
Newsletter
Kala Corona Bisa Berujung Perang Dunia III, Amit-amit...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 May 2020 06:00

Beralih ke bursa saham New York, tiga indeks utama berhasil ditutup menguat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 1,62%, S&P 500 bertambah 1,15%, dan Nasdaq terangkat 0,91%.
Kala pembukaan pasar, Wall Street sempat terjebak di zona merah. Penyebabnya adalah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang kecewa dengan China karena dinilai gagal menahan penyebaran virus corona.
Kegagalan China membuat virus yang bermula dari Kota Wuhan itu menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. Apesnya, AS kini jadi negara dengan kasus corona tertinggi di dunia.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di Negeri Paman Sam per 13 Mei 2020 adalah 1.322.054 orang. Jumlah itu adalah 31,7% dari total pasien corona di seluruh dunia.
"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya," kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.
Pelaku pasar (dan dunia) cemas bahwa kekecewaan Trump bisa berujung ke balas dendam dari sisi ekonomi. Washington dan Beijing memang baru meneken kesepakatan damai dagang fase I pada 15 Januari 2020. Namun gara-gara pandemi virus corona, Trump sepertinya tidak tertarik untuk melanjutkan negosiasi ke babak selanjutnya.
Bahkan beredar kabar pemerintahan Trump akan membuat Undang-undang (UU) yang mengharuskan China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).
Dalam UU tersebut, China disebut harus bertanggung jawab penuh dan siap menjalani penyelidikan yang dipimpin oleh AS, sekutunya, dan WHO. China juga bisa didesak untuk menutup pasar tradisional yang menyebabkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia menjadi sangat tinggi.
UU itu juga mengatur sanksi bagi China. Misalnya pembekuan aset warga negara dan perusahaan China di AS, larangan masuk dan pencabutan visa, larangan individu dan perusahaan China untuk mendapatkan kredit, sampai melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS.
"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump.
Kekhawatiran terhadap risiko friksi AS-China bakal menajam membuat investor cemas dan melakukan aksi jual. Namun itu tidak berlangsung lama karena setelah 30 menit perdagangan Wall Street berhasil menyeberang ke zona hijau.
Sepertinya harga saham yang dinilai sudah murah menggoda investor untuk 'menyerok'. Maklum, sejak awal bulan ini DJIA sudah anjlok 2,96% dan S&P 500 ambles 2,3%.
"Enough is enough. Mungkin investor melihat bahwa koreksi yang terjadi sudah cukup dalam," kata Dennis Dick, Trader Bright Trading LLC yang berbasis di Las Vegas, seperti dikutip dari Reuters.
Kala pembukaan pasar, Wall Street sempat terjebak di zona merah. Penyebabnya adalah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang kecewa dengan China karena dinilai gagal menahan penyebaran virus corona.
Kegagalan China membuat virus yang bermula dari Kota Wuhan itu menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. Apesnya, AS kini jadi negara dengan kasus corona tertinggi di dunia.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, jumlah pasien positif corona di Negeri Paman Sam per 13 Mei 2020 adalah 1.322.054 orang. Jumlah itu adalah 31,7% dari total pasien corona di seluruh dunia.
![]() |
"Kami punya banyak informasi, dan itu tidak bagus. Apakah (virus corona) datang dari laboratorium atau dari kelelawar, pokoknya berasal dari China. Mereka semestinya bisa menghentikan itu dari sumbernya," kata Trump dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters.
Pelaku pasar (dan dunia) cemas bahwa kekecewaan Trump bisa berujung ke balas dendam dari sisi ekonomi. Washington dan Beijing memang baru meneken kesepakatan damai dagang fase I pada 15 Januari 2020. Namun gara-gara pandemi virus corona, Trump sepertinya tidak tertarik untuk melanjutkan negosiasi ke babak selanjutnya.
Bahkan beredar kabar pemerintahan Trump akan membuat Undang-undang (UU) yang mengharuskan China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona. Seorang anggota Senat AS mengungkapkan, pemerintah sedang mematangkan Rancangan Undang-undang Pertanggungjawaban Covid-19 (Covid-19 Accountability Act).
Dalam UU tersebut, China disebut harus bertanggung jawab penuh dan siap menjalani penyelidikan yang dipimpin oleh AS, sekutunya, dan WHO. China juga bisa didesak untuk menutup pasar tradisional yang menyebabkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia menjadi sangat tinggi.
UU itu juga mengatur sanksi bagi China. Misalnya pembekuan aset warga negara dan perusahaan China di AS, larangan masuk dan pencabutan visa, larangan individu dan perusahaan China untuk mendapatkan kredit, sampai melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS.
"Saya sangat kecewa terhadap China, mereka seharusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi. Kami sudah membuat kesepakatan (dagang) yang luar biasa, tetapi sekarang rasanya sudah berbeda. Tinta belum kering, dan wabah ini datang. Rasanya tidak lagi sama," keluh Trump.
Kekhawatiran terhadap risiko friksi AS-China bakal menajam membuat investor cemas dan melakukan aksi jual. Namun itu tidak berlangsung lama karena setelah 30 menit perdagangan Wall Street berhasil menyeberang ke zona hijau.
Sepertinya harga saham yang dinilai sudah murah menggoda investor untuk 'menyerok'. Maklum, sejak awal bulan ini DJIA sudah anjlok 2,96% dan S&P 500 ambles 2,3%.
"Enough is enough. Mungkin investor melihat bahwa koreksi yang terjadi sudah cukup dalam," kata Dennis Dick, Trader Bright Trading LLC yang berbasis di Las Vegas, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, datang juga kabar baik dari Gedung Putih. Kayleigh McEnany, Juru Bicara Gedung Putih, mengungkapkan pemerintahan Trump siap menambah stimulus fiskal untuk memerangi dampak negatif dari wabah virus corona.
"Bapak Presiden sedang mempertimbangkannya. Beliau terbuka untuk itu," kata McEnany, seperti dikutip dari Reuters.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular