Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menguat pada pekan lalu, sentimen positif datang dari dalam dan luar negeri. Sementara di awal pekan ini peluang penguatan kembali terbuka setelah merespon perkembangan terbaru obat virus corona, tetapi penguatan tidak akan mulus mengingat ada beberapa sentimen negatif yang datang sepanjang akhir pekan lalu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar keuangan Indonesia hari ini, Senin (13/7/2020) akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat dan mampu bertahan di atas level 5.000.
Dalam 5 hari perdagangan, IHSG hanya menguat sebanyak 2 kali, tetapi penguatan tajam di hari Rabu (8/7/2020) mampu membawa bursa kebanggaan Tanah Air ini menguat 1.16% ke 5.031,256. Ini merupakan kali pertama IHSG mengakhiri pekan di atas level 5.000 sejak awal Maret lalu.
Penguatan tajam di hari Rabu dipicu melesatnya sektor finansial setelah beredar kabar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menempatkan data triliunan rupiah tidak hanya di bank plat merah (Himpunan Bank Milik Negara/Himbara), tetapi juga di Bank Pembangunan Daerah (BPD) serta bank swasta.
Rupiah mampu menguat 0,62% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp14.360/US$ sekaligus membukukan penguatan mingguan pertama dalam 5 pekan terakhir. Rupiah juga menjadi mata uang dengan kinerja terbaik ke-dua di Asia pekan lalu, hanya kalah dari yuan China yang menguat nyaris 1%.
Sementara itu dari pasar obligasi, harga Surat Berharga Negara (SBN) juga mengalami penguatan yang tercermin dari penurunan imbal hasil (yield). Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harganya, saat harga naik yield bergerak turun, dan sebaliknya.
Yield SBN tenor 10 tahun sepanjang pekan lalu mengalami penurunan sebesar 12,7 basis poin (bps) menjadi 7,112%.
Sentimen positif dari dalam negeri datang sejak Senin (6/7/2020) sore setelah perdagangan dalam negeri ditutup. Saat itu Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengadakan konferensi per bersama. Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menjelaskan untuk skema public goods yang sebesar Rp 397,6 triliun ini nantinya pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dijual langsung ke BI melalui skema private placement dengan bunga bunga 0% atau ditanggung 100% oleh BI.
"Beban bunga bagi pemerintah untuk SBN khusus yang diterbitkan dengan private placement, untuk pemerintah 0%, untuk BI sebesar reverse repo ratenya atau ditanggung 100%," kata dia.
Sebelumnya muncul kecemasan kebijakan yang disebut "burden sharing" tersebut akan memicu kenaikan inflasi di Indonesia, sehingga real return investasi menjadi menurun.
Ahli strategi mata uang di DailyFX, Margaret Yang, sebagaimana dikutip Reuters mengatakan saat bank sentral di negara berkembang membeli obligasi pemerintahnya dengan mata uang sendiri, maka akan menciptakan inflasi.
"Bank Sentral AS (The Fed) melakukan hal yang sama, tetapi situasinya berbeda karena dolar AS adalah mata uang dunia, jadi uang tidak hanya beredar di Amerika Serikat, tetapi juga ke seluruh dunia," katanya.
Tetapi, Gubernur Perry saat itu mengatakan dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut tidak besar.
Perry juga menambahkan dengan kebijakan ini, pihaknya akan tetap menjaga dari kesehatan sisi moneter seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Selain itu, SBN yang dibeli dari pemerintah bisa dijual kembali untuk BI bisa menjalankan operasi moneternya.
Alhasil, rupiah dan SBN langsung melesat di hari Selasa dan selanjutnya, hingga membukukan penguatan mingguan.
Sentimen positif dari luar negeri datang dari China, yang sekali lagi menunjukkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi.
Pada Kamis (9/7/2020) China melaporkan data inflasi bulan Juni yang tumbuh 2,5% secara tahunan atau year-on-year (YoY), naik dari bulan sebelumnya 2,4% YoY. Ini juga merupakan kenaikan pertama setelah menurun dalam 4 bulan sebelumnya.
Kenaikan inflasi menjadi indikasi roda bisnis kembali berputar, konsumsi mulai meningkat sehingga harga-harga jadi naik. Data tersebut menunjukkan perekonomian China perlahan mulai bangkit setelah terpukul hebat akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-10).
Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Wall Street menguat pada perdagangan Jumat (10/7/2020) waktu setempat. Indeks Nasdaq bahkan kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Kabar perkembangan obat virus corona oleh Gilead Sciences Inc, membuat sentimen pelaku pasar membaik, dan Wall Street menghijau.
Indeks Dow Jones berakhir menguat 1,44% ke 26.075,3, S&P 500 naik 3.185,04, penguatan indeks Nasdaq paling rendah 0,66% ke 10.617,44, tetapi cukup membawanya mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Dengan penguatan pada hari Jumat lalu, dalam sepekan indeks Dow Jones mampu menguat 0,9%, sementara S&P 500 naik 1,7%. Nasdaq memimpin penguatan mingguan sebesar 4%.
Nasdaq yang merupakan indeks sektor teknologi mencatat rekor tertinggi terbantu oleh penguatan salam Netflix serta Amazon. Saham Netflix pada saat itu melesat 8% dan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa setelah bank investasi ternama, Goldman Sachs mengatakan saham Netflix berpeluang rally 30% dalam 12 bulan ke depan. Sementara saham Amazon hanya naik 0,5%, tetapi juga membukukan rekor tertinggi sepanjang masa. Citi yang menaikkan target harga saham Amazon menjadi pemicu kenaikan tersebut.
Meski sedang menghijau, bukan berarti Wall Street tidak mendapat tantangan. Jumlah kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) yang terus menanjak beberapa kali membuat sentimen pelaku pasar memburuk yang memicu koreksi Wall Street.
Berdasarkan data Worldometer, jumlah kasus Covid-19 di AS kini lebih dari 3,35 juta, dengan lebih dari 137 ribu meninggal dunia.
Penguatan Wall Street pada hari Jumat lalu tentunya mengirim hawa positif ke pasar Asia pagi ini. Seperti disebutkan di halaman sebelumnya, penguatan Wall Street dipicu oleh perkembangan terbaru obat virus corona.
Gilead pada hari Jumat lalu mengumumkan data terbaru hasil obat virus corona, redemsivir, mampu menurunkan risiko kematian pasien Covid-19 hingga 62% jika dibandingkan dengan pengobatan standar. Kabar tersebut membuat saham Gilead menguat 2% di hari Selasa, sekaligus mengangkat sentimen pelaku pasar sehingga Wall Street mencatat penguatan.
Gilead mengatakan menganalisa data dari 312 pasien dalam uji klinis fase tiga, dibandingkan dengan 818 pasien dengan karakteristik dan tingkat keparahan penyakit yang sama, tetapi menggunakan pengobatan standar.
Meski demikian, Gilead mengatakan masih perlu lebih banyak penelitian untuk obat redemsivir yang dibuat.
Selain obat, perusahaan bahkan negara-negara sedang berlomba-lomba membuat vaksin virus corona. menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) hingga saat ini ada 21 calon vaksin yang sedang dilakukan uji klinis ke sukarelawan. 3 diantaranya sudah masuk fase tiga yakni vaksin dari perusahaan biotek AS Moderna, vaksin dari perusahaan farmasi Inggris AstraZeneca, dan vaksin dari perusahaan China Sinovac Biotech.
Jika obat dan vaksin adalah kabar bagus, kabar buruknya jumlah kasus Covid-19 masih terus menanjak , di seluruh dunia pada umumnya, dan Indonesia khususnya. WHO juga sudah mengakui jika virus corona bisa menyebar lewat udara di dalam ruangan dengan sirkulasi yang tidak bagus.
Berdasarkan data Worldometer, Jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia sudah lebih dari 12,88 juta orang, dengan lebih dari 568 ribu orang meninggal dunia.
Sementara di Indonesia, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kemarin melaporkan kasus positif bertambah sebanyak 1.681 orang.
Jumlah pasien positif Covid-19 kini 75.699 orang, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak di ASEAN.
Pada Jumat lalu, Juru Bicara Pemerintah khusus Covid-19, Achmad Yurianto, kemarin mengungkapkan bahwa ada penambahan 2.657 kasus baru. Penambahan tersebut menjadi rekor terbanyak sejak awal Indonesia terjangkit di bulan Maret.
Penambahan kasus Covid-19 di Indonesia masih dalam tren menanjak yang membuat pelaku pasar mulai berhati-hati, karena dapat mengganggu pemulihan ekonomi. Apalagi, Jakarta mencatat rekor penambahan kasus per hari sebanyak 404 orang, jika sampai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali diterapkan, tentunya perekonomian Indonesia akan kembali terpukul, "hantu" resesi pun makin bergentayangan.
Selain tren kenaikan kasus Covid-19, hubungan AS dan China juga menjadi perhatian pelaku pasar. Melansir CNBC International, Presiden AS, Donald Trump mengatakan saat ini ia tidak berfokus pada peluang terjadinya kesepakatan dagang fase II dengan China. Trump menambahkan hubungan dengan China sudah "sangat rusak" akibat pandemi Covid-19.
Trump sebelumnya memang berulang kali menyalahkan China sebagai penyebab pandemi Covid-19, hingga membuat perekonomian AS dan dunia nyungsep.
Pernyataan Trump tersebut tentunya memberikan dampak negatif di pasar finansial.
Namun kabar baiknya, China menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi yang cukup cepat, membuat indeks Shanghai Composite melesat lebih dari 7% pada pekan lalu, dan kurs yuan menguat nyaris 1%.
Seperti disebutkan di halaman 1, China pakan pekan lalu melaporkan data kenaikan inflasi. Pada pekan sebelumnya, IHS Markit melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Negeri Tiongkok bulan Juni naik menjadi 50,9 dari bulan sebelumnya 50,6.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi dan di atasnya berarti ekspansi.
Dengan demikian, China masih mempertahankan bahkan menambah laju ekspansi di bulan Juni, meski virus corona sempat menyerang ibu kota Beijing.
Sejak dilanda Covid-19, sektor manufaktur China hanya mengalami kontraksi di bulan Februari (angka indeks sebesar 35,7) setelahnya, mencatat ekspansi dalam 4 bulan beruntun.
Data-data dari China tersebut tentunya memberikan harapan perekonomian global akan segera bangkit dan terhindar dari resesi, atau setidaknya tidak mengalami resesi panjang.
Berikut rilis data yang terjadwal untuk hari ini.
- Aktivitas Industri Jepang (11:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020Â YoY) | 2,97% |
Inflasi (Juni 2020 YoY) | 1,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020) | 4,25% |
Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020) | -5,07% PDB |
Surplus/defisit transaksi berjalan (Kuartal I-2020) | -1,42% PDB |
Cadangan devisa (Juni 2020) | US$ 131,72 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA