
Newsletter
Libur Telah Usai, Saatnya New Normal Ambil Kendali Pasar?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 May 2020 06:10

Hubungan AS-China memang rumit. Mereka tidak hanya bersaing dalam pengembangan vaksin saja. Lebih dari itu keduanya kini juga berseteru soal Hong Kong. Jika konflik Washington-Beijing terus tereskalasi maka ini akan jadi sentimen yang membebani kinerja aset-aset berisiko seperti saham.
"Pemerintah AS kemungkinan akan menjatuhkan sanksi terhadap China jika Beijing menerapkan hukum keamanan nasional yang akan memberinya kontrol lebih besar atas Hong Kong," kata Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Robert O'Brien, Minggu (24/5/2020) mengutip CNBC International
Rancangan undang-undang tersebut mewakili pengambilalihan Hong Kong, kata O'Brien, dan sebagai konsekuensinya Sekretaris Negara AS Mike Pompeo kemungkinan tidak akan dapat menyatakan bahwa kota tersebut akan tetap mempertahankan otonomi "tingkat tinggi"-nya.
"AS akan mengenakan sanksi terhadap China di bawah Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong tahun 2019," kata O'Brien.
Pompeo telah menyebut proposal itu sebagai "lonceng kematian" untuk otonomi Hong Kong. O'Brien memperingatkan bahwa Hong Kong dapat kehilangan statusnya sebagai pusat utama keuangan global.
“Sulit untuk melihat bagaimana Hong Kong bisa tetap menjadi pusat keuangan Asia jika Cina mengambil alih,” O'Brien mengatakan kepada Chuck Todd NBC tentang “Meet the Press.” Dia mengatakan layanan keuangan pada awalnya datang ke Hong Kong karena aturan hukum yang melindungi perusahaan bebas dan sistemnya kapitalis.
"Jika semua itu hilang, saya tidak yakin bagaimana komunitas keuangan dapat tinggal di sana. ... Mereka tidak akan tinggal di Hong Kong untuk dikuasai oleh Republik Rakyat Tiongkok, partai komunis" tambahnya.
Konflik tak berkesudahan antara dua raksasa ekonomi global membuat prospek pemulihan ekonomi pasca Covid-19 menjadi gloomy. Jika terus berlanjut maka periode recovery akan berjalan lambat dan dunia berada dalam kontraksi yang berkepanjangan.
Di sisi lain investor juga perlu mencermati langkah pemerintah dalam menangani wabah corona di dalam negeri. Jumlah kasus corona masih belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai.
Bahkan beberapa hari lalu jelang lebaran jumlah kasus melesat hampir 1.000 kasus dalam sehari. Pemerintah yang terus menggeber tes corona serta peningkatan mobilitas publik jelang hari raya Idul Fitri jadi pemicu terjadinya lonjakan kasus.
Dengan jumlah kasus yang masih terus bertambah, beredar kabar bahwa pemerintah sudah mulai mewacanakan hidup normal bulan Juni. Pemerintah membutuhkan framework kebijakan yang jelas untuk menentukan kapan momentum yang tepat untuk memacu roda perekonomian kembali lebih kencang. Pasalnya jika momennya tidak tepat hal ini justru akan merugikan bagi perekonomian Tanah Air.
Pada akhirnya, sentimen kembali campur aduk. Pasar keuangan yang sudah menguat pekan lalu berpotensi bergerak volatil pada perdagangan hari ini. IHSG dan rupiah masih rawan mengalami koreksi. (twg)
"Pemerintah AS kemungkinan akan menjatuhkan sanksi terhadap China jika Beijing menerapkan hukum keamanan nasional yang akan memberinya kontrol lebih besar atas Hong Kong," kata Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Robert O'Brien, Minggu (24/5/2020) mengutip CNBC International
Rancangan undang-undang tersebut mewakili pengambilalihan Hong Kong, kata O'Brien, dan sebagai konsekuensinya Sekretaris Negara AS Mike Pompeo kemungkinan tidak akan dapat menyatakan bahwa kota tersebut akan tetap mempertahankan otonomi "tingkat tinggi"-nya.
"AS akan mengenakan sanksi terhadap China di bawah Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong tahun 2019," kata O'Brien.
Pompeo telah menyebut proposal itu sebagai "lonceng kematian" untuk otonomi Hong Kong. O'Brien memperingatkan bahwa Hong Kong dapat kehilangan statusnya sebagai pusat utama keuangan global.
“Sulit untuk melihat bagaimana Hong Kong bisa tetap menjadi pusat keuangan Asia jika Cina mengambil alih,” O'Brien mengatakan kepada Chuck Todd NBC tentang “Meet the Press.” Dia mengatakan layanan keuangan pada awalnya datang ke Hong Kong karena aturan hukum yang melindungi perusahaan bebas dan sistemnya kapitalis.
"Jika semua itu hilang, saya tidak yakin bagaimana komunitas keuangan dapat tinggal di sana. ... Mereka tidak akan tinggal di Hong Kong untuk dikuasai oleh Republik Rakyat Tiongkok, partai komunis" tambahnya.
Konflik tak berkesudahan antara dua raksasa ekonomi global membuat prospek pemulihan ekonomi pasca Covid-19 menjadi gloomy. Jika terus berlanjut maka periode recovery akan berjalan lambat dan dunia berada dalam kontraksi yang berkepanjangan.
Di sisi lain investor juga perlu mencermati langkah pemerintah dalam menangani wabah corona di dalam negeri. Jumlah kasus corona masih belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai.
Bahkan beberapa hari lalu jelang lebaran jumlah kasus melesat hampir 1.000 kasus dalam sehari. Pemerintah yang terus menggeber tes corona serta peningkatan mobilitas publik jelang hari raya Idul Fitri jadi pemicu terjadinya lonjakan kasus.
Dengan jumlah kasus yang masih terus bertambah, beredar kabar bahwa pemerintah sudah mulai mewacanakan hidup normal bulan Juni. Pemerintah membutuhkan framework kebijakan yang jelas untuk menentukan kapan momentum yang tepat untuk memacu roda perekonomian kembali lebih kencang. Pasalnya jika momennya tidak tepat hal ini justru akan merugikan bagi perekonomian Tanah Air.
Pada akhirnya, sentimen kembali campur aduk. Pasar keuangan yang sudah menguat pekan lalu berpotensi bergerak volatil pada perdagangan hari ini. IHSG dan rupiah masih rawan mengalami koreksi. (twg)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular