
Newsletter
Corona Oh Corona, Mengapa Dikau Makin Seram Saja...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 March 2020 06:14

Sentimen kedua yang perlu dimonitor adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 00:51 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 9,94% dan 7,15%.
Harga si emas hitam ambrol setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.
Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.
Akibatnya, risiko kelebihan pasokan (over supply) membebani harga minyak. Sebab permintaan diprediksi turun karena kelesuan ekonomi akibat terpaan virus corona. Harga kemudian meluncur ke bawah.
"Penolakan Rusia terhadap proposal OPEC akan mencederai kredibilitas OPEC dalam membentuk harga dan stabilitas pasar. Situasi ini akan membuat volatilitas harga menjadi sangat tinggi," kata Bob McNally, Founder Rapidian Energy Group, seperti dikutip dari Reuters.
Akan tetapi, sebenarnya penurunan harga minyak bisa menjadi berkah. Pertama, Indonesia adalah negara berstatus net importir minyak. Kebutuhan dalam negeri masih harus dibantu oleh pasokan impor karena produksi yang belum kunjung memadai.
Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) menjadi lebih ringan karena ada devisa yang bisa dihemat. Fondasi penopang rupiah jadi lebih kokoh.
Kedua, koreksi harga minyak juga bisa meredam inflasi. Ada kemungkinan inflasi melejit karena kelangkaan pasokan, terutama dari impor, akibat virus corona. Kalau harga barang-barang lainnya naik, setidaknya harga energi bisa turun dan membantu 'menjinakkan' inflasi.
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Februari 2020 oleh Bank Indonesia (BI). Data ini menjadi penting karena memotret kepercayaan diri rumah tangga dalam mengarungi bahtera ekonomi.
IKK adalah salah satu indikator permulaan (leading indicator) untuk membaca arah perekonomian ke depan. Indikator lainnya adalah Purchasing Managers' Index (PMI) yang sejauh ini masih positif.
Jika IKK Februari membaik seperti halnya PMI, maka diharapkan mampu menciptakan optimisme di pasar. Ketika rumah tangga dan dunia usaha ekspansif, maka prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan cerah.
(aji/sef)
Harga si emas hitam ambrol setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.
Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.
Akibatnya, risiko kelebihan pasokan (over supply) membebani harga minyak. Sebab permintaan diprediksi turun karena kelesuan ekonomi akibat terpaan virus corona. Harga kemudian meluncur ke bawah.
"Penolakan Rusia terhadap proposal OPEC akan mencederai kredibilitas OPEC dalam membentuk harga dan stabilitas pasar. Situasi ini akan membuat volatilitas harga menjadi sangat tinggi," kata Bob McNally, Founder Rapidian Energy Group, seperti dikutip dari Reuters.
Akan tetapi, sebenarnya penurunan harga minyak bisa menjadi berkah. Pertama, Indonesia adalah negara berstatus net importir minyak. Kebutuhan dalam negeri masih harus dibantu oleh pasokan impor karena produksi yang belum kunjung memadai.
Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) menjadi lebih ringan karena ada devisa yang bisa dihemat. Fondasi penopang rupiah jadi lebih kokoh.
Kedua, koreksi harga minyak juga bisa meredam inflasi. Ada kemungkinan inflasi melejit karena kelangkaan pasokan, terutama dari impor, akibat virus corona. Kalau harga barang-barang lainnya naik, setidaknya harga energi bisa turun dan membantu 'menjinakkan' inflasi.
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Februari 2020 oleh Bank Indonesia (BI). Data ini menjadi penting karena memotret kepercayaan diri rumah tangga dalam mengarungi bahtera ekonomi.
IKK adalah salah satu indikator permulaan (leading indicator) untuk membaca arah perekonomian ke depan. Indikator lainnya adalah Purchasing Managers' Index (PMI) yang sejauh ini masih positif.
Jika IKK Februari membaik seperti halnya PMI, maka diharapkan mampu menciptakan optimisme di pasar. Ketika rumah tangga dan dunia usaha ekspansif, maka prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan cerah.
(aji/sef)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Most Popular