
Newsletter
Duh! Bursa Berjangka AS Sudah Ambles 5%, Pasar RI Apa Kabar?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 March 2020 06:07

Salah satu yang bisa menjadi indikator sentimen investor terhadap aset-aset berisiko adalah pergerakan indeks saham berjangka (futures) Wall Street. Kabar buruknya, indeks futures Wall Street langsung menyentuh "batas bawah" atau "limit down" setelah ambles 5% kurang dari 5 menit setelah perdagangan di bulan pukul 5:00 WIB hari ini, Senin (23/3/2020).
"Batas bawah" pada perdagangan futures yakni penurunan sebesar 5%. Bursa berjangka CME memberikan "batas bawah" 5% untuk mencegah terjadinya kepanikan di pasar.
Ambrolnya indeks berjangka AS menjadi indikasi sentimen pelaku pasar yang masih buruk dan menghindari aset-aset berisiko, dan tentunya mengirim hawa negatif ke pasar Asia termasuk Indonesia, yang berisiko memicu kembali aksi jual.
AS saat ini sedang merancang paket stimulus baru termasuk menyediakan likuiditas bagi perusahaan yang terkena dampak pandemi COVID-19.
Mengutip CNBC International, Menteri Keuangan AS, Stephen Mnuchin pada hari Minggu waktu AS mengatakan stimulus yang akan diberikan untuk memacu perekonomian AS senilai US$ 4 triliun, termasuk di dalamnya berkoordinasi dengan The Fed guna memberikan likuiditas yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang terkena dampak.
Kepala strategi pasar saham AS dari Goldman Sachs, David Kostin, mengatakan yang akan membedakan antara cepat atau lamanya pemulihat di bursa saham akan ditentukan oleh 3 faktor yakni, seberapa cepat penyebaran COVID-19 dapat diatasi, apakah dunia usaha mendapatkan akses untuk mencukupi modal dan likuiditas yang cukup dalam 90 sampai 120 hari ke depan, dan apakah stimulus fiskal dapat menstabilkan proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Kecepatan mengatasi penyebaran COVID-19 menjadi kuncinya, ketika sudah berhasil dihentikan atau penyebarannya mulai melandai, maka roda perekonomian bisa segera berputar kembali. Semakin lama COVID-19 menyebar, maka semakin lama pula aktivitas ekonomi akan terhenti, dan sebesar apapun stimulus yang diberikan menjadi kurang efektif.
Sama dengan negara lainnya, Pemerintah RI dan Bank Indonesia (BI) juga sudah mengeluarkan senjata untuk meminimalisir dampak COVID-19. Hingga saat ini, kasus positif COVID-19 di Indonesia sebanyak 514 orang, dengan 48 orang meninggal dunia, dan 29 orang dinyatakan sembuh.
Pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan, ada total sebesar Rp 62,3 triliun dari realokasi anggaran APBN, baik yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) baik di pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami sampai hari ini sudah identifikasi Rp 62,3 triliun dari belanja K/L yang akan bisa direalokasikan untuk bisa dipiroritaskan seusai arahan presiden," katanya.
Sementara itu BI pada pekan lalu kembali memangkas suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,5. Selain itu, BI kembali perkuat bauran kebijakan dan dukung mitigasi risiko COVID-19 dan dorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi sekali lagi, pelaku pasar belum merespon hal tersebut, aksi jual di bursa keuangan dalam negeri terus berlanjut.
Meski demikian di hari Jumat lalu, IHSG berhasil rebound dari level terlemah sejak Agustus 2013, kemudian rupiah berhasil kembali ke bawah level Rp 16.000/US$. Pergerakan tersebut bisa jadi mengindikasikan pelaku pasar melihat pelemahan IHSG sudah terlalu dalam dan memburu saham-saham murah.
Begitu juga dengan rupiah yang nilainya merosot terlalu tajam, padahal di bulan Januari lalu rupiah merupakan mata uang terbaik di dunia setelah menguat lebih dari 2% melawan dolar AS.
Itu artinya di awal tahun pelaku pasar melihat investasi di RI menarik sehingga terjadi capital inflow yang cukup besar sebelum muncul pandemi COVID-19 yang membalikkan keadaan.
(pap)
"Batas bawah" pada perdagangan futures yakni penurunan sebesar 5%. Bursa berjangka CME memberikan "batas bawah" 5% untuk mencegah terjadinya kepanikan di pasar.
Ambrolnya indeks berjangka AS menjadi indikasi sentimen pelaku pasar yang masih buruk dan menghindari aset-aset berisiko, dan tentunya mengirim hawa negatif ke pasar Asia termasuk Indonesia, yang berisiko memicu kembali aksi jual.
AS saat ini sedang merancang paket stimulus baru termasuk menyediakan likuiditas bagi perusahaan yang terkena dampak pandemi COVID-19.
Mengutip CNBC International, Menteri Keuangan AS, Stephen Mnuchin pada hari Minggu waktu AS mengatakan stimulus yang akan diberikan untuk memacu perekonomian AS senilai US$ 4 triliun, termasuk di dalamnya berkoordinasi dengan The Fed guna memberikan likuiditas yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang terkena dampak.
Kepala strategi pasar saham AS dari Goldman Sachs, David Kostin, mengatakan yang akan membedakan antara cepat atau lamanya pemulihat di bursa saham akan ditentukan oleh 3 faktor yakni, seberapa cepat penyebaran COVID-19 dapat diatasi, apakah dunia usaha mendapatkan akses untuk mencukupi modal dan likuiditas yang cukup dalam 90 sampai 120 hari ke depan, dan apakah stimulus fiskal dapat menstabilkan proyeksi pertumbuhan ekonomi.
Kecepatan mengatasi penyebaran COVID-19 menjadi kuncinya, ketika sudah berhasil dihentikan atau penyebarannya mulai melandai, maka roda perekonomian bisa segera berputar kembali. Semakin lama COVID-19 menyebar, maka semakin lama pula aktivitas ekonomi akan terhenti, dan sebesar apapun stimulus yang diberikan menjadi kurang efektif.
Sama dengan negara lainnya, Pemerintah RI dan Bank Indonesia (BI) juga sudah mengeluarkan senjata untuk meminimalisir dampak COVID-19. Hingga saat ini, kasus positif COVID-19 di Indonesia sebanyak 514 orang, dengan 48 orang meninggal dunia, dan 29 orang dinyatakan sembuh.
Pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar Rp 10 triliun (US$ 718 juta) untuk sektor-setor yang terdampak wabah COVID-19. Selain itu pemerintah juga melakukan relaksasi pada Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25 dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan, ada total sebesar Rp 62,3 triliun dari realokasi anggaran APBN, baik yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) baik di pemerintah pusat dan daerah. Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami sampai hari ini sudah identifikasi Rp 62,3 triliun dari belanja K/L yang akan bisa direalokasikan untuk bisa dipiroritaskan seusai arahan presiden," katanya.
Sementara itu BI pada pekan lalu kembali memangkas suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,5. Selain itu, BI kembali perkuat bauran kebijakan dan dukung mitigasi risiko COVID-19 dan dorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi sekali lagi, pelaku pasar belum merespon hal tersebut, aksi jual di bursa keuangan dalam negeri terus berlanjut.
Meski demikian di hari Jumat lalu, IHSG berhasil rebound dari level terlemah sejak Agustus 2013, kemudian rupiah berhasil kembali ke bawah level Rp 16.000/US$. Pergerakan tersebut bisa jadi mengindikasikan pelaku pasar melihat pelemahan IHSG sudah terlalu dalam dan memburu saham-saham murah.
Begitu juga dengan rupiah yang nilainya merosot terlalu tajam, padahal di bulan Januari lalu rupiah merupakan mata uang terbaik di dunia setelah menguat lebih dari 2% melawan dolar AS.
Itu artinya di awal tahun pelaku pasar melihat investasi di RI menarik sehingga terjadi capital inflow yang cukup besar sebelum muncul pandemi COVID-19 yang membalikkan keadaan.
(pap)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Most Popular