
Newsletter
Vivere Pericoloso! Hope for The Best, Prepare for The Worst
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
17 March 2020 06:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin (16/3/2020) pasar keuangan tanah air kompak melemah, padahal berbagai daya upaya sudah dikerahkan agar meredam kepanikan yang ada. Namun COVID-19 memang terlampau sakti dan sukses buat pasar keuangan dalam negeri babak belur.
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup anjlok 4,42%. Hampir saja IHSG terkena trading halt karena nyaris jatuh 5%. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan IHSG sudah melorot lebih dari 25%. Penyebabnya ya masih sama, apalagi kalau bukan wabah Corona (COVID-19).
Pasar memang lagi kacau balau. Berbagai upaya untuk menenangkan investor seolah tak digubris. Tekanan jual masih saja menghantui bursa saham tanah air. Sejak awal tahun asing mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 7,55 triliun.
Dalam suasana tak kondusif seperti ini, banyak saham-saham berfundamental bagus yang diobral murah di pasar. Merespons hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membolehkan emiten untuk melakukan buyback tanpa perlu mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Untuk menahan gempuran yang terus-terusan terjadi, otoritas bursa juga mengambil berbagai langkah mulai dari menghentikan transaksi short selling, memberlakukan protokol trading halt jika indeks anjlok sampai 5%, hingga pemberlakuan autoreject asimetris untuk saham-saham yang terkoreksi 7%.
Di sisi lain stimulus moneter berupa penurunan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) baik rupiah maupun valas hingga stimulus fiskal yang mencakup relaksasi pajak dan berbagai insentif lain yang diberikan pemerintah seolah tak mampu membuat pasar menjadi lebih tenang.
Bahkan rilis data neraca dagang RI yang bagus di bulan Februari juga tak cukup kuat mengangkat pasar. Kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca dagang RI untuk bulan Januari surplus US$ 2,34 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak 2011.
Akhirnya indeks saham tanah air harus rela ditutup tenggelam di zona merah kemarin, bahkan ketika bank sentral AS kembali memangkas suku bunga acuan secara agresif untuk memberikan stimulus kepada perekonomian di tengah pandemi. Namun kenyataannya pasar masih terus tertekan dan bergerak dengan volatilitas tinggi.
Senasib dengan pasar saham, di pasar obligasi, surat utang pemerintah juga mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield). Yield dan harga pada obligasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Kalau harga naik maka yield turun, begitu juga sebaliknya.
Untuk surat utang pemerintah RI yang bertenor 5 dan 10 tahun kemarin mengalami kenaikan yield masing-masing sebesar 34 dan 2,4 basis poin. Artinya ada penurunan harga. Saat harga sedang turun maka sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Akhirnya capital outflow pun tak terelakkan. Bank Indonesia (BI) mencatat hingga 4 Maret 2020, outflow dana asing dari Indonesia mencapai Rp 40,16 triliun. Padahal di akhir Februari outflow hanya tercatat sebesar Rp 30,8 triliun.
Kenaikan signifikan outflow dana asing tersebut diakibatkan oleh semakin meluasnya wabah COVID-19 yang kini resmi menyandang status sebagai pandemi. Hal ini membuat investor khawatir dan lebih memilih menghindari risiko (risk off).
Adanya capital outflow ini juga turut membebani kinerja mata uang rupiah. Pada penutupan perdagangan kemarin, nilai tukar rupiah dihargai Rp 14.900/US$. Nyaris menyentuh level psikologis Rp 15.000/US$.
Namun di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) kurs rupiah sudah berada di level Rp 15.000/US$ untuk tenor sepekan dan seterusnya.
Dari pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup anjlok 4,42%. Hampir saja IHSG terkena trading halt karena nyaris jatuh 5%. Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan IHSG sudah melorot lebih dari 25%. Penyebabnya ya masih sama, apalagi kalau bukan wabah Corona (COVID-19).
Pasar memang lagi kacau balau. Berbagai upaya untuk menenangkan investor seolah tak digubris. Tekanan jual masih saja menghantui bursa saham tanah air. Sejak awal tahun asing mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 7,55 triliun.
Dalam suasana tak kondusif seperti ini, banyak saham-saham berfundamental bagus yang diobral murah di pasar. Merespons hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membolehkan emiten untuk melakukan buyback tanpa perlu mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Untuk menahan gempuran yang terus-terusan terjadi, otoritas bursa juga mengambil berbagai langkah mulai dari menghentikan transaksi short selling, memberlakukan protokol trading halt jika indeks anjlok sampai 5%, hingga pemberlakuan autoreject asimetris untuk saham-saham yang terkoreksi 7%.
Di sisi lain stimulus moneter berupa penurunan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) baik rupiah maupun valas hingga stimulus fiskal yang mencakup relaksasi pajak dan berbagai insentif lain yang diberikan pemerintah seolah tak mampu membuat pasar menjadi lebih tenang.
Bahkan rilis data neraca dagang RI yang bagus di bulan Februari juga tak cukup kuat mengangkat pasar. Kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca dagang RI untuk bulan Januari surplus US$ 2,34 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak 2011.
Akhirnya indeks saham tanah air harus rela ditutup tenggelam di zona merah kemarin, bahkan ketika bank sentral AS kembali memangkas suku bunga acuan secara agresif untuk memberikan stimulus kepada perekonomian di tengah pandemi. Namun kenyataannya pasar masih terus tertekan dan bergerak dengan volatilitas tinggi.
Senasib dengan pasar saham, di pasar obligasi, surat utang pemerintah juga mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari penurunan imbal hasilnya (yield). Yield dan harga pada obligasi memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Kalau harga naik maka yield turun, begitu juga sebaliknya.
Untuk surat utang pemerintah RI yang bertenor 5 dan 10 tahun kemarin mengalami kenaikan yield masing-masing sebesar 34 dan 2,4 basis poin. Artinya ada penurunan harga. Saat harga sedang turun maka sedang terjadi aksi jual di pasar obligasi.
Akhirnya capital outflow pun tak terelakkan. Bank Indonesia (BI) mencatat hingga 4 Maret 2020, outflow dana asing dari Indonesia mencapai Rp 40,16 triliun. Padahal di akhir Februari outflow hanya tercatat sebesar Rp 30,8 triliun.
Kenaikan signifikan outflow dana asing tersebut diakibatkan oleh semakin meluasnya wabah COVID-19 yang kini resmi menyandang status sebagai pandemi. Hal ini membuat investor khawatir dan lebih memilih menghindari risiko (risk off).
Adanya capital outflow ini juga turut membebani kinerja mata uang rupiah. Pada penutupan perdagangan kemarin, nilai tukar rupiah dihargai Rp 14.900/US$. Nyaris menyentuh level psikologis Rp 15.000/US$.
Namun di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) kurs rupiah sudah berada di level Rp 15.000/US$ untuk tenor sepekan dan seterusnya.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular