Newsletter

Duh! Bursa Berjangka AS Sudah Ambles 5%, Pasar RI Apa Kabar?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 March 2020 06:07
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Foto: IHSG Bursa Efek Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Pandemi COVID-19 benar-benar memukul pasar finansial global. Yang paling ditakutkan oleh pelaku pasar adalah dampak COVID-19 ke perekonomian global. Pandemi yang sudah masuk ke AS dan menyebabkan banyak negara bagian membatasi aktivitas warganya, tentunya membuat perekonomian AS terpukul.

Ketika aktivitas warganya terbatas, tentunya belanja konsumen akan menurun.

Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS, yang berkontribusi sekitar dua per tiga dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Saat belanja konsumen menurun, maka PBD AS juga akan merosot.

Ketika sang raksasa ekonomi dunia (Amerika Serikat) lesu, maka ekonomi global pun kena dampaknya, apalagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, China, juga terlebih dahulu mengalami hal yang sama.


IHS Markit memprediksi perekonomian global di tahun ini hanya akan tumbuh sebesar 0,7%. Melansir CNBC International, pertumbuhan ekonomi global di bawah 2% diklasifikasikan sebagai resesi global.

Kepala Ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh dan eksekutif direktur ekonomi global Sara Johnson dalam Global Economic Forecast Flash bulan Maret memberikan proyeksi jika Jepang sudah mengalami resesi, sementara AS dan Eropa akan menyusul di kuartal II-2020.

PDB AS diprediksi di tahun ini diprediksi akan berkontraksi 0,2%, zona euro 1,5% dan Jepang 0,8%. Sementara itu ekonomi China diprediksi hanya akan tumbuh 3,1%.

Perekonomian global jelas-jelas terpukul, hal tersebut membuat bank sentral dan pemerintah di berbagai negara bergerak cepat memberikan stimulus guna melindungi perekonomian mereka.

The Fed, bank sentral paling powerful di dunia, sudah membabat habis suku bunga acuannya (Federal Funds Rate/FFR) menjadi 0-0,25%, juga mengaktifkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE). Kebijakan bank sentral pimpinan Jerome Powell ini sama dengan ketika menghadapi krisis finansial 2008. Presiden AS, Donald Trump, juga sudah menggelontorkan stimulus senilai US$ 1 triliun.

Kemudian dari Eropa, yang kini menjadi episentrum baru COVID-19, European Central Bank (ECB) pekan lalu mengumumkan akan menggelontorkan senilai 500 miliar euro (US$ 820 miliar).

Dua pekan lalu, pekan lalu, juga mengumumkan QE senilai 120 miliar euro (US$ 105,8 miliar) yang akan dilakukan hingga akhir tahun nanti. Bank sentral Inggris juga sudah memangkas suku bunga acuannya menjadi 0,25%, belum lagi negara-negara lain yang juga mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal.

Tetapi sayangnya aksi jual di pasar finansial masih terus berlanjut. Pelaku pasar saat ini lebih menginginkan kepastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir. Atau setidaknya ada tanda-tanda penyebarannya sudah mampu dikekang.

Ketika hal tersebut terjadi, bank investasi ternama JPMorgan meyakini Wall Street akan kembali mencapai rekor tertingginya.  Dalam catatan ke nasabahnya, kepala strategi pasar saham AS, Dubravko Lakos-Bujas memprediksi indeks S&P 500 akan mencapai level 3.400 di awal 2021. Level tersebut melewati rekor tertingi sepanjang masa 3.386 yang dicapai pada 19 Februari lalu, dan 47% lebih tinggi dari level penutupan Jumat lalu.

(pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular