
Newsletter
Dari Vaksin Corona hingga Perry Warjiyo, Bisa Angkat Pasar?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 April 2020 06:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri kembali bervariasi pada perdagangan Selasa (28/4/2020) kemarin. Tarik menarik antara sentimen positif dan negatif membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak volatil, tetapi berhasil membukukan penguatan. Sementara rupiah dan obligasi Indonesia sepanjang perdagangan berada di zona merah.
Sentimen positif datang dari wacana pelonggaran karantina wilayah di Eropa dan Amerika Serikat (AS), sedangkan sentimen positif dikirim oleh harga minyak mentah yang kembali ambrol. Sementara itu, ada beberapa sentimen yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini, diantaranya "lomba" penemuan vaksin virus corona yang akan dibahas di halaman 3, 4 dan 5.
IHSG kemarin mengawali perdagangan dengan menguat, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah. Sepanjang perdagangan sesi I, IHSG tercatat bolak balik menguat kemudian melemah sebanyak 4 kali, dan berakhir di zona merah di sesi I. Memasuki sesi II, IHSG kembali masuk ke zona hijau, kali ini mampu terus dipertahankan hingga mengakhiri perdagangan di level 4.529,554, menguat 0,36%.
Meski menguat, tetapi investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 1,1 triliun di pasar reguler dan non-reguler.
Sementara itu, rupiah terpeleset setelah membukukan penguatan tiga pekan beruntun plus di awal pekan.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,59% di Rp 15.400/US$. Depresiasi rupiah semakin membesar hingga 1,14% di Rp 15.485/US$. Seperti pergerakan dalam empat hari perdagangan terakhir, rupiah selalu bangkit di menit-menit akhir sebelum perdagangan ditutup. Rupiah mampu memangkas pelemahan hingga menjadi 0,46% dan mengakhiri perdagangan di level Rp 15.380/US$.
Senin lalu, rupiah menghabiskan mayoritas perdagangan hari ini di zona merah, bahkan menjadi yang terburuk di Asia sejak pagi hingga siang hari. Tetapi di menit-menit akhir, rupiah memangkas pelemahan hingga berbalik menguat 0,26% ke Rp 15.310/US$ di penutupan perdagangan kemarin. Style alias gaya khas rupiah dalam mengarungi perdagangan selalu seperti itu dalam tiga hari perdagangan beruntun pekan lalu, plus kemarin. Bahkan jika melihat jauh ke belakang, pergerakan seperti itu sering kali terjadi, rupiah style!
Untuk diketahui, sepanjang bulan April rupiah hingga Senin (27/4/2020) lalu, rupiah sudah menguat 6,07%. Penguatan yang cukup besar sehingga rupiah rentan terkena aksi ambil untung (profit taking) yang menjadi salah satu faktor dibalik melemahnya rupiah.
Sementara itu dari pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun kembali naik 10,3 basis poin (bps) menjadi 8,095%, dan menjadi yang tertinggi sejak 9 April lalu.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.
Pekan lalu, negara-negara besar di Eropa seperti Spanyol, Italia, Jerman, dan Belanda sudah mengumumkan akan membuka lockdown pada bulan Mei setelah melambatnya laju penambahan kasus COVID-19. Beberapa negara bahkan sudah mengizinkan warganya untuk kembali beraktivitas meski masih terbatas.
Pelonggaran lockdown di Eropa akhirnya diikuti oleh Negeri Paman Sam. Beberapa negara bagian di AS mulai mewacanakan untuk membuka lockdown. Gubernur New York, Andrew Cuomo, mengatakan lockdown akan dibuka dalam beberapa fase setelah Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) melaporkan jumlah pasien rawat inap sudah menurun dalam 14 hari terakhir.
Fase satu, New York dunia usaha di bidang konstruksi dan manufaktur akan diizinkan kembali beraktivitas. Fase kedua dunia usaha perlu rencana untuk beroperasi kembali, termasuk memiliki pengaman individual serta menerapkan social distancing.
Kemudian Gubernur Ohio, Mike DeWine, mengatakan sektor ritel dan jasa bisa kembali beroperasi pada 12 Mei.
Selain itu, negara bagian Alaska, Georgia, South Carolina, Tennessee dan Texas sudah mengizinkan restoran dan beberapa usaha lainnya untuk kembali beroperasi.
Dilonggarkannya lockdown di Eropa dan AS tentunya membuat roda perekonomian perlahan kembali berputar, dan bisa segera keluar dari jurang resesi.
Tetapi kabar bagus tersebut diimbangi oleh kabar negatif dari ambrolnya harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI). Di awal pekan, harga minyak WTI ambrol sekitar 25%, sementara pada Selasa pagi kemerosotan berlanjut lagi lebih dari 18% ke US$ 10,46/barel, sebelum mengakhiri perdagangan di level US$ 12,34/barel atau melemah 3,44%
Sebelumnya di awal pekan lalu, jagat finansial dibuat heboh kemarin setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus. Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% di awal pekan.
Harga minyak WTI minus merupakan untuk kontrak Mei yang expired pada Selasa (21/4/2020) dan saat ini yang aktif diperdagangkan adalah kontrak bulan Juni.
Bursa saham AS (Wall Street) bergerak volatil pada perdagangan Selasa, tetapi harus mengakhiri perdagangan di zona merah. Penurunan saham-saham raksasa teknologi menyeret Wall Street turun.
Indeks S&P 500 melemah 0,52% ke 2.863,39, Dow Jones turun tipis 0,13% di 24.1010,55, dan Nasdaq ambles 1,4%. Ketiga indeks tersebut sebelumnya sempat menguat 1%.
Dari lantai bursa, saham Alphabet turun 3%, kemudian Facebook -2,5%, Amazon -2,6%, Netflix -4,2% dan Apple -1,6%.
"Saya pikir investor menjual saham-saham teknologi jelang laporan earning. Jika hasilnya mengecewakan, maka saham-saham tersebut akan menyeret turun pasar," kata Peter Cardillo, kepala ekonom di Spartan Capital Securities, sebagaimana dilansir CNBC International.
Setelah perdagangan Wall Street ditutup, Alphabet melaporkan earning yang lebih baik dari prediksi pelaku pasar. Pendapatan perusahaan induk Google ini naik 13% di kuartal I-2020, melambat dari kuartal sebelumnya 17%. Meski demikian, pelaku pasar merespon positif, saham Alphabet menguat 4% di extended trading.
Microsoft, Apple, Amazon, dan Facebook juga akan melaporkan earning di pekan ini.
Sebelum terseret turun saham-saham teknologi, Wall Street masih dinaungi sentimen positif dari dibukanya lockdown secara bertahap di beberapa negara bagian AS seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya.
Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSSE, jumlah kasus COVID-19 di AS kini sudah lebih dari 1 juta orang, dengan korban meninggal lebih dari 58 orang, dan lebih dari 115 ribu orang dinyatakan sembuh.
"Pergerakan pasar saham kini semakin mencerminkan diputarnya kembali roda perekononomian dimana semakin banyak negara bagian yang mengizinkan beberapa aktivitas ekonomi dibuka kembali." kata Jim Paulsen, chief investment strategist di The Leuthold Group, sebagaimana dilansir CNBC International.
Pergerakan Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia tentunya akan mempengaruhi pasar Asia hari ini. Memang Wall Street berakhir melemah, tetapi hal tersebut terjadi akibat terseret turun saham raksasa teknologi. Sementara setelah perdagangan ditutup, saham Alphabet justru menguat di extended trading setelah melaporkan earning yang lebih baik dari prediksi pasar.
Sehingga pergerakan indeks Wall Street berjangka (futures) yang menguat pagi ini akan lebih mencerminkan sentimen pelaku pasar, ketimbang posisi penutupan Wall Street di pasar spot.
Selain itu pergerakan harga minyak mentah masih akan menjadi perhatian pelaku pasar. Harga minyak mentah biasanya dijadikan acuan tingkat aktivitas ekonomi global, sebab ketika roda perekonomian berputar dengan cepat, permintaan minyak mentah untuk industri akan menjadi tinggi, dan harga minyak mentah akan naik.
Sebaliknya, ketika harga minyak mentah terus menurun, itu artinya permintaan rendah dan roda perekonomian melambat, atau bahkan terhenti sehingga tidak ada permintaan minyak mentah.
Tetapi yang menarik, harga minyak mentah jenis Brent jauh lebih stabil dibandingkan WTI.
WTI pada perdagangan Selasa berakhir melemah 3,44%, tetapi Brent justru menguat 2,35% dan kembali ke atas US$ 20/barel. Pergerakan berlawan arah kedua minyak mentah tersebut cukup jarang terjadi.
Minyak Brent adalah standar untuk pasar Asia dan Eropa, sementara minyak WTI merupakan standar untuk pasar Amerika Serikat. Tempat produksi, dan komposisi kimianya juga berbeda.
Minyak WTI diproduksi di AS dan untuk pasar AS, ambrolnya minyak mentah WTI bisa jadi masalah supply-demand di Negeri Paman Sam. Rendahnya demand (akibat kebijakan lockdown), dibarengi dengan supply yang besar membuat storage menjadi penuh, dan biaya penyimpanan tinggi, yang menyebabkan harga minyak merosot bahkan menjadi negatif.
"Realitas di pasar fisik, minyak mentah terus diproduksi dan itu harus dikonsumsi atau disimpan. Ketika biaya penyimpanan menjadi tinggi, atau tempat penyimpanan habis, perusahaan mungkin membayar konsumennya untuk membawa minyak mentah tersebut," kata Paul Sankey Direktur Pelaksana Muzuho Securities, sebagaimana dilansir Fox Business pada pertengahan Maret lalu.
Memang permintaan minyak mentah sedang merosot tajam akibat kebijakan lockdown di berbagai negara. Tetapi, untuk melihat kondisi pasar minyak mentah sepertinya lebih tepat melihat pergerakan harga minyak Brent ketimbang WTI.
Meski demikian, tetap saja jika minyak WTI kembali merosot, dan Brent ikut turun sentimen pelaku pasar akan kembali terpengaruh.
Selain itu, bank sentral AS (The Fed) yang memulai Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari, dan hasilnya akan diumumkan Kamis dini hari, tentunya membuat banyak pelaku pasar melakukan aksi wait and see.
Selain itu European Central Bank (ECB) juga akan mengumumkan kebijakan moneter besok sore. Isu-isu terkait stimulus yang akan diberikan tentunya memberikan pengaruh yang cukup kuat di pasar.
Pelonggaran lockdown di Eropa dan Amerika Serikat tentunya memberikan sentimen positif di pasar finansial. Selain itu "perlombaan" menemukan obat atau vaksin dari perusahaan farmasi di berbagai negara tentunya bisa memberi angin segar ke pasar finansial seandainya ada perkembangan yang bagus.
Sebelumnya pada Jumat (17/4/2020) dua pekan lalu, kabar bagus datang dari Gilead Sciences Inc., raksasa farmasi AS, yang dikatakan memiliki obat yang efektif melawan virus corona.
CNBC International mengutip media STAT melaporkan rumah sakit di Chicago merawat pasien Covid-19 yang parah dengan obat antivirus remdesivir yang dalam uji coba klinis dan diawasi ketat. Hasilnya, pasien tersebut menunjukkan pemulihan yang cepat dari demam dan gangguan pernapasan.
Tetapi pekan lalu, pelaku pasar dibuat kecewa setelah Financial Times melaporkan obat dari Gilead tersebut tidak mampu memperbaiki kondisi pasien. Financial Times mengutip sebuah dokumen yang secara tidak sengaja dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), dan merupakan hasil uji klinis di China, sebagaimana dilansir CNBC International.
Namun, Gilead mengatakan hasil tersebut terjadi akibat "karakteristik yang tidak sesuai" sehingga "tidak bisa disimpulkan".
"Kami menyesal WHO merilis sebuah informasi terkait penelitian secara prematur, dimana rilis tersebut kini telah dihapus. Para peneliti dalam penelitian ini tidak memiliki izin untuk mempublikasikan hasilnya" kata juru bicara Gilead, sebagaimana dilansir CNBC International.
"Lebih lanjut, kami percaya rilis tersebut berisi karakteristik yang tidak sesuai dalam penelitian. Yang penting, penelitian tersebut dihentikan lebih awal karena kecilnya sampel, sehingga secara statistik tidak bisa menghasilkan kesimpulan yang berarti. Saat ini tren menunjukkan remdesivir menunjukkan potensi yang bagus, terutama jika digunakan pada pasien dengan tahap awal COVID-19" ujar juru bicara Gilead.
AS sebenarnya juga sedang menguji remdesivir tetapi hasil penelitiannya masih belum dipublikasikan. Jumat lalu, Reuters melaporkan hasil pengujian tersebut akan dirilis pada pertengahan Mei, dan kemungkinan hasil preminary akan dikeluarkan lebih dulu.
Hasil uji coba di AS tersebut dianggap lebih reliabel dalam menarik kesimpulan sehingga dinanti pelaku pasar.
Kemudian China dan India membuat terobosan dalam pembuatan vaksin untuk COVID-19.
Peneliti Sinovac Biotech menyatakan vaksin virus corona Covid-19 yang sedang dikembangkan telah sukses diujicobakan kepada monyet dan segera dites kepada manusia.
Sinovac Biotech, perusahaan asal China, memiliki dua vaksin yang dicobakan kepada delapan monyet dan hasilnya dengan vaksin ini hewan tersebut kebal terhadap virus corona. Hasil penelitian dipublikasikan di server preprint BioRxiv.
"Hasil ujicoba pada hewan ini memberikan kami banyak kepercayaan diri," ujar Meng Weining, Direktur Senior Sinovac, seperti dilansir dari New York Post, Selasa (28/4/2020).
Sebagai informasi, ada lima tahap penemuan vaksin. Pertama, ditemukan membuat kandidat vaksin. Kedua, uji coba ke hewan. Ketiga, uji coba ke manusia dalam jumlah kecil (fase 1). Keempat, uji keamanan dan kemanjuran obat ke manusia dalam menengah (fase 2).
Keempat, uji keamanan dan kemanjuran dalam jumlah besar (fase 3). Kelima, persetujuan peraturan final dan pembuatan pabrik sambil mendaftarkan vaksin di setiap negara.
Setelah uji coba pada hewan selesai, vaksin Sinovac akan diujicobakan ke manusia. Meng Weining mengatakan uji ini untuk mengetahui apakah vaksin memicu respons kekebalan tubuh yang memadai.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) ada tiga vaksin yang dikembangkan China. Yakni, Vaksin milik CanSino Biological In dan Beijing Institute yang sudah melakukan uji fase kedua.
Lalu Vaksin buatan Beijing Institute of Biological Products dan Wuhan Institute of Biological Product yang melakukan uji fase pertama. Vaksin buatan Sinavac juga sedang ujicoba fase pertama
Sementara itu dari India, Adar Poonawalla, chief of Serum Institute of India, kepada NDTV menyatakan vaksin COVID-19 akan tersedia di pasar pada bulan September 2020.
Adar Poonawalla mengungkapkan pihaknya sedang bekerja sama dengan peneliti Universitas Oxford Inggris dan peneliti AS untuk menghasilkan vaksin corona.
Vaksin corona buatan Universitas Oxford sudah sukses diujicobakan ke hewan monyet. Sejak minggu lalu, vaksin ini diujicobakan ke manusia.
Meski semua vaksin masih dalam tahap uji coba, tetapi setidaknya memberikan harapan COVID-19 mampu dihentikan, dan roda perekonomian kembali berputar dengan normal.
Dari dalam negeri, selain perkembangan kasus COVID-19, konferensi pers Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bisa mempengaruhi pergerakan pasar.
Hingga Selasa kemarin, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia tercatat sebanyak 9.511 kasus, dengan 773 meninggal, dan 1.254 dinyatakan sembuh. Tren penambahan kasus di Indonesia masih naik, meski masih terkendali, belum ada lonjakan kasus perhari yang siginifikan.
Sementara itu, Gubernur Perry akan menyampaikan Perkembangan Ekonomi Terkini melalui video conference, yang dijadwalkan pukul 8:30 WIB. Semenjak pasar keuangan mengalami gejolak di bulan Maret, Gubernur Perry secara rutin memberikan Perkembangan Ekonomi Terkini, dan kerap menebar optimisme di pasar.
Pada pekan lalu misalnya, ia mengatakan puncak kepanikan global akibat pandemi COVID-19 sudah berlalu, puncaknya di pekan kedua Maret.
Hal ini ditunjukkan dari premi risiko global atau biasa dilihat dari global volatility index.
"Data terakhir menunjukkan 43,8. Artinya memang kepanikan pasar keuangan global puncaknya pada pekan kedua Maret 2020. Berangsur mereda dan sekarang 43,8," kata Perry dalam video conference di Channel Youtube BI, Rabu (22/4/2020).
Saat ini volatility index bahkan sudah berada di level 33.
"Ketidakpastian masih berlangsung, sebelum Covid-19 masih tinggi, tapi relatif rendah saat setelah pekan kedua Maret 2020," tambahnya
Perry juga mengatakan dana asing yang masuk ke pasar surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 4,37 triliun.
"Kami pantau, data-data yang transaksi harian, dari non residence atas investasi portofolio SBN, saham dari 13-20 April lalu. Dari pemantauan kami terjadi inflow asing dari non residence terhadap SBN. Data kami menunjukkan, 13-20 April inflow Rp 4,37 triliun," ujar Perry.
Perry menjelaskan, asing tampaknya melihat keuntungan yang lebih besar berinvestasi di surat utang pemerintah Indonesia. Berdasarkan perhitungan riil yield, yield setelah dikurangi ekspektasi inflasi sebesar 4,6%
Selain itu, Perry juga menyebut CAD di tahun ini akan lebih rendah dan menjadi pijakan bagi rupiah untuk menguat.
"Defisit transaksi berjalan pada kuartal I-2020 lebih rendah dari 1,5% PDB. Untuk keseluruhan 2020 akan lebih rendah dari 2% PDB, jauh lebih terkendali. Secara fundamental, ini akan membawa penguatan nilai tukar rupiah"
Selain itu, anjloknya harga minyak mentah disebut akan menguntungkan bagi Indonesia.
"Bagi ekonomi, secara netto positif dari sisi ekonomi dan sisi moneter. Kalau moneter, ingat kita kan net importir dari minyak, dan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak. Secara defisit transaksi berjalan dan perdagangan akan memperbaiki [ekonomi] Indonesia," imbuh Perry.
Menurut Perry, jika harga minyak turun nantinya subsidi juga turun dan itu secara keseluruhan membuat neraca pembayaran akan positif.
Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diperkirakan akan tinggi pada tahun depan, setelah pandemi COVID-19 berakhir.
"Tahun depan kalau ekonomi sudah mulai pulih, reformasi ekonomi Indonesia seperti Omnibus Law itu akan membuat meningkat. Tahun ini kami perkirakan pertumbuhan ekonomi adalah 2,3%, tahun depan seperti apa? Pertumbuhannya akan lebih tinggi, perkiraan kami bisa mencapai 6%," papar Perry.
Pasar keuangan Indonesia, sering merespon positif paparan Gubernur Perry, rupiah yang merasakan dampak instan. Rupiah nyaris selalu menguat, meski sebelumnya berada di zona merah, saat Gubernur Perry memaparkan Perkembangan Ekonomi Terkini.
Perry Effect, diharapkan kembali muncul pada hari ini. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/sef) Next Article The Fed Beri Sinyal Pangkas Suku Bunga, IHSG & Rupiah Pesta Pora
Sentimen positif datang dari wacana pelonggaran karantina wilayah di Eropa dan Amerika Serikat (AS), sedangkan sentimen positif dikirim oleh harga minyak mentah yang kembali ambrol. Sementara itu, ada beberapa sentimen yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini, diantaranya "lomba" penemuan vaksin virus corona yang akan dibahas di halaman 3, 4 dan 5.
IHSG kemarin mengawali perdagangan dengan menguat, tetapi tidak lama langsung masuk ke zona merah. Sepanjang perdagangan sesi I, IHSG tercatat bolak balik menguat kemudian melemah sebanyak 4 kali, dan berakhir di zona merah di sesi I. Memasuki sesi II, IHSG kembali masuk ke zona hijau, kali ini mampu terus dipertahankan hingga mengakhiri perdagangan di level 4.529,554, menguat 0,36%.
Meski menguat, tetapi investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 1,1 triliun di pasar reguler dan non-reguler.
Sementara itu, rupiah terpeleset setelah membukukan penguatan tiga pekan beruntun plus di awal pekan.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melemah 0,59% di Rp 15.400/US$. Depresiasi rupiah semakin membesar hingga 1,14% di Rp 15.485/US$. Seperti pergerakan dalam empat hari perdagangan terakhir, rupiah selalu bangkit di menit-menit akhir sebelum perdagangan ditutup. Rupiah mampu memangkas pelemahan hingga menjadi 0,46% dan mengakhiri perdagangan di level Rp 15.380/US$.
Senin lalu, rupiah menghabiskan mayoritas perdagangan hari ini di zona merah, bahkan menjadi yang terburuk di Asia sejak pagi hingga siang hari. Tetapi di menit-menit akhir, rupiah memangkas pelemahan hingga berbalik menguat 0,26% ke Rp 15.310/US$ di penutupan perdagangan kemarin. Style alias gaya khas rupiah dalam mengarungi perdagangan selalu seperti itu dalam tiga hari perdagangan beruntun pekan lalu, plus kemarin. Bahkan jika melihat jauh ke belakang, pergerakan seperti itu sering kali terjadi, rupiah style!
Untuk diketahui, sepanjang bulan April rupiah hingga Senin (27/4/2020) lalu, rupiah sudah menguat 6,07%. Penguatan yang cukup besar sehingga rupiah rentan terkena aksi ambil untung (profit taking) yang menjadi salah satu faktor dibalik melemahnya rupiah.
Sementara itu dari pasar obligasi, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun kembali naik 10,3 basis poin (bps) menjadi 8,095%, dan menjadi yang tertinggi sejak 9 April lalu.
Sebagai informasi, pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya, ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga turun, itu berarti sedang ada aksi jual di pasar obligasi.
Pekan lalu, negara-negara besar di Eropa seperti Spanyol, Italia, Jerman, dan Belanda sudah mengumumkan akan membuka lockdown pada bulan Mei setelah melambatnya laju penambahan kasus COVID-19. Beberapa negara bahkan sudah mengizinkan warganya untuk kembali beraktivitas meski masih terbatas.
Pelonggaran lockdown di Eropa akhirnya diikuti oleh Negeri Paman Sam. Beberapa negara bagian di AS mulai mewacanakan untuk membuka lockdown. Gubernur New York, Andrew Cuomo, mengatakan lockdown akan dibuka dalam beberapa fase setelah Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) melaporkan jumlah pasien rawat inap sudah menurun dalam 14 hari terakhir.
Fase satu, New York dunia usaha di bidang konstruksi dan manufaktur akan diizinkan kembali beraktivitas. Fase kedua dunia usaha perlu rencana untuk beroperasi kembali, termasuk memiliki pengaman individual serta menerapkan social distancing.
Kemudian Gubernur Ohio, Mike DeWine, mengatakan sektor ritel dan jasa bisa kembali beroperasi pada 12 Mei.
Selain itu, negara bagian Alaska, Georgia, South Carolina, Tennessee dan Texas sudah mengizinkan restoran dan beberapa usaha lainnya untuk kembali beroperasi.
Dilonggarkannya lockdown di Eropa dan AS tentunya membuat roda perekonomian perlahan kembali berputar, dan bisa segera keluar dari jurang resesi.
Tetapi kabar bagus tersebut diimbangi oleh kabar negatif dari ambrolnya harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI). Di awal pekan, harga minyak WTI ambrol sekitar 25%, sementara pada Selasa pagi kemerosotan berlanjut lagi lebih dari 18% ke US$ 10,46/barel, sebelum mengakhiri perdagangan di level US$ 12,34/barel atau melemah 3,44%
Sebelumnya di awal pekan lalu, jagat finansial dibuat heboh kemarin setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mengakhiri perdagangan Senin di wilayah minus. Berdasarkan dara Refinitiv, minyak WTI sempat ambles hingga US$ -40,32/barel sebelum mengakhiri perdagangan di US$ -37,63/barel atau ambles 305,97% di awal pekan.
Harga minyak WTI minus merupakan untuk kontrak Mei yang expired pada Selasa (21/4/2020) dan saat ini yang aktif diperdagangkan adalah kontrak bulan Juni.
Bursa saham AS (Wall Street) bergerak volatil pada perdagangan Selasa, tetapi harus mengakhiri perdagangan di zona merah. Penurunan saham-saham raksasa teknologi menyeret Wall Street turun.
Indeks S&P 500 melemah 0,52% ke 2.863,39, Dow Jones turun tipis 0,13% di 24.1010,55, dan Nasdaq ambles 1,4%. Ketiga indeks tersebut sebelumnya sempat menguat 1%.
Dari lantai bursa, saham Alphabet turun 3%, kemudian Facebook -2,5%, Amazon -2,6%, Netflix -4,2% dan Apple -1,6%.
"Saya pikir investor menjual saham-saham teknologi jelang laporan earning. Jika hasilnya mengecewakan, maka saham-saham tersebut akan menyeret turun pasar," kata Peter Cardillo, kepala ekonom di Spartan Capital Securities, sebagaimana dilansir CNBC International.
Setelah perdagangan Wall Street ditutup, Alphabet melaporkan earning yang lebih baik dari prediksi pelaku pasar. Pendapatan perusahaan induk Google ini naik 13% di kuartal I-2020, melambat dari kuartal sebelumnya 17%. Meski demikian, pelaku pasar merespon positif, saham Alphabet menguat 4% di extended trading.
Microsoft, Apple, Amazon, dan Facebook juga akan melaporkan earning di pekan ini.
Sebelum terseret turun saham-saham teknologi, Wall Street masih dinaungi sentimen positif dari dibukanya lockdown secara bertahap di beberapa negara bagian AS seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya.
Berdasarkan data dari Johns Hopkins CSSSE, jumlah kasus COVID-19 di AS kini sudah lebih dari 1 juta orang, dengan korban meninggal lebih dari 58 orang, dan lebih dari 115 ribu orang dinyatakan sembuh.
"Pergerakan pasar saham kini semakin mencerminkan diputarnya kembali roda perekononomian dimana semakin banyak negara bagian yang mengizinkan beberapa aktivitas ekonomi dibuka kembali." kata Jim Paulsen, chief investment strategist di The Leuthold Group, sebagaimana dilansir CNBC International.
Pergerakan Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia tentunya akan mempengaruhi pasar Asia hari ini. Memang Wall Street berakhir melemah, tetapi hal tersebut terjadi akibat terseret turun saham raksasa teknologi. Sementara setelah perdagangan ditutup, saham Alphabet justru menguat di extended trading setelah melaporkan earning yang lebih baik dari prediksi pasar.
Sehingga pergerakan indeks Wall Street berjangka (futures) yang menguat pagi ini akan lebih mencerminkan sentimen pelaku pasar, ketimbang posisi penutupan Wall Street di pasar spot.
Selain itu pergerakan harga minyak mentah masih akan menjadi perhatian pelaku pasar. Harga minyak mentah biasanya dijadikan acuan tingkat aktivitas ekonomi global, sebab ketika roda perekonomian berputar dengan cepat, permintaan minyak mentah untuk industri akan menjadi tinggi, dan harga minyak mentah akan naik.
Sebaliknya, ketika harga minyak mentah terus menurun, itu artinya permintaan rendah dan roda perekonomian melambat, atau bahkan terhenti sehingga tidak ada permintaan minyak mentah.
Tetapi yang menarik, harga minyak mentah jenis Brent jauh lebih stabil dibandingkan WTI.
WTI pada perdagangan Selasa berakhir melemah 3,44%, tetapi Brent justru menguat 2,35% dan kembali ke atas US$ 20/barel. Pergerakan berlawan arah kedua minyak mentah tersebut cukup jarang terjadi.
Minyak Brent adalah standar untuk pasar Asia dan Eropa, sementara minyak WTI merupakan standar untuk pasar Amerika Serikat. Tempat produksi, dan komposisi kimianya juga berbeda.
Minyak WTI diproduksi di AS dan untuk pasar AS, ambrolnya minyak mentah WTI bisa jadi masalah supply-demand di Negeri Paman Sam. Rendahnya demand (akibat kebijakan lockdown), dibarengi dengan supply yang besar membuat storage menjadi penuh, dan biaya penyimpanan tinggi, yang menyebabkan harga minyak merosot bahkan menjadi negatif.
"Realitas di pasar fisik, minyak mentah terus diproduksi dan itu harus dikonsumsi atau disimpan. Ketika biaya penyimpanan menjadi tinggi, atau tempat penyimpanan habis, perusahaan mungkin membayar konsumennya untuk membawa minyak mentah tersebut," kata Paul Sankey Direktur Pelaksana Muzuho Securities, sebagaimana dilansir Fox Business pada pertengahan Maret lalu.
Memang permintaan minyak mentah sedang merosot tajam akibat kebijakan lockdown di berbagai negara. Tetapi, untuk melihat kondisi pasar minyak mentah sepertinya lebih tepat melihat pergerakan harga minyak Brent ketimbang WTI.
Meski demikian, tetap saja jika minyak WTI kembali merosot, dan Brent ikut turun sentimen pelaku pasar akan kembali terpengaruh.
Selain itu, bank sentral AS (The Fed) yang memulai Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama 2 hari, dan hasilnya akan diumumkan Kamis dini hari, tentunya membuat banyak pelaku pasar melakukan aksi wait and see.
Selain itu European Central Bank (ECB) juga akan mengumumkan kebijakan moneter besok sore. Isu-isu terkait stimulus yang akan diberikan tentunya memberikan pengaruh yang cukup kuat di pasar.
Pelonggaran lockdown di Eropa dan Amerika Serikat tentunya memberikan sentimen positif di pasar finansial. Selain itu "perlombaan" menemukan obat atau vaksin dari perusahaan farmasi di berbagai negara tentunya bisa memberi angin segar ke pasar finansial seandainya ada perkembangan yang bagus.
Sebelumnya pada Jumat (17/4/2020) dua pekan lalu, kabar bagus datang dari Gilead Sciences Inc., raksasa farmasi AS, yang dikatakan memiliki obat yang efektif melawan virus corona.
CNBC International mengutip media STAT melaporkan rumah sakit di Chicago merawat pasien Covid-19 yang parah dengan obat antivirus remdesivir yang dalam uji coba klinis dan diawasi ketat. Hasilnya, pasien tersebut menunjukkan pemulihan yang cepat dari demam dan gangguan pernapasan.
Tetapi pekan lalu, pelaku pasar dibuat kecewa setelah Financial Times melaporkan obat dari Gilead tersebut tidak mampu memperbaiki kondisi pasien. Financial Times mengutip sebuah dokumen yang secara tidak sengaja dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), dan merupakan hasil uji klinis di China, sebagaimana dilansir CNBC International.
Namun, Gilead mengatakan hasil tersebut terjadi akibat "karakteristik yang tidak sesuai" sehingga "tidak bisa disimpulkan".
"Kami menyesal WHO merilis sebuah informasi terkait penelitian secara prematur, dimana rilis tersebut kini telah dihapus. Para peneliti dalam penelitian ini tidak memiliki izin untuk mempublikasikan hasilnya" kata juru bicara Gilead, sebagaimana dilansir CNBC International.
"Lebih lanjut, kami percaya rilis tersebut berisi karakteristik yang tidak sesuai dalam penelitian. Yang penting, penelitian tersebut dihentikan lebih awal karena kecilnya sampel, sehingga secara statistik tidak bisa menghasilkan kesimpulan yang berarti. Saat ini tren menunjukkan remdesivir menunjukkan potensi yang bagus, terutama jika digunakan pada pasien dengan tahap awal COVID-19" ujar juru bicara Gilead.
AS sebenarnya juga sedang menguji remdesivir tetapi hasil penelitiannya masih belum dipublikasikan. Jumat lalu, Reuters melaporkan hasil pengujian tersebut akan dirilis pada pertengahan Mei, dan kemungkinan hasil preminary akan dikeluarkan lebih dulu.
Hasil uji coba di AS tersebut dianggap lebih reliabel dalam menarik kesimpulan sehingga dinanti pelaku pasar.
Kemudian China dan India membuat terobosan dalam pembuatan vaksin untuk COVID-19.
Peneliti Sinovac Biotech menyatakan vaksin virus corona Covid-19 yang sedang dikembangkan telah sukses diujicobakan kepada monyet dan segera dites kepada manusia.
Sinovac Biotech, perusahaan asal China, memiliki dua vaksin yang dicobakan kepada delapan monyet dan hasilnya dengan vaksin ini hewan tersebut kebal terhadap virus corona. Hasil penelitian dipublikasikan di server preprint BioRxiv.
"Hasil ujicoba pada hewan ini memberikan kami banyak kepercayaan diri," ujar Meng Weining, Direktur Senior Sinovac, seperti dilansir dari New York Post, Selasa (28/4/2020).
Sebagai informasi, ada lima tahap penemuan vaksin. Pertama, ditemukan membuat kandidat vaksin. Kedua, uji coba ke hewan. Ketiga, uji coba ke manusia dalam jumlah kecil (fase 1). Keempat, uji keamanan dan kemanjuran obat ke manusia dalam menengah (fase 2).
Keempat, uji keamanan dan kemanjuran dalam jumlah besar (fase 3). Kelima, persetujuan peraturan final dan pembuatan pabrik sambil mendaftarkan vaksin di setiap negara.
Setelah uji coba pada hewan selesai, vaksin Sinovac akan diujicobakan ke manusia. Meng Weining mengatakan uji ini untuk mengetahui apakah vaksin memicu respons kekebalan tubuh yang memadai.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) ada tiga vaksin yang dikembangkan China. Yakni, Vaksin milik CanSino Biological In dan Beijing Institute yang sudah melakukan uji fase kedua.
Lalu Vaksin buatan Beijing Institute of Biological Products dan Wuhan Institute of Biological Product yang melakukan uji fase pertama. Vaksin buatan Sinavac juga sedang ujicoba fase pertama
Sementara itu dari India, Adar Poonawalla, chief of Serum Institute of India, kepada NDTV menyatakan vaksin COVID-19 akan tersedia di pasar pada bulan September 2020.
Adar Poonawalla mengungkapkan pihaknya sedang bekerja sama dengan peneliti Universitas Oxford Inggris dan peneliti AS untuk menghasilkan vaksin corona.
Vaksin corona buatan Universitas Oxford sudah sukses diujicobakan ke hewan monyet. Sejak minggu lalu, vaksin ini diujicobakan ke manusia.
Meski semua vaksin masih dalam tahap uji coba, tetapi setidaknya memberikan harapan COVID-19 mampu dihentikan, dan roda perekonomian kembali berputar dengan normal.
Dari dalam negeri, selain perkembangan kasus COVID-19, konferensi pers Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bisa mempengaruhi pergerakan pasar.
Hingga Selasa kemarin, jumlah kasus COVID-19 di Indonesia tercatat sebanyak 9.511 kasus, dengan 773 meninggal, dan 1.254 dinyatakan sembuh. Tren penambahan kasus di Indonesia masih naik, meski masih terkendali, belum ada lonjakan kasus perhari yang siginifikan.
Sementara itu, Gubernur Perry akan menyampaikan Perkembangan Ekonomi Terkini melalui video conference, yang dijadwalkan pukul 8:30 WIB. Semenjak pasar keuangan mengalami gejolak di bulan Maret, Gubernur Perry secara rutin memberikan Perkembangan Ekonomi Terkini, dan kerap menebar optimisme di pasar.
Pada pekan lalu misalnya, ia mengatakan puncak kepanikan global akibat pandemi COVID-19 sudah berlalu, puncaknya di pekan kedua Maret.
Hal ini ditunjukkan dari premi risiko global atau biasa dilihat dari global volatility index.
"Data terakhir menunjukkan 43,8. Artinya memang kepanikan pasar keuangan global puncaknya pada pekan kedua Maret 2020. Berangsur mereda dan sekarang 43,8," kata Perry dalam video conference di Channel Youtube BI, Rabu (22/4/2020).
Saat ini volatility index bahkan sudah berada di level 33.
"Ketidakpastian masih berlangsung, sebelum Covid-19 masih tinggi, tapi relatif rendah saat setelah pekan kedua Maret 2020," tambahnya
Perry juga mengatakan dana asing yang masuk ke pasar surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 4,37 triliun.
"Kami pantau, data-data yang transaksi harian, dari non residence atas investasi portofolio SBN, saham dari 13-20 April lalu. Dari pemantauan kami terjadi inflow asing dari non residence terhadap SBN. Data kami menunjukkan, 13-20 April inflow Rp 4,37 triliun," ujar Perry.
Perry menjelaskan, asing tampaknya melihat keuntungan yang lebih besar berinvestasi di surat utang pemerintah Indonesia. Berdasarkan perhitungan riil yield, yield setelah dikurangi ekspektasi inflasi sebesar 4,6%
Selain itu, Perry juga menyebut CAD di tahun ini akan lebih rendah dan menjadi pijakan bagi rupiah untuk menguat.
"Defisit transaksi berjalan pada kuartal I-2020 lebih rendah dari 1,5% PDB. Untuk keseluruhan 2020 akan lebih rendah dari 2% PDB, jauh lebih terkendali. Secara fundamental, ini akan membawa penguatan nilai tukar rupiah"
Selain itu, anjloknya harga minyak mentah disebut akan menguntungkan bagi Indonesia.
"Bagi ekonomi, secara netto positif dari sisi ekonomi dan sisi moneter. Kalau moneter, ingat kita kan net importir dari minyak, dan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak. Secara defisit transaksi berjalan dan perdagangan akan memperbaiki [ekonomi] Indonesia," imbuh Perry.
Menurut Perry, jika harga minyak turun nantinya subsidi juga turun dan itu secara keseluruhan membuat neraca pembayaran akan positif.
Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diperkirakan akan tinggi pada tahun depan, setelah pandemi COVID-19 berakhir.
"Tahun depan kalau ekonomi sudah mulai pulih, reformasi ekonomi Indonesia seperti Omnibus Law itu akan membuat meningkat. Tahun ini kami perkirakan pertumbuhan ekonomi adalah 2,3%, tahun depan seperti apa? Pertumbuhannya akan lebih tinggi, perkiraan kami bisa mencapai 6%," papar Perry.
Pasar keuangan Indonesia, sering merespon positif paparan Gubernur Perry, rupiah yang merasakan dampak instan. Rupiah nyaris selalu menguat, meski sebelumnya berada di zona merah, saat Gubernur Perry memaparkan Perkembangan Ekonomi Terkini.
Perry Effect, diharapkan kembali muncul pada hari ini. Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini
- Import Price Jerman (13:00 WIB)
- Penjualan Ritel Spanyol (14:00 WIB)
- Tingkat Keyakinan Bisnis dan Konsumen Zona Euro (16:00 WIB)
- Inflasi Jerman (19:00 WIB)
- Pertumbuhan Ekonomi AS (19:30 WIB)
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Maret 2020 YoY) | 2,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020) | 4,5% |
Defisit anggaran (APBN-P 2020) | -5,07% PDB |
Transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Cadangan devisa (Maret 2020) | US$ 120,97 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/sef) Next Article The Fed Beri Sinyal Pangkas Suku Bunga, IHSG & Rupiah Pesta Pora
Most Popular