
Newsletter
Resesi Ancam Raksasa Ekonomi, Pasar Keuangan RI Apa Kabar?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 February 2020 06:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri menguat pada perdagangan Senin (17/2/2020) kemarin, meski tipis. Nilai tukar rupiah menguat 0,15% di Rp 13.670/US$, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik tipis 0,01% ke 5.867,523.
Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun turun 0,1 basis poin (bps) ke 6,574%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Pergerakan rupiah, IHSG, dan SUN juga seirama, menghabiskan mayoritas perdagangan di zona merah, sebelum berhasil menguat beberapa menit sebelum perdagangan berakhir.
IHSG sebenarnya sempat menguat sebelum perdagangan sesi I berakhir, tetapi begitu masuk ke sesi II langsung kembali ke zona merah.
Tekanan bagi IHSG di sesi II terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Januari 2019 mencapai US$ 13,41 miliar. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai US$ 14,28 miliar.
Ekspor terkoreksi 3,71% sedangkan impor turun 4,78%. Sehingga berdasarkan hitungan, maka neraca dagang pada Januari 2020 mengalami defisit sebesar US$ 870 juta.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY). Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY. Lalu neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta.
Membengkaknya defisit perdagangan tersebut memberikan gambaran tantangan berat yang dihadapi perekonomian tahun ini, apalagi dengan adanya wabah virus corona di China.
Wabah virus corona atau yang disebut Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis dari John Hopkins CSSE, korban meninggal akibat virus corona atau yang disebut Covid-19 kini mencapai 1,775 orang dan telah menjangkiti lebih dari 71.000 orang di berbagai negara.
Masih belum diketahui seberapa besar dampak virus corona ke pertumbuhan ekonomi China dan global umumnya, yang pasti akan melambat.
Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%. Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.
Sementara itu Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyatakan virus corona mungkin akan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini.
"Mungkin ada pemotongan yang kami masih harapkan akan berada dalam persentase 0,1-0,2," kata direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, dikutip dari AFP akhir pekan kemarin.
Pelambatan ekonomi global menjadi kabar buruk bagi rupiah. Di awal tahun ini, rupiah menunjukkan keperkasaan, bahkan sempat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia. Salah satu sebabnya adalah pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi bangkit di tahun ini, sehingga aliran modal deras masuk ke Indonesia, di mana aset-aset memberikan imbal hasil tinggi.
Dengan perekonomian global yang diprediksi melambat, tentunya sentimen pelaku pasar memburuk dan lebih berhati-hati. Apalagi Indonesia tidak lepas dari pelambatan ekonomi juga.
Bank Dunia mengatakan pelambatan ekonomi China sebesar 1% dapat membuat ekonomi Indonesia melambat 0,3%. Itu artinya, perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dari 0,3% di kuartal I-2020, dampaknya pasar finansial dalam negeri mendapat tekanan.
Tetapi dibalik semua sentimen negatif tersebut, terselip satu hal positif. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) sekali lagi bertindak guna meredam dampak wabah Covid-19 ke perekonomian.
PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Penurunan tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas di pasar, sehingga roda perekonomian bisa berputar. Penurunan MLF hari ini diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPF) yang akan diumumkan Kamis pekan ini.
Bukan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Berkat kebijakan tersebut, sentimen pelaku pasar sedikit terangkat, meski belum benar-benar bagus. Terbukti bursa utama Asia belum kompak Senin kemarin, indeks Shanghai Composite melesat lebih dari 2% sementara Nikkei Jepang dan Kospi Korea Selatan masih melemah. Hal tersebut mengindikasikan pelaku pasar masih berhati-hati, dan belum agresif masuk ke aset berisiko, dan IHSG hanya mampu menguat tipis.
Berbeda dengan bursa saham Asia yang bervariasi, bursa saham Eropa kompak menghijau Senin kemarin. Indeks DAX 30 Jerman menguat 0,29%, sementara CAC 40 Prancis dan FTSE 100 Inggris naik masing-masing 0,27% dan 0,33%.
Upaya bank sentral China untuk meredam dampak wabah Covid-19 membuat bursa Eropa menguat, meski masih tetap berhati-hati.
Sementara itu bursa saham AS (Wall Street) hari Senin kemarin libur merayakan President's Day, tetapi indeks berjangka menunjukkan penguatan. Indeks Dow Jones Futures dan S&P 500 Futures masing-masing menguat 0,21%, dan Nasdaq Futures memimpin sebesar 0,36%.
Indeks berjangka atau futures bisa menjadi acuan kemana arah pasar saat dibuka nanti, karena mencerminkan sentimen pelaku pasar saat perdagangan di pasar spot sudah ditutup, atau libur.
Melihat indeks futures di AS yang masih menghijau, artinya sentimen pelaku pasar masih cukup bagus.
Pada pekan lalu, Wall Street berhasil mencetak rekor tertinggi akibat optimism akan ekonomi AS yang masih tangguh, serta laporan earning perusahaan yang lebih bagus dari ekspektasi.
Berdasarkan data FactSet sudah 77% dari total perusahaan di S&P 500 dan 72% mampu lebih tinggi dari ekspektasi, sebagaimana dilansir CNBC International.
Selain itu, pada Jumat pekan lalu CNBC International juga melaporkan Gedung Putih mempertimbangkan insentif pajak untuk warga AS yang akan membeli saham. Insentif pajak tersebut merupakan salah satu dari beberapa pemangkasan pajak yang dipertimbangkan. Beberapa sumber dari gedung putih mengatakan rumah tangga yang menghasilkan pendapatan US$ 200.000 dapat menginvestasikan US$ 10.000 di saham dengan bebas pajak.
Sementara itu raksasa teknologi asal AS, Apple, menyatakan earning di kuartal II tahun fiskal akan lebih rendah dari prediksi sebelumnya akibat wabah Covid-19, yang menyebabkan gangguan suplai serta penurunan penjualan di China. Apple sebelumnya memberikan prediksi penjualan bersih akan mencapai US$ 63 miliar sampai US$ 67 miliar.
Kini bukan hanya wabah Covid-19 yang menjadi perhatian utama, tetapi juga "produk turunannya" yakni resesi.
Pelambatan ekonomi China akibat wabah Covid-19 tersebut membuat beberapa negara ketar-ketir. Singapura, Jerman, dan Jepang menjadi negara yang terancam mengalami resesi, ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan China.
Singapura sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.
China adalah negara mitra dagang utama Singapura. Pada 2018, ekspor Singapura ke China mencapai US$ 50,4 miliar atau menyumbang 13% dari total ekspor. Belum lagi melihat dampaknya virus corona di sektor pariwisata, dimana wisatawan dari China berkontribusi sekitar 20% dari total wisatawan ke Singapura.
Setelah Singapura, Jerman juga patut waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Jerman merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa dan berorientasi ekspor dengan China merupakan pasar terbesar ketiganya. Pada tahun 2018, nilai ekspor Jerman ke China US$ 109,9 miliar atau menyumbang 7,1% dari total ekspor.
Melambatnya perekonomian China tentunya menurunkan permintaan dari Jerman, sehingga ekonomi Negeri Panzer juga berisiko terpukul.
Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Pemerintah Jepang sebelumnya sudah memperingatkan jika PDB pada periode Oktober-Desember 2019 berisiko terkontraksi akibat kenaikan pajak penjualan, adanya angina topan, serta perang dagang AS dengan China.
Kini tantangan yang dihadapi Jepang di awal 2020 lebih besar lagi akibat wabah virus corona atau yang disebut Covid-19. Perekonomian China diprediksi melambat signifikan dan tentunya menyeret pertumbuhan ekonomi global, termasuk Jepang.
Jika PDB Jepang kembali berkontraksi di kuartal I-2020, maka Jepang akan mengalami resesi.
"Hantu" resesi yang kembali bergentayangan tentunya membuat pelaku pasar berhati-hati masuk ke aset-aset berisiko.
Meski demikian, upaya China meredam dampak wahab Covid-19 dengan stimulus moneter setidaknya mampu sedikit menenangkan pelaku pasar. Seperti disebutkan di halaman pertama, PBoC menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Bukan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Semua dimaksudkan agar roda perekonomian terus berputar, dan ketika wabah virus corona berakhir bisa terakselerasi.
Selain itu, data tingkat keyakinan ekonomi Jerman akan menjadi perhatian setelah rilis data PDB yang mengecewakan. Dalam dua bulan terakhir, para investor Negeri Panser masih optimistis terhadap perekomonian dalam enam bulan ke depan. Ketika para investor optimistis, maka invetasi akan mengalir, dan roda perekonomian berputar.
Sementara jika pesimistis, maka investor cenderung menunda investasi. Jika itu terjadi, ancaman resesi yang dihadapi Jerman akan semakin nyata.
Intinya sentimen pelaku pasar masih akan bervariasi dan pergerakan pasar finansial berkonsolidasi. Bursa saham Eropa dan indeks berjangka di AS yang menguat bisa menjadi sentimen positif ke pasar Asia hari ini. Ada rasa optimistis dari stimulus China tetapi juga berhati-hati akibat belum adanya tanda-tanda wabah Covid-19 mereda. Ketika tanda-tanda mereda itu muncul, maka pelaku pasar akan kembali ceria, dan saat itu aset-aset berisiko akan kembali berjaya. Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
Selasa, 18 Februari 2020
RUPS PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
Rabu, 19 Februari 2020
RUPS PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
RUPS PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
RUPS PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB). Agenda: perubahan pengurus.
Public expose PSAB.
Cum hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD/rights issue) di pasar reguler. Periode perdagangan HMETD/rights 25 Feb-4 Mar.
Kamis, 20 Februari 2020
RUPS PT Argo Pantes Tbk (ARGO). Agenda: perubahan pengurus.
RUPS PT Bank Bukopin Tbk (BBKP). Agenda: perubahan pengurus.
RUPS PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
Jumat, 21 Februari 2020
RUPS PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEx). Agenda: persetujuan penerbitan obligasi wajib konversi, persetujuan rencana penambahan moal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD/non-preemptive rights), perubahan anggaran dasar.
RUPS PT Kota Satu properti Tbk (SATU).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
(pap) Next Article Bukan Corona, Apple Guncang Bursa & Buat Harga Emas Melesat
Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun turun 0,1 basis poin (bps) ke 6,574%.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Pergerakan rupiah, IHSG, dan SUN juga seirama, menghabiskan mayoritas perdagangan di zona merah, sebelum berhasil menguat beberapa menit sebelum perdagangan berakhir.
IHSG sebenarnya sempat menguat sebelum perdagangan sesi I berakhir, tetapi begitu masuk ke sesi II langsung kembali ke zona merah.
Tekanan bagi IHSG di sesi II terjadi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Januari 2019 mencapai US$ 13,41 miliar. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai US$ 14,28 miliar.
Ekspor terkoreksi 3,71% sedangkan impor turun 4,78%. Sehingga berdasarkan hitungan, maka neraca dagang pada Januari 2020 mengalami defisit sebesar US$ 870 juta.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY). Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY. Lalu neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta.
Membengkaknya defisit perdagangan tersebut memberikan gambaran tantangan berat yang dihadapi perekonomian tahun ini, apalagi dengan adanya wabah virus corona di China.
Wabah virus corona atau yang disebut Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda yang membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis dari John Hopkins CSSE, korban meninggal akibat virus corona atau yang disebut Covid-19 kini mencapai 1,775 orang dan telah menjangkiti lebih dari 71.000 orang di berbagai negara.
Masih belum diketahui seberapa besar dampak virus corona ke pertumbuhan ekonomi China dan global umumnya, yang pasti akan melambat.
Hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%. Kemudian, Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%. Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.
Sementara itu Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyatakan virus corona mungkin akan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini.
"Mungkin ada pemotongan yang kami masih harapkan akan berada dalam persentase 0,1-0,2," kata direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, dikutip dari AFP akhir pekan kemarin.
Pelambatan ekonomi global menjadi kabar buruk bagi rupiah. Di awal tahun ini, rupiah menunjukkan keperkasaan, bahkan sempat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia. Salah satu sebabnya adalah pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi bangkit di tahun ini, sehingga aliran modal deras masuk ke Indonesia, di mana aset-aset memberikan imbal hasil tinggi.
Dengan perekonomian global yang diprediksi melambat, tentunya sentimen pelaku pasar memburuk dan lebih berhati-hati. Apalagi Indonesia tidak lepas dari pelambatan ekonomi juga.
Bank Dunia mengatakan pelambatan ekonomi China sebesar 1% dapat membuat ekonomi Indonesia melambat 0,3%. Itu artinya, perekonomian Indonesia bisa melambat lebih dari 0,3% di kuartal I-2020, dampaknya pasar finansial dalam negeri mendapat tekanan.
Tetapi dibalik semua sentimen negatif tersebut, terselip satu hal positif. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) sekali lagi bertindak guna meredam dampak wabah Covid-19 ke perekonomian.
PBoC mengumumkan penurunan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Penurunan tersebut dimaksudkan untuk menambah likuiditas di pasar, sehingga roda perekonomian bisa berputar. Penurunan MLF hari ini diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPF) yang akan diumumkan Kamis pekan ini.
Bukan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Berkat kebijakan tersebut, sentimen pelaku pasar sedikit terangkat, meski belum benar-benar bagus. Terbukti bursa utama Asia belum kompak Senin kemarin, indeks Shanghai Composite melesat lebih dari 2% sementara Nikkei Jepang dan Kospi Korea Selatan masih melemah. Hal tersebut mengindikasikan pelaku pasar masih berhati-hati, dan belum agresif masuk ke aset berisiko, dan IHSG hanya mampu menguat tipis.
Berbeda dengan bursa saham Asia yang bervariasi, bursa saham Eropa kompak menghijau Senin kemarin. Indeks DAX 30 Jerman menguat 0,29%, sementara CAC 40 Prancis dan FTSE 100 Inggris naik masing-masing 0,27% dan 0,33%.
Upaya bank sentral China untuk meredam dampak wabah Covid-19 membuat bursa Eropa menguat, meski masih tetap berhati-hati.
Sementara itu bursa saham AS (Wall Street) hari Senin kemarin libur merayakan President's Day, tetapi indeks berjangka menunjukkan penguatan. Indeks Dow Jones Futures dan S&P 500 Futures masing-masing menguat 0,21%, dan Nasdaq Futures memimpin sebesar 0,36%.
Indeks berjangka atau futures bisa menjadi acuan kemana arah pasar saat dibuka nanti, karena mencerminkan sentimen pelaku pasar saat perdagangan di pasar spot sudah ditutup, atau libur.
Melihat indeks futures di AS yang masih menghijau, artinya sentimen pelaku pasar masih cukup bagus.
Pada pekan lalu, Wall Street berhasil mencetak rekor tertinggi akibat optimism akan ekonomi AS yang masih tangguh, serta laporan earning perusahaan yang lebih bagus dari ekspektasi.
Berdasarkan data FactSet sudah 77% dari total perusahaan di S&P 500 dan 72% mampu lebih tinggi dari ekspektasi, sebagaimana dilansir CNBC International.
Selain itu, pada Jumat pekan lalu CNBC International juga melaporkan Gedung Putih mempertimbangkan insentif pajak untuk warga AS yang akan membeli saham. Insentif pajak tersebut merupakan salah satu dari beberapa pemangkasan pajak yang dipertimbangkan. Beberapa sumber dari gedung putih mengatakan rumah tangga yang menghasilkan pendapatan US$ 200.000 dapat menginvestasikan US$ 10.000 di saham dengan bebas pajak.
Sementara itu raksasa teknologi asal AS, Apple, menyatakan earning di kuartal II tahun fiskal akan lebih rendah dari prediksi sebelumnya akibat wabah Covid-19, yang menyebabkan gangguan suplai serta penurunan penjualan di China. Apple sebelumnya memberikan prediksi penjualan bersih akan mencapai US$ 63 miliar sampai US$ 67 miliar.
Kini bukan hanya wabah Covid-19 yang menjadi perhatian utama, tetapi juga "produk turunannya" yakni resesi.
Pelambatan ekonomi China akibat wabah Covid-19 tersebut membuat beberapa negara ketar-ketir. Singapura, Jerman, dan Jepang menjadi negara yang terancam mengalami resesi, ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan China.
Singapura sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.
China adalah negara mitra dagang utama Singapura. Pada 2018, ekspor Singapura ke China mencapai US$ 50,4 miliar atau menyumbang 13% dari total ekspor. Belum lagi melihat dampaknya virus corona di sektor pariwisata, dimana wisatawan dari China berkontribusi sekitar 20% dari total wisatawan ke Singapura.
Setelah Singapura, Jerman juga patut waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Jerman merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa dan berorientasi ekspor dengan China merupakan pasar terbesar ketiganya. Pada tahun 2018, nilai ekspor Jerman ke China US$ 109,9 miliar atau menyumbang 7,1% dari total ekspor.
Melambatnya perekonomian China tentunya menurunkan permintaan dari Jerman, sehingga ekonomi Negeri Panzer juga berisiko terpukul.
Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Pemerintah Jepang sebelumnya sudah memperingatkan jika PDB pada periode Oktober-Desember 2019 berisiko terkontraksi akibat kenaikan pajak penjualan, adanya angina topan, serta perang dagang AS dengan China.
Kini tantangan yang dihadapi Jepang di awal 2020 lebih besar lagi akibat wabah virus corona atau yang disebut Covid-19. Perekonomian China diprediksi melambat signifikan dan tentunya menyeret pertumbuhan ekonomi global, termasuk Jepang.
Jika PDB Jepang kembali berkontraksi di kuartal I-2020, maka Jepang akan mengalami resesi.
"Hantu" resesi yang kembali bergentayangan tentunya membuat pelaku pasar berhati-hati masuk ke aset-aset berisiko.
Meski demikian, upaya China meredam dampak wahab Covid-19 dengan stimulus moneter setidaknya mampu sedikit menenangkan pelaku pasar. Seperti disebutkan di halaman pertama, PBoC menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Bukan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Semua dimaksudkan agar roda perekonomian terus berputar, dan ketika wabah virus corona berakhir bisa terakselerasi.
Selain itu, data tingkat keyakinan ekonomi Jerman akan menjadi perhatian setelah rilis data PDB yang mengecewakan. Dalam dua bulan terakhir, para investor Negeri Panser masih optimistis terhadap perekomonian dalam enam bulan ke depan. Ketika para investor optimistis, maka invetasi akan mengalir, dan roda perekonomian berputar.
Sementara jika pesimistis, maka investor cenderung menunda investasi. Jika itu terjadi, ancaman resesi yang dihadapi Jerman akan semakin nyata.
Intinya sentimen pelaku pasar masih akan bervariasi dan pergerakan pasar finansial berkonsolidasi. Bursa saham Eropa dan indeks berjangka di AS yang menguat bisa menjadi sentimen positif ke pasar Asia hari ini. Ada rasa optimistis dari stimulus China tetapi juga berhati-hati akibat belum adanya tanda-tanda wabah Covid-19 mereda. Ketika tanda-tanda mereda itu muncul, maka pelaku pasar akan kembali ceria, dan saat itu aset-aset berisiko akan kembali berjaya. Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Rilis data penjualan sepeda motor Indonesia (13:30 WIB)
- Rilis data tenaga kerja Inggris (16:30 WIB)
- Rilis data sentimen ekonomi Jerman (17:00 WIB)
Selasa, 18 Februari 2020
RUPS PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
Rabu, 19 Februari 2020
RUPS PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
RUPS PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
RUPS PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB). Agenda: perubahan pengurus.
Public expose PSAB.
Cum hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD/rights issue) di pasar reguler. Periode perdagangan HMETD/rights 25 Feb-4 Mar.
Kamis, 20 Februari 2020
RUPS PT Argo Pantes Tbk (ARGO). Agenda: perubahan pengurus.
RUPS PT Bank Bukopin Tbk (BBKP). Agenda: perubahan pengurus.
RUPS PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Agenda: pengesahan laporan keuangan 2019, dividen, perubahan pengurus.
Jumat, 21 Februari 2020
RUPS PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEx). Agenda: persetujuan penerbitan obligasi wajib konversi, persetujuan rencana penambahan moal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD/non-preemptive rights), perubahan anggaran dasar.
RUPS PT Kota Satu properti Tbk (SATU).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q IV-2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Januari 2020 YoY) | 2,68% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Transaksi berjalan (Q IV-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Q IV-2019) | US$ 4,28 miliar |
Cadangan devisa (Januari 2020) | US$ 131,7 miliar |
(pap) Next Article Bukan Corona, Apple Guncang Bursa & Buat Harga Emas Melesat
Most Popular