Newsletter

Oh Corona, Kau Buat Investor Bingung Harus Apa

Haryanto, CNBC Indonesia
08 July 2020 06:05
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Jumat 28/2/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik pada perdagangan kemarin berakhir bervariatifIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah, sementara nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah mengalami penguatan.

Selasa kemarin, IHSG ditutup di zona merah dengan depresiasi sebesar 0,04% di level 4.987,08. IHSG kembali gagal ditutup melewati level psikologisnya di angka 5.000 setelah mengalami kenaikan 5 hari berturut-turut.

Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 89 miliar di pasar reguler kemarin dengan nilai transaksi mencapai Rp 7,9 triliun. Sementara ada 138 saham yang harganya naik, 286 turun, dan 149 stagnan.

Saham yang paling banyak dilepas asing hari ini adalah PT Bank Negara IndonesiaTbk (BBNI) dengan jual bersih sebesar Rp 33 miliar dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang mencatatkan net sell sebesar Rp 60 miliar.  

Sedangkan saham yang paling banyak di koleksi asing adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dengan beli bersih sebesar Rp 147 miiliar dan PT Bank Central Asia (BBCA) yang mencatatkan net buy sebesar 116 miliar.

Kendati terjadi pelemahan, namun investor asing mulai masuk pasar saham di tengah laporan data cadangan devisa Tanah Air untuk bulan Juni 2020 yang naik ke US$ 131,7 miliar dibandingkan dengan posisi akhir Mei 2020 pada US$ 130,5 miliar.

Pelaku pasar akhirnya kembali optimistis untuk masuk ke pasar modal Indonesia karena yakin bahwa risiko kurs bakal terminimalisir di tengah naiknya cadangan devisa.

Posisi cadangan devisa tersebut akan semakin memperkuat kemampuan pemerintah Indonesia dalam memenuhi kewajiban luar negerinya, seperti pemenuhan impor plus pembayaran kewajiban utang luar negeri pemerintah atau bahkan melakukan stabilitas nilai tukar rupiah.

Merespons data tersebut harga obligasi rupiah pemerintah Indonesia hari Selasa kemarin (7/7/2020) terpantau menguat.

Data Refinitiv menunjukkan penguatan harga surat utang negara (SUN) tercermin dari tiga seri acuan (benchmark). Ketiga seri tersebut adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0080 bertenor 15 tahun dan FR0083 bertenor 20 tahun, sementara FR0082 bertenor 10 tahun justru melemah.

Seri acuan yang paling menguat hari ini adalah FR0080 yang bertenor 15 tahun dengan penurunan yield 4,50 basis poin (bps) menjadi 7,652%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Selain itu, kondisi cadev yang naik akan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Hal ini tercermin dari penguatan mata uang Garuda melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa kemarin (7/7/2020) yang melanjutkan penguatan sebelumnya dan sekaligus membawanya menjadi juara Asia.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,28% ke Rp 14.400/US$. Setelahnya apresiasi terus berlanjut hingga mencapai 0,71% di Rp 14.338/US$. Tetapi sayangnya, penguatan tersebut terpangkas, rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.400/US$ pada hari Selasa kemarin.

Penguatan tersebut cukup membawa rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia. Sudah cukup lama status tersebut lepas dari rupiah. Senin (6/7/2020), rupiah hanya mampu menguat tipis 0,07%, penguatan tersebut sekaligus memutus rentetan pelemahan 7 hari beruntun.

Beralih ke bursa saham Amerika Serikat (AS) yakni Wall Street, pada penutupan perdagangan Selasa kemarin atau Rabu dini hari tadi waktu Indonesia masuk teritori negatif di tengah kekhawatiran pandemi virus corona.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 396,85 poin atau 1,5% menjadi 25.890,18, Nasdaq merosot 89,76 poin atau 0,9% menjadi 10.343,89 dan S&P 500 turun 34,40 poin atau 1,1% menjadi 3.145,32.

Lebih dari 2,93 juta kasus virus corona telah dikonfirmasi di AS bersama dengan setidaknya 130.306 kematian, menurut Johns Hopkins University. Selama akhir pekan, lebih dari 20 negara bagian melaporkan tingkat pertumbuhan rawat inap minimal 5%.

Kekhawatiran coronavirus yang diperbarui datang ketika para pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa jumlah kematian akibat pandemi mungkin mulai naik lagi.

Presiden Federal Reserve Atlanta, Raphael Bostic juga memperingatkan bahwa lonjakan kasus virus corona di negara-negara bagian selatan dan barat dapat memperlambat pemulihan ekonomi AS.

Bostic mencatat dalam sebuah wawancara dengan Financial Times bahwa bahwa data frekuensi yang tinggi telah "meratakan" kegiatan ekonomi baik dalam hal pembukaan bisnis dan mobilitas.

"Ada beberapa hal yang kami lihat dan beberapa di antaranya meresahkan dan mungkin menyarankan bahwa lintasan pemulihan ini akan menjadi sedikit lebih bergelombang daripada yang mungkin terjadi," kata Bostic.

Sementara itu, aksi ambil untung atau profit taking mungkin juga berkontribusi terhadap penurunan Wall Street setelah Nasdaq dan S&P 500 ditutup lebih tinggi untuk lima sesi berturut-turut.

Saham maskapai penerbangan menunjukkan pergerakan ke bawah yang substansial, menyeret Indeks Penerbangan NYSE Arca turun 4,2%.

Kelemahan signifikan juga muncul di antara saham sektor minyak atau energi, seperti tercermin oleh penurunan NYSE Arca Oil Index sebesar 3,8%. Aksi jual tersebut terjadi meskipun harga minyak mentah ditutup nyaris datar untuk hari kedua berturut-turut, dengan harga minyak mentah WTI untuk pengiriman Agustus turun US$ 0,01 menjadi US$ 40,62 per barel.

Sementara itu, saham sektor perbankan juga bergerak turun tajam selama sesi perdagangan, KBW Bank Index anjlok 3,3%. Indeks mengakhiri sesi pada level penutupan terendah dalam kurun lebih dari sebulan.

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen yang akan mewarnai perdagangan hari ini. Pertama anjloknya bursa Wall Street di tengah laporan yang menunjukkan peningkatan jumlah kasus dan angka kematian akibat pandemi virus corona.

Lebih dari 2,93 juta kasus virus corona telah dikonfirmasi di AS bersama dengan setidaknya 130.306 kematian, menurut Johns Hopkins University. Selama akhir pekan, lebih dari 20 negara bagian melaporkan tingkat pertumbuhan rawat inap minimal 5%.

Penurunan ini bisa berimbas ke pasar saham Benua Kuning termasuk Indonesia, hal ini dikarerakan bursa Wall Street merupakan barometer atau acuan bursa saham global.

Sentimen kedua, perkembangan dari pandemi virus corona itu sendiri yang masih menjadi pusat perhatian atau fokus utama investor.

Mengacu data dari worldometers, jumlah orang terinfeksi virus corona di seluruh dunia hampir mencapai 12 juta orang, sementara jumlah korban jiwa lebih dari 540 ribu orang.

Di Indonesia saat ini, jumlah kasus konfirmasi positif virus corona mencapai 66.226, sementara yang sembuh menjadi 30.785 sedangkan korban jiwa mencapai 3.309. Situasi ini,lagi-lagi bisa mempengaruhi psikologis investor.

Selama penyebaran virus corona semakin bertambah dan tidak menunjukkan kelandaian, maka investor akan terus di hantui kekhawatiran, sehingga inevstor enggan untuk mengalirkan dananya ke pasar keuangan dunia termasuk Indonesia.

Ketiga,yakni kabar baru seputar perang dagang antara Amerika Serikat dengan China bisa menjadi penggerak pasar.

Kamar Dagang Amerika Serikat (AS) dan lebih dari 40 asosiasi perdagangan lainnya mendesak para pejabat tinggi AS dan China untuk meningkatkan upaya agar bisa membuat China memenuhi janjinya untuk menambah jumlah pembelian barang dari AS.

Janji China untuk meningkatkan pembelian itu tertuang dalam kesepakatan perdagangan Fase 1 yang ditandatangani oleh dua ekonomi terbesar dunia pada Januari lalu. Kumpulan asosiasi itu meminta China untuk memenuhi janjinya meskipun ada berbagai masalah antar kedua negara terkait pandemi virus corona (COVID-19).

Dalam sepucuk surat kepada Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada Senin (6/7/2020), kelompok itu mengatakan mereka puas dengan kemajuan sejauh ini, tetapi mendesak peningkatan signifikan dalam pembelian barang dan jasa AS oleh China.

Mereka mengatakan bahwa upaya untuk memerangi pandemi virus corona baru dan memulihkan pertumbuhan global sebagian bergantung pada keberhasilan implementasi kesepakatan perdagangan AS-China.

Apalagi kedua negara juga tengah berselisih di Laut China Selatan, di mana militer mereka telah saling meningkatkan kehadiran. Langkah ini bahkan dikhawatirkan akan memicu lahirnya konfrontasi senjata.

"Di tengah meningkatnya ketegangan bilateral di seluruh hubungan, bekerja bersama untuk meningkatkan perdagangan dan menumbuhkan perdagangan dapat memberikan manfaat penting bagi kedua negara dan membantu meningkatkan hubungan," tulis kelompok itu dalam surat mereka.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  •          Laporan Survei Penjualan Eceran Mei 2020

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (Juni 2020 YoY)

1,96%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2020)

4,25%

Surplus/defisit anggaran (Perpres No 54/2020)

-5,07% PDB

Surplus/defisit transaksi berjalan (Kuartal I-2020)

-1,42% PDB

Cadangan devisa (Juni 2020)

US$ 131,72 miliar

 

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular