
Newsletter
Awas Kebanting! Jangan 'Ugal-ugalan' Menyambut New Normal
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 June 2020 06:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri sedang ceria Selasa (2/6/2020) kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan obligasi kompak menguat. Tidak sekedar menguat, tetapi menguat tajam!
New normal atau singkatnya menjalankan kehidupan dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) mulai dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia Dengan demikian, roda bisnis perlahan kembali berputar sehingga berpeluang terlepas dari ancaman resesi global.
New normal tersebut membuat mood pelaku pasar membaik sejak awal pekan ini. Euforia new normal membuat bursa saham melesat, tetapi masih ada risiko yang dihadapi sehingga tetap harus berhati-hati agar tidak "ugal-ugalan" menyambut diputarnya kembali roda perekonomian. Risiko yang dihadapi dan isu lainnya yang mempengaruhi pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kemarin, IHSG mencatat penguatan 1,98% ke 4.847,51, yang menjadi level tertinggi sejak 7 April. Penguatan bursa kebanggaan Tanah Air ini sekaligus mencatatkan penguatan 5 hari beruntun, menjadi reli IHSG terpanjang sejak Oktober 2019 silam.
Berdasarkan data RTI, nilai transaksi di Bura Efek Indonesia (BEI) kemarin nyaris Rp 12 triliun, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 753,81 miliar di pasar reguler. Jika memasukkan pasar non-reguler, total aksi beli bersih tercatat Rp 872,35 miliar. Aksi beli bersih tersebut menjadi kabar menggembirakan bagi IHSG dalam lebih dari 2 bulan terakhir.
Dari lantai bursa, sektor keuangan, yang berkontribusi paling besar terhadap IHSG, berhasil menguat 3,92%, dan sudah reli dalam 6 hari berturut-turut, sejak Otoritas Jasa Keuangan memberikan stimulus ke sektor perbankan. Kemarin, saham Bank Tabungan Negara (BBTN) melesat 21,71% ke Rp 925/saham, jauh mengungguli saham bank lainnya.
Tidak hanya new normal dan stimulus OJK, pemicu lain kenaikan harga saham BTN adalah Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) dipastikan akan segera beroperasi setelah Peraturan Pemerintah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kehadiran Tapera diharapkan bisa mendorong pembiayaan sektor perumahan dimana BTN akan menjadi salah satu mitra.
Sementara itu, rupiah juga berjaya kemarin, menjadi mata uang terbaik di Asia setelah melesat 1,34% ke Rp 14.380/US$ pada perdagangan pertama bulan Juni. Mata Uang Garuda melanjutkan lebih dari 10% pada periode April-Mei, dan berada di level terkuat sejak 12 Maret.
Dari pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 11,4 basis poin (bps) menjadi 7,226% yang merupakan level terendah sejak 16 Maret.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Obligasi Indonesia saat ini sedang diminati oleh investor. Hal tersebut tercermin dari lelang SBN yang penawarannya mencapai 105,27 triliun.Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi kelebihan permintaan (oversubcibed) 5,2 kali.
Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Mood pelaku pasar yang sedang bagus menyambut new normal membuat aliran investasi masuk ke aset-aset berisiko seperti saham, juga aset-aset dengan imbal hasil tinggi seperti obligasi Indonesia.
New normal sudah mulai dilakukan di negara-negara di Asia dan Eropa yang memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Indonesia juga bersiap memulai new normal. Dalam skema new normal di bidang perdagangan, sejumlah pusat perbelanjaan akan dibuka kembali secara bertahap. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebut ada 5 fase atau tahapan yang akan diterapkan.
"Setiap minggu kita lihat, karena kita mau menggerakkan Ekonomi secara cepat. Mungkin dan supaya tak ada distorsi yang lain-lain karena kita harus meningkatkan atau menghidupkan segera yang kemarin banyak pusat perbelanjaan tutup, dan pasar tradisional, dan ini kita harus buka minggu depan dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Agus seperti dikutip CNBC Indonesia dari Rekaman Humas Kemendag, Jumat (29/5/2020).
Fase pertama akan dimulai pekan ini, dan fase-fase selanjutnya menyusul setiap pekannya.
Selain itu, data yang dirilis kemarin menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia sedikit membaik di bulan Mei, menjadi 28,6 dari bulan April sebesar 27,5.
Meski masih berkontraksi (di bawah 50), setidaknya angka indeks mulai bergerak naik. Dengan penerapan new normal mulai bulan ini, PMI manufaktur tentunya akan semakin naik mendekati 50, dan tidak menutup kemungkinan langsung menunjukkan ekspansi (di atas 50).
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2020. BPS mencatat terjadi inflasi 0,07% di Mei 2020. Sebanyak 67 kota terjadi inflasi sementara 23 kota deflasi.
BPS mencatat year-on-year inflasi 2,19% sementara year-to-date inflasi 2020 mencapai 0,9%.
Rendahnya inflasi memang bisa memberikan gambaran penurunan daya beli masyarakat akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Tetapi secara investasi, inflasi yang rendah membuat riil return berinvestasi di Indonesia menjadi lebih tinggi. Sehingga aliran modal asing bisa deras masuk ke dalam negeri
Bursa saham AS (Wall Street) kembali menguat pada perdagangan Selasa kemarin, meski Presiden Donald Trump mengancam akan menurunkan militer guna meredam demonstrasi yang berujung kerusuhan. New normal lagi-lagi berada di balik penguatan Wall Street.
Indeks Dow Jones memimpin penguatan sebesar 1,1% ke 25.742,65, disusul S&P 500 0,8% ke 3.080,82, dan Nasdaq 0,6% ke 9.608,37.
Demonstrasi yang berujung kerusuhan di AS sudah berlangsung selama 7 hari. Presiden Trump mengatakan telah memerintahkan ribuan tentara yang bersenjata lengkap, personel militer dan petugas penegak hukum untuk mengamankan demo anti-rasisme.
"Saya memobilisasi semua sumber daya federal dan lokal, sipil dan militer, untuk melindungi hak-hak hukum orang Amerika yang taat," kata Trump dalam pidato di Gedung Putih, Senin (1/6/2020).
"Hari ini saya sangat merekomendasikan kepada setiap gubernur untuk mengerahkan Pengawal Nasional (Garda Nasional) dalam jumlah yang cukup sehingga kita mendominasi jalanan. Walikota dan gubernur harus membangun kehadiran yang luar biasa sampai kekerasan diatasi," tambah Trump, sebagaimana dilaporkan CNBC International.
"Jika kota atau negara bagian menolak mengambil tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan properti warga mereka, saya akan menurunkan pasukan militer AS dan segera menyelesaikan masalah mereka," tegas Trump.
Meski kerusuhan terus berlanjut, tetapi Wall Street masih tetap melaju kencang. Ketiga indeks utama sudah membukukan penguatan pada periode April-Mei, indeks S&P 500 bahkan sudah melesat 40% dari level terendah akhir Maret ketika mengalami aksi jual masif.
Pasar saham seakan mengabaikan situasi di AS.
"Pasar merupakan sebuah mekanisme melihat ke depan. 3 bulan dari sekarang, atau 9 bulan dari sekarang semua akan terkendali. Perekononomian akan kembali, earning juga pulih" kata Steven DeSanctis, ahli strategi saham di Jefferies.
Tetapi para analis lain mengatakan kerusuhan baru akan berdampak ke pasar jika berlangsung hingga musim panas, yang dapat mengganggu rencana membuka kembali perekonomian, serta dapat menekan tingkat keyakinan konsumen.
Berlanjutnya penguatan Wall Street, sebagai kiblat bursa saham dunia tentunya mengirim sinyal positif ke pasar keuangan Asia dan dalam negeri hari ini.
Wall Street masih terus menunjukkan penguatan meski kerusuhan terus terjadi di Negeri Paman Sam. Secara historis, kerusuhan yang terjadi di negara maju cenderung tak berdampak signifikan ke bursa saham. Hal tersebut diungkapkan oleh Tina Fordham, kepala strategi politik global di Avonhurst kepada CNBC International dalam acara Squawk Box Europe Selasa kemarin.
"Investor di AS cenderung mengabaikan perkembangan (kerusuhan) ini, dan memperkirakan situasi akan terkendali, tetapi dalam pandangan kami kemungkinan akan terjadi konfrontasi yang lebih luas," kata Fordham.
Ia menambahkan pada tahun 1968, ketika terjadi kerusuhan yang lebih besar dan lebih berdarah di AS dampaknya sangat kecil ke Wall Street. Jadi menurutnya penguatan bursa saham saat terjadi kerusuhan saat bukan merupakan sesuatu yang tidak biasa.
Bursa saham yang menguat saat terjadi kerusuhan juga terjadi pada tahun lalu di Hong Kong (dengan sebab yang berbeda), bahkan selama berbulan-bulan. tetapi nyatanya, indeks Hang Seng Hong Kong masih mampu mencatat penguatan sepanjang 2019.
Bahkan jika melihat pergerakan indeks Hang Seng sepanjang tahun, penguatan maupun pelemahan lebih dipengaruhi oleh perkembangan hubungan AS-China khususnya masalah perang dagang.
Kurang berpengaruhnya kerusuhan di AS ke pasar keuangan bisa juga dilihat dari tingkat kepanikan global yang diukur dari volatility index (VIX). Sejak kerusuhan di AS pecah pada pekan lalu, VIX masih anteng di level di dekat level terendah dalam 3 bulan terakhir, jauh di bawah level tertinggi 12 tahun yang disentuh pada pertengahan Maret lalu ketika terjadi kepanikan global akibat pandemi Covid-19.
VIX pada perdagangan Selasa berada di kisaran 26, sementara pada pertengahan Maret berada di atas level 80. Posisi VIX di awal tahun ini berada di bawah 20, artinya tingkat kepanikan global sudah kembali mendekati level sebelum virus corona menjadi pandemi global.
Berkaca dari hal tersebut, kerusuhan yang terjadi di AS untuk sementara bisa diabaikan dampaknya ke pasar keuangan. Fokus investor saat ini masih tertuju pada new normal dalam memutar kembali roda perekonomian.
Negara-negara di Asia, Eropa hampir semuanya akan memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan lockdown. Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Tetapi jangan sampai new normal menjadi euforia yang membuat aset-aset berisiko melesat "ugal-ugalan", karena masih ada risiko yang membayangi. Risiko pertama tentunya dari kemungkinan terjadinya gelombang kedua penyebaran Covid-19, jika itu sampai terjadi maka kebijakan lockdown bisa kembali diterapkan, roda perekonomian bisa kembali terhenti dan aksi jual di pasar keuangan terjadi lagi.
Kemudian risiko yang kedua, masih belum bisa ditebak sejauh apa performa ekonomi saat new normal. Ekspektasi yang tinggi bisa menimbulkan kekecewaan yang besar, dan sekali lagi memicu aksi jual.
Kontraksi tajam perekonomian AS masih membayangi di kuartal ini, meski aktivitas bisnis berjalan lagi secara perlahan.
Federal Reserve Atlanta kini memprediksi produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal II-2020 akan mengalami kontraksi alias minus 52,8% setelah rilis data PMI manufaktur AS di awal pekan.
Belanja konsumen yang berkontribusi sekitar 68% dari total PDB AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 58,1%, kemudian investasi swasta dengan kontribusi 17% dari PDB diramal berkontraksi 62,6%.
Proyeksi dari The Fed Atlanta berubah-ubah menyesuaikan dengan rilis indikator ekonomi, dan akan semakin akurat ketika mendekati akhir kuartal II-2020, yakni 30 Juni nanti.
Dengan proyeksi kontraksi nyaris 53% saat ini, rasa-rasanya sulit untuk terpangkas signifikan meski roda perekonomian mulai diputar lagi.
China bisa menjadi contoh bagaimana perekonomian bekerja setelah Covid-19 berhasil diredam. Negara awal virus corona, sudah melonggarkan lockdown sejak bulan Maret lalu dan perekonomian bisa segera bangkit. Hal tersebut terlihat dari sektor manufaktur yang kembali berekspansi dalam 3 bulan beruntun setelah mengalami kontraksi tajam di bulan Februari.
Minggu (31/5/2020) lalu, PMI manufaktur China bulan Mei dilaporkan sebesar 50,6, melambat dari bulan sebelumnya 50,8. Di bulan Maret, PMI manufaktur China berada di level 52, naik tajam ketimbang bulan Februari sebesar 35,7, yang merupakan kontraksi terdalam sepanjang sejarah.
Data PMI manufaktur China tersebut memberikan gambaran pemulihan ekonomi V-shape, merosot tajam akibat pandemi Covid-19, dan melesat naik ketika penyebaranya virus corona berhasil diredam. Tetapi patut dicatat, ekspansi tersebut mengalami pelambatan lagi dua bulan terakhir.
Artinya, perekonomian tidak bisa lepas landas begitu saja, masih ada tantangan yang harus dihadapi, sehingga jangan menaruh ekspektasi terlalu tinggi jika tidak ingin terbanting keras nantinya.
Semua tentu berharap yang terbaik, perekonomian segera melesat naik, tetapi alangkah baiknya jika menilai kondisi saat ini secara bertahap.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Racikan 'Obat Kuat' Hari Ini : Vaksin, New Normal & Stimulus
New normal atau singkatnya menjalankan kehidupan dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) mulai dilakukan di berbagai negara, termasuk Indonesia Dengan demikian, roda bisnis perlahan kembali berputar sehingga berpeluang terlepas dari ancaman resesi global.
New normal tersebut membuat mood pelaku pasar membaik sejak awal pekan ini. Euforia new normal membuat bursa saham melesat, tetapi masih ada risiko yang dihadapi sehingga tetap harus berhati-hati agar tidak "ugal-ugalan" menyambut diputarnya kembali roda perekonomian. Risiko yang dihadapi dan isu lainnya yang mempengaruhi pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Kemarin, IHSG mencatat penguatan 1,98% ke 4.847,51, yang menjadi level tertinggi sejak 7 April. Penguatan bursa kebanggaan Tanah Air ini sekaligus mencatatkan penguatan 5 hari beruntun, menjadi reli IHSG terpanjang sejak Oktober 2019 silam.
Berdasarkan data RTI, nilai transaksi di Bura Efek Indonesia (BEI) kemarin nyaris Rp 12 triliun, dengan investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 753,81 miliar di pasar reguler. Jika memasukkan pasar non-reguler, total aksi beli bersih tercatat Rp 872,35 miliar. Aksi beli bersih tersebut menjadi kabar menggembirakan bagi IHSG dalam lebih dari 2 bulan terakhir.
Dari lantai bursa, sektor keuangan, yang berkontribusi paling besar terhadap IHSG, berhasil menguat 3,92%, dan sudah reli dalam 6 hari berturut-turut, sejak Otoritas Jasa Keuangan memberikan stimulus ke sektor perbankan. Kemarin, saham Bank Tabungan Negara (BBTN) melesat 21,71% ke Rp 925/saham, jauh mengungguli saham bank lainnya.
Tidak hanya new normal dan stimulus OJK, pemicu lain kenaikan harga saham BTN adalah Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) dipastikan akan segera beroperasi setelah Peraturan Pemerintah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kehadiran Tapera diharapkan bisa mendorong pembiayaan sektor perumahan dimana BTN akan menjadi salah satu mitra.
Sementara itu, rupiah juga berjaya kemarin, menjadi mata uang terbaik di Asia setelah melesat 1,34% ke Rp 14.380/US$ pada perdagangan pertama bulan Juni. Mata Uang Garuda melanjutkan lebih dari 10% pada periode April-Mei, dan berada di level terkuat sejak 12 Maret.
Dari pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun 11,4 basis poin (bps) menjadi 7,226% yang merupakan level terendah sejak 16 Maret.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Obligasi Indonesia saat ini sedang diminati oleh investor. Hal tersebut tercermin dari lelang SBN yang penawarannya mencapai 105,27 triliun.Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi kelebihan permintaan (oversubcibed) 5,2 kali.
Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Mood pelaku pasar yang sedang bagus menyambut new normal membuat aliran investasi masuk ke aset-aset berisiko seperti saham, juga aset-aset dengan imbal hasil tinggi seperti obligasi Indonesia.
New normal sudah mulai dilakukan di negara-negara di Asia dan Eropa yang memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Indonesia juga bersiap memulai new normal. Dalam skema new normal di bidang perdagangan, sejumlah pusat perbelanjaan akan dibuka kembali secara bertahap. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebut ada 5 fase atau tahapan yang akan diterapkan.
"Setiap minggu kita lihat, karena kita mau menggerakkan Ekonomi secara cepat. Mungkin dan supaya tak ada distorsi yang lain-lain karena kita harus meningkatkan atau menghidupkan segera yang kemarin banyak pusat perbelanjaan tutup, dan pasar tradisional, dan ini kita harus buka minggu depan dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Agus seperti dikutip CNBC Indonesia dari Rekaman Humas Kemendag, Jumat (29/5/2020).
Fase pertama akan dimulai pekan ini, dan fase-fase selanjutnya menyusul setiap pekannya.
Selain itu, data yang dirilis kemarin menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia sedikit membaik di bulan Mei, menjadi 28,6 dari bulan April sebesar 27,5.
Meski masih berkontraksi (di bawah 50), setidaknya angka indeks mulai bergerak naik. Dengan penerapan new normal mulai bulan ini, PMI manufaktur tentunya akan semakin naik mendekati 50, dan tidak menutup kemungkinan langsung menunjukkan ekspansi (di atas 50).
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2020. BPS mencatat terjadi inflasi 0,07% di Mei 2020. Sebanyak 67 kota terjadi inflasi sementara 23 kota deflasi.
BPS mencatat year-on-year inflasi 2,19% sementara year-to-date inflasi 2020 mencapai 0,9%.
Rendahnya inflasi memang bisa memberikan gambaran penurunan daya beli masyarakat akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Tetapi secara investasi, inflasi yang rendah membuat riil return berinvestasi di Indonesia menjadi lebih tinggi. Sehingga aliran modal asing bisa deras masuk ke dalam negeri
Bursa saham AS (Wall Street) kembali menguat pada perdagangan Selasa kemarin, meski Presiden Donald Trump mengancam akan menurunkan militer guna meredam demonstrasi yang berujung kerusuhan. New normal lagi-lagi berada di balik penguatan Wall Street.
Indeks Dow Jones memimpin penguatan sebesar 1,1% ke 25.742,65, disusul S&P 500 0,8% ke 3.080,82, dan Nasdaq 0,6% ke 9.608,37.
Demonstrasi yang berujung kerusuhan di AS sudah berlangsung selama 7 hari. Presiden Trump mengatakan telah memerintahkan ribuan tentara yang bersenjata lengkap, personel militer dan petugas penegak hukum untuk mengamankan demo anti-rasisme.
"Saya memobilisasi semua sumber daya federal dan lokal, sipil dan militer, untuk melindungi hak-hak hukum orang Amerika yang taat," kata Trump dalam pidato di Gedung Putih, Senin (1/6/2020).
"Hari ini saya sangat merekomendasikan kepada setiap gubernur untuk mengerahkan Pengawal Nasional (Garda Nasional) dalam jumlah yang cukup sehingga kita mendominasi jalanan. Walikota dan gubernur harus membangun kehadiran yang luar biasa sampai kekerasan diatasi," tambah Trump, sebagaimana dilaporkan CNBC International.
"Jika kota atau negara bagian menolak mengambil tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan properti warga mereka, saya akan menurunkan pasukan militer AS dan segera menyelesaikan masalah mereka," tegas Trump.
Meski kerusuhan terus berlanjut, tetapi Wall Street masih tetap melaju kencang. Ketiga indeks utama sudah membukukan penguatan pada periode April-Mei, indeks S&P 500 bahkan sudah melesat 40% dari level terendah akhir Maret ketika mengalami aksi jual masif.
Pasar saham seakan mengabaikan situasi di AS.
"Pasar merupakan sebuah mekanisme melihat ke depan. 3 bulan dari sekarang, atau 9 bulan dari sekarang semua akan terkendali. Perekononomian akan kembali, earning juga pulih" kata Steven DeSanctis, ahli strategi saham di Jefferies.
Tetapi para analis lain mengatakan kerusuhan baru akan berdampak ke pasar jika berlangsung hingga musim panas, yang dapat mengganggu rencana membuka kembali perekonomian, serta dapat menekan tingkat keyakinan konsumen.
Berlanjutnya penguatan Wall Street, sebagai kiblat bursa saham dunia tentunya mengirim sinyal positif ke pasar keuangan Asia dan dalam negeri hari ini.
Wall Street masih terus menunjukkan penguatan meski kerusuhan terus terjadi di Negeri Paman Sam. Secara historis, kerusuhan yang terjadi di negara maju cenderung tak berdampak signifikan ke bursa saham. Hal tersebut diungkapkan oleh Tina Fordham, kepala strategi politik global di Avonhurst kepada CNBC International dalam acara Squawk Box Europe Selasa kemarin.
"Investor di AS cenderung mengabaikan perkembangan (kerusuhan) ini, dan memperkirakan situasi akan terkendali, tetapi dalam pandangan kami kemungkinan akan terjadi konfrontasi yang lebih luas," kata Fordham.
Ia menambahkan pada tahun 1968, ketika terjadi kerusuhan yang lebih besar dan lebih berdarah di AS dampaknya sangat kecil ke Wall Street. Jadi menurutnya penguatan bursa saham saat terjadi kerusuhan saat bukan merupakan sesuatu yang tidak biasa.
Bursa saham yang menguat saat terjadi kerusuhan juga terjadi pada tahun lalu di Hong Kong (dengan sebab yang berbeda), bahkan selama berbulan-bulan. tetapi nyatanya, indeks Hang Seng Hong Kong masih mampu mencatat penguatan sepanjang 2019.
![]() |
Bahkan jika melihat pergerakan indeks Hang Seng sepanjang tahun, penguatan maupun pelemahan lebih dipengaruhi oleh perkembangan hubungan AS-China khususnya masalah perang dagang.
Kurang berpengaruhnya kerusuhan di AS ke pasar keuangan bisa juga dilihat dari tingkat kepanikan global yang diukur dari volatility index (VIX). Sejak kerusuhan di AS pecah pada pekan lalu, VIX masih anteng di level di dekat level terendah dalam 3 bulan terakhir, jauh di bawah level tertinggi 12 tahun yang disentuh pada pertengahan Maret lalu ketika terjadi kepanikan global akibat pandemi Covid-19.
VIX pada perdagangan Selasa berada di kisaran 26, sementara pada pertengahan Maret berada di atas level 80. Posisi VIX di awal tahun ini berada di bawah 20, artinya tingkat kepanikan global sudah kembali mendekati level sebelum virus corona menjadi pandemi global.
Berkaca dari hal tersebut, kerusuhan yang terjadi di AS untuk sementara bisa diabaikan dampaknya ke pasar keuangan. Fokus investor saat ini masih tertuju pada new normal dalam memutar kembali roda perekonomian.
Negara-negara di Asia, Eropa hampir semuanya akan memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan lockdown. Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.
Tetapi jangan sampai new normal menjadi euforia yang membuat aset-aset berisiko melesat "ugal-ugalan", karena masih ada risiko yang membayangi. Risiko pertama tentunya dari kemungkinan terjadinya gelombang kedua penyebaran Covid-19, jika itu sampai terjadi maka kebijakan lockdown bisa kembali diterapkan, roda perekonomian bisa kembali terhenti dan aksi jual di pasar keuangan terjadi lagi.
Kemudian risiko yang kedua, masih belum bisa ditebak sejauh apa performa ekonomi saat new normal. Ekspektasi yang tinggi bisa menimbulkan kekecewaan yang besar, dan sekali lagi memicu aksi jual.
Kontraksi tajam perekonomian AS masih membayangi di kuartal ini, meski aktivitas bisnis berjalan lagi secara perlahan.
Federal Reserve Atlanta kini memprediksi produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal II-2020 akan mengalami kontraksi alias minus 52,8% setelah rilis data PMI manufaktur AS di awal pekan.
Belanja konsumen yang berkontribusi sekitar 68% dari total PDB AS diprediksi akan terkontraksi sebesar 58,1%, kemudian investasi swasta dengan kontribusi 17% dari PDB diramal berkontraksi 62,6%.
Proyeksi dari The Fed Atlanta berubah-ubah menyesuaikan dengan rilis indikator ekonomi, dan akan semakin akurat ketika mendekati akhir kuartal II-2020, yakni 30 Juni nanti.
Dengan proyeksi kontraksi nyaris 53% saat ini, rasa-rasanya sulit untuk terpangkas signifikan meski roda perekonomian mulai diputar lagi.
China bisa menjadi contoh bagaimana perekonomian bekerja setelah Covid-19 berhasil diredam. Negara awal virus corona, sudah melonggarkan lockdown sejak bulan Maret lalu dan perekonomian bisa segera bangkit. Hal tersebut terlihat dari sektor manufaktur yang kembali berekspansi dalam 3 bulan beruntun setelah mengalami kontraksi tajam di bulan Februari.
Minggu (31/5/2020) lalu, PMI manufaktur China bulan Mei dilaporkan sebesar 50,6, melambat dari bulan sebelumnya 50,8. Di bulan Maret, PMI manufaktur China berada di level 52, naik tajam ketimbang bulan Februari sebesar 35,7, yang merupakan kontraksi terdalam sepanjang sejarah.
Data PMI manufaktur China tersebut memberikan gambaran pemulihan ekonomi V-shape, merosot tajam akibat pandemi Covid-19, dan melesat naik ketika penyebaranya virus corona berhasil diredam. Tetapi patut dicatat, ekspansi tersebut mengalami pelambatan lagi dua bulan terakhir.
Artinya, perekonomian tidak bisa lepas landas begitu saja, masih ada tantangan yang harus dihadapi, sehingga jangan menaruh ekspektasi terlalu tinggi jika tidak ingin terbanting keras nantinya.
Semua tentu berharap yang terbaik, perekonomian segera melesat naik, tetapi alangkah baiknya jika menilai kondisi saat ini secara bertahap.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Data PDB Australia Q1 (8.30 WIB)
- Data PMI Jasa China vesi Caixin Mei (8.45 WIB)
- Data Tenaga Kerja AS versi ADP (19.15 WIB)
- Pengumuman suku bunga Kanada (21.00 WIB)
- Data PMI non-manufaktur AS versi ISM (21:00 WIB)
- Pertemuan G7
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY) | 2,97% |
Inflasi (Mei 2020 YoY) | 2,19% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -5,07% PDB |
Transaksi berjalan (1Q20) | -1,4% PDB |
Cadangan devisa (April 2020) | US$ 127,88 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Racikan 'Obat Kuat' Hari Ini : Vaksin, New Normal & Stimulus
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular