat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah.
Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 2% secara point-to-point. IHSG menjadi salah satu indeks saham dengan kinerja terburuk di Asia.
Berikut perkembangan indeks saham utama Benua Kuning sepanjang pekan lalu:
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi 0,86% sepanjang pekan lalu. Lagi-lagi, rupiah juga menjadi salah satu mata uang dengan performa terburuk di Asia.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 9,1 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga Surat Berharga Negara (SBN) sedang turun karena aksi jual.
Pasar keuangan terbeban akibat dinamika yang terjadi di Bank Indonesia (BI). Tersiar kabar bahwa ada kemungkinan BI tetap diminta berkontribusi dalam pembiayaan defisit anggaran alias burden sharing setidaknya sampai 2022.
Kepada para jurnalis media asing di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa berada di kisaran 4,5-5,5%, maka burden sharing mungkin tidak lagi dibutuhkan pada 2022. Pernyataan Jokowi bisa dimaknai bahwa masih ada peluang pemerintah akan meminta bantuan kepada BI untuk membiayai defisit anggaran setidaknya hingga 2022, andai pertumbuhan ekonomi di bawah target.
Pelaku pasar kecewa karena mengira burden sharing hanya kebijakan jangka pendek, sekali pukul, ad hoc, one off. Namun ternyata ada kemungkinan bertahan lama.
Masuknya BI dalam pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikhawatirkan akan menambah jumlah uang beredar. Sebagai informasi, sampai dengan 18 Agustus BI telah membeli obligasi pemerintah di pasar perdana (baik lelang, greenshoe options, sampai private placement) senilai Rp 42,96 triliun. Apabila situasi belum kondusif, maka sangat mungkin jumlah ini akan terus bertambah karena pasar tidak bisa diharapkan untuk menyerap SBN.
Gelontoran uang dari BI tersebut akan menambah jumlah uang beredar di perekonomian. Ketika jumlah uang beredar bertambah, maka inflasi akan terjadi karena nilai uang menjadi turun. Inflasi akan membuat imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) ikut terpangkas.
Selain itu, pasar juga mencemaskan wacana amandemen Undang-undang (UU) BI. Salah satu opsi yang ada adalah kembalinya Dewan Moneter seperti masa Orde Baru.
Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan dengan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Nantinya, Dewan Moneter terdiri Menteri Keuangan sebagai ketua, satu orang menteri di bidang perekonomian, Gubernur BI dan Deputi Senior BI, serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika dipandang perlu, maka pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasihat Dewan Moneter.
"Memang ini masih wacana dan mungkin tidak semua hal yang beredar betul-betul tertuang dalam UU yang baru. Namun, kami menilai bahwa sejumlah pihak berpandangan ada nuansa selama ini bank sentral terlalu kuat dan berlindung di bawah UU BI yang sekarang. Masa pandemi seperti sekarang memantik kembali sentimen tersebut.
"Kami memperkirakan mungkin nantinya independensi bank sentral akan sedikit diturunkan. Ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia akan mengorbankan catatan kebijakan yang pruden selama 1-2 dekade terakhir?" papar Helmi Arman, Ekonom Citi, dalam risetnya.
Berbagai kegaduhan ini membuat investor berpikir ulang untuk masuk ke pasar keuangan Ibu Pertiwi. Pada akhirnya, IHSG, rupiah, dan SBN menjadi 'tumbal' atas segala kegaduhan tersebut.
Tidak hanya di Indonesia, koreksi juga menghampiri bursa saham New York. Selama minggu kemarin, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 1,82%, S&P 500 anjlok 2,31%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,27%.
Namun terpangkasnya Wall Street lebih disebabkan karena koreksi teknikal. Maklum, bursa saham New York sudah menguat lima pekan beruntun. Tentu akan datang saatnya investor merasa keuntungan yang didapat sudah lumayan besar sehingga sangat menggoda untuk dicairkan.
"Sell-off (aksi jual massal) sudah terjadi sejak Kamis, kemudian berlanjut pada Jumat dan kemudian mulai stabil. Koreksi seperti ini terjadi dengan sangat cepat. Namun situasi sudah stabil, ini adalah pertanda baik," kata Michael Antonelli, Market Strategist di Baird yang berbasis di Milwaukee, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, pasar juga mulai menyoroti kenaikan harga saham-saham teknologi belakangan ini. Dalam sebulan terakhir, harga saham Apple melonjak 10,3%, Facebook melesat 13,17%, Amazon naik 4,96%, Alphabet (induk usaha Google) terdongkrak 7,32%, dan Netflix bertambah 1,26%.
Saham-saham teknologi yang selama berminggu-minggu menjadi pendorong kenaikan Wall Street mulai kehabisan 'bensin'. Pekan lalu, harga saham Apple anjlok 3,08%, Facebook ambles 3,72%, Amazon minus 3,15%, Alphabet ambrol 3,55%, dan Netflix terkoreksi 1,5%. Akhirnya hantaman profit taking datang juga.
Namun, investor pun mulai meragukan lonjakan harga saham Apple dkk. Apakah memang berdasar, atau ada 'gorengan'?
Financial Times melaporkan, SoftBank Group asal Jepang telah memborong saham-saham teknologi belakangan ini. Lembaga keuangan asal Jepang itu dikabarkan telah memiliki saham Apple senilai US$ 1,2 miliar. Saham-saham Netflix, Tesla, Microsoft, dan Alphabet juga menjadi koleksi baru perusahaan besutan Masayoshi Son tersebut.
Gelontoran duit dari Negeri Matahari Terbit itu praktis membuat harga saham-saham teknologi di Wall Street melesat. Sejauh ini belum ada komentar dari pihak Softbank mengenai alasan mereka membeli saham-saham teknologi di AS dalam jumlah besar.
"Kita sudah melihat terjadi koreksi (di saham teknologi) dalam beberapa hari terakhir. Kemudian Anda membaca laporan Financial Times. Ini bak menyiram bensin ke api," kata Jeffrey Kleintop, Chief Global Investment di Charles Schwab yang berbasis di Boston, seperti dikutip dari Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah respons pasar keuangan Asia terhadap data ketenagakerjaan terbaru di AS.
Pada Agustus, perekonomian AS menciptakan 1,371 juta lapangan kerja. Lebih sedikit ketimbang bulan sebelumnya yaitu 1,734 juta.
Sementara tingkat pada Agustus berada di 8,4%, turun dibandingkan Juli yang sebesar 10,2%. Jerome 'Jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) merespons positif perkembangan data ketenagakerjaan, tetapi ke depan masih perlu kerja keras.
"Kami berpandangan bahwa situasi akan lebih sulit, terutama ada beberapa area di perekonomian yang masih sangat terdampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) seperti pariwisata dan hiburan. Ekonomi masih membutuhkan suku bunga rendah, yang mendukung perbaikan aktivitas ekonomi, sampai beberapa waktu. Mungkin dalam hitungan tahun. Selama apa pun itu, kami akan tetap ada," papar Powell dalam wawancara dengan National Public Radio, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Powell menambahkan, The Fed tidak akan menarik kebijakan ultra longgar. Tidak cuma suku bunga, juga berbagai fasilitas pemberian likuiditas ke pasar keuangan maupun sektor riil.
"Kami tidak akan menarik dukungan terhadap perekonomian secara prematur. Kami akan terus melakukan apa pun yang kami bisa," lanjutnya.
Sosok pengganti Janet Yellen itu juga meminta otoritas fiskal terus memberikan stimulus. Sekarang belum saatnya bicara disiplin anggaran, karena yang terpenting adalah menyelamatkan rakyat dari dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi akibat wabah virus corona.
"Waktu untuk berpikir soal keberlanjutan fiskal bukan sekarang, karena masih banyak yang membutuhkan (dukungan pemerintah). Masyarakat juga bisa mengambil peran. Akan ada keuntungan ekonomi yang sangat besar jika masyarakat tertib menggunakan masker dan menjaga jarak," tutur Powell.
Powell yang belum puas akan pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam bisa membawa dampak ke pasar keuangan Asia. Apalagi Powell dengan gamblang mengatakan bahwa suku bunga rendah dan berbagai stimulus akan tetap bertahan hingga waktu yang belum ditentukan. Pokoknya selama ekonomi AS belum pulih dari dampak pandemi virus corona, kebijakan The Fed tetap akan ultra-longgar.
Pernyataan Powell bisa membuat dolar AS kembali melemah. Suku bunga rendah membuat imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) ikut terpangkas sehingga kurang menarik. Gelontoran likuiditas akan membuat pasokan dolar AS berlimpah, yang membuat 'harga' mata uang ini semakin murah.
Jika dolar AS tertekan lagi, maka rupiah berpeluang untuk menguat. Apalagi rupiah sudah melemah pekan lalu, sehingga membuka peluang terjadinya technical rebound.
So, peluang penguatan rupiah sepertinya lumayan besar hari ini. Semoga bisa terwujud ya...
Sentimen kedua apalagi kalau bukan perkembangan pandemi virus corona. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona per 4 September adalah 26.171.112 orang. Bertambah 285.387 orang (1,1%) dibandingkan sehari sebelumnya
Di Indonesia, penyebaran virus yang awalnya bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini juga kian mengkhawatirkan. Per 6 September, jumlah pasien positif corona adalah 194.109 orang. Bertambah 3.444 orang (1,81%) dibandingkan hari sebelumnya.
Sudah lima hari beruntun pasien baru bertambah lebih dari 3.000 orang per hari. Rata-rata tambahan pasien baru dalam 14 hari terakhir (24 Agustus-6 September) bertambah 2.898,14 orang dalam sehari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yang sebanyak 2.009,93 orang per hari.
Blavatnik School of Government di Universitas Oxford (Inggris) merilis angka Containent Health Index yang menggambarkan bagaimana kecakapan suatu negara dalam menangani pandemi virus corona dari aspek kesehatan. Indeks ini melihat aspek pembatasan aktivitas masyarakat, pengujian (testing), pelacakan (tracing), investasi di bidang kesehatan, sampai pengembangan vaksin anti-corona.
Per 4 September, skor Containment Health Index Indonesia ada di 56,44. Dari 10 negara anggota ASEAN, Indonesia menempati peringkat enam.
Sedangkan dalam penanganan pandemi secara umum, ada yang namanya Government Response Index. Pada 4 September, skor Indonesia adalah 51,6, nomor tujuh di level ASEAN.
"Sadar atau tidak sadar, kita sedang dihukum dunia. Gara-gara tidak becus menangani pandemi ini," tegas Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, pekan lalu.
Oleh karena itu, Indonesia perlu meyakinkan dunia soal kemampuan mengendalikan pagebluk virus corona. Sebab jika tidak, maka cepat atau lambat kepercayaan investor bisa pudar.
Sentimen ketiga adalah rilis cadangan devisa Indonesia periode Agustus 2020. Pada bulan sebelumnya, cadangan devisa tercatat US$ 135,08 miliar, tertinggi sepanjang sejarah.
Untuk Agustus, Trading Economics memperkirakan cadangan devisa turun sedikit ke US$ 134,8 miliar. Penurunan ini terjadi karena peningkatan kebutuhan intervensi oleh BI untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Namun cadangan devisa sebesar itu masih lebih dari cukup, baik untuk membayar utang luar negeri, impor, maupun kebutuhan intervensi di pasar. 'Peluru' BI yang masih mumpuni bisa menciptakan optimisme bahwa rupiah tidak akan berfluktuasi berlebihan. Stabilnya nilai tukar adalah prasyarat penting bagi investor dalam menanamkan modal, baik di pasar keuangan maupun sektor riil.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data cadangan devisa Jepang periode Agustus 2020 (06:50 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Vale Indonesia Tbk (09:00 WIB).
- Rilis data perdagangan internasional China periode Agustus 2020 (10:00 WIB).
- Rilis data cadangan devisa Indonesia periode Agustus 2020 (10:00 WIB).
- Rilis data produksi industri Jerman periode Juli 2020 (13:00 WIB).
- Rilis data cadangan devisa China periode Agustus 2020 (14:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Agustus 2020 YoY) | 1,32% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (Juli 2020) | US$ 135,08 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Dalam Cadangan Devisa yang Sehat Terdapat Rupiah yang Kuat!
