
Newsletter
Duh! Bursa Berjangka AS Sudah Ambles 5%, Pasar RI Apa Kabar?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 March 2020 06:07

Bursa saham AS (Wall Street) bergerak dengan volatilitas tinggi dan ambrol pada pekan lalu. Indeks Dow Jones ambles 17% sepanjang pekan lalu, mencatat pekan terburuk sejak Oktober 2008 ketika merosot 18,2%. Indeks S&P 500 ambles lebih dari 13% dan Nasdaq -12,6%. Keduanya juga mencatat pekan terburuk sejak krisis finansial 2008.
Tidak hanya itu, Indeks Dow Jones sepanjang bulan Maret sudah ambrol 24% dan kemungkinan akan membukukan kinerja bulanan terburuk sejak September 1931, sementara S&P 500 -22% menuju kinerja terburuk sejak bulan Mei 1940.
Penyebabnya sama, COVID-19 yang sudah menyebar dengan cepat di AS. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini lebih dari 26.000 orang terjangkit COVID-19, dengan korban meninggal sebanyak 340 orang, sementara yang sembuh sebanyak 176 orang.
Banyak negara bagian yang sudah membatasi aktivitas warganya guna mereda penyebaran COVID-19, dampaknya aktivitas ekonomi menurun drastis, dan pertumbuhan ekonomi Paman Sam terancam merosot.
Terbaru, pemerintah di New York juga mengumumkan pembatasan aktivitas mulai Minggu malam waktu AS. Hal in membuat para ekonom semakin pesimistis dengan situasi ekonomi global.
Gubernur New York Andrew Cuomo memerintahkan aktivitas bisnis yang tidak penting untuk ditutup dan melarang semua pertemuan. Peningkatan dramatis langkah-langkah mitigasi ini dilakukan setelah negara bagian terpadat di negara itu, California, pada hari Kamis mengarahkan 40 juta penduduknya untuk tinggal di rumah.
Stimulus fiskal sudah digelontorkan oleh pemerintah AS, sementara stimulus moneter juga dikucurkan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Tetapi nyatanya aksi jual masif masih terus terjadi, bahkan diikuti dengan volatilitas yang sangat tinggi.
"Pasar bergerak karena lebih karena emosi, bukan data aktual. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya volatilitas tinggi" kata Sal Bruno, chief investment officer di IndexIQ, sebagaimana dilansir CNBC International.
Pada pekan lalu, indeks yang mengukur volatilitas pasar (VIX) atau yang dikenal juga dengan indeks ketakutan (fear index) ditutup di atas 80, dan lebih tinggi dari level krisis 2008. Itu pelaku pasar lebih cemas dengan outlook ekonomi saat ini, ketimbang di tahun 2008. Akibatnya, aksi jual di kiblat bursa saham dunia ini terus berlanjut.
Meski demikian, VIX pada hari Jumat menurun tajam hingga berada di kisaran 66, bisa jadi hal tersebut mengindikasikan ketakutan pelaku pasar mulai mereda setelah gelontoran kebijakan dari pemerintah maupun bank sentral negara-negara.
(pap)
Tidak hanya itu, Indeks Dow Jones sepanjang bulan Maret sudah ambrol 24% dan kemungkinan akan membukukan kinerja bulanan terburuk sejak September 1931, sementara S&P 500 -22% menuju kinerja terburuk sejak bulan Mei 1940.
Penyebabnya sama, COVID-19 yang sudah menyebar dengan cepat di AS. Berdasarkan data Johns Hopkins CSSE, hingga saat ini lebih dari 26.000 orang terjangkit COVID-19, dengan korban meninggal sebanyak 340 orang, sementara yang sembuh sebanyak 176 orang.
Banyak negara bagian yang sudah membatasi aktivitas warganya guna mereda penyebaran COVID-19, dampaknya aktivitas ekonomi menurun drastis, dan pertumbuhan ekonomi Paman Sam terancam merosot.
Terbaru, pemerintah di New York juga mengumumkan pembatasan aktivitas mulai Minggu malam waktu AS. Hal in membuat para ekonom semakin pesimistis dengan situasi ekonomi global.
Gubernur New York Andrew Cuomo memerintahkan aktivitas bisnis yang tidak penting untuk ditutup dan melarang semua pertemuan. Peningkatan dramatis langkah-langkah mitigasi ini dilakukan setelah negara bagian terpadat di negara itu, California, pada hari Kamis mengarahkan 40 juta penduduknya untuk tinggal di rumah.
Stimulus fiskal sudah digelontorkan oleh pemerintah AS, sementara stimulus moneter juga dikucurkan oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Tetapi nyatanya aksi jual masif masih terus terjadi, bahkan diikuti dengan volatilitas yang sangat tinggi.
"Pasar bergerak karena lebih karena emosi, bukan data aktual. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya volatilitas tinggi" kata Sal Bruno, chief investment officer di IndexIQ, sebagaimana dilansir CNBC International.
Pada pekan lalu, indeks yang mengukur volatilitas pasar (VIX) atau yang dikenal juga dengan indeks ketakutan (fear index) ditutup di atas 80, dan lebih tinggi dari level krisis 2008. Itu pelaku pasar lebih cemas dengan outlook ekonomi saat ini, ketimbang di tahun 2008. Akibatnya, aksi jual di kiblat bursa saham dunia ini terus berlanjut.
Meski demikian, VIX pada hari Jumat menurun tajam hingga berada di kisaran 66, bisa jadi hal tersebut mengindikasikan ketakutan pelaku pasar mulai mereda setelah gelontoran kebijakan dari pemerintah maupun bank sentral negara-negara.
(pap)
Pages
Most Popular