
Newsletter
Resesi Ancam Raksasa Ekonomi, Pasar Keuangan RI Apa Kabar?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 February 2020 06:39

Kini bukan hanya wabah Covid-19 yang menjadi perhatian utama, tetapi juga "produk turunannya" yakni resesi.
Pelambatan ekonomi China akibat wabah Covid-19 tersebut membuat beberapa negara ketar-ketir. Singapura, Jerman, dan Jepang menjadi negara yang terancam mengalami resesi, ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan China.
Singapura sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.
China adalah negara mitra dagang utama Singapura. Pada 2018, ekspor Singapura ke China mencapai US$ 50,4 miliar atau menyumbang 13% dari total ekspor. Belum lagi melihat dampaknya virus corona di sektor pariwisata, dimana wisatawan dari China berkontribusi sekitar 20% dari total wisatawan ke Singapura.
Setelah Singapura, Jerman juga patut waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Jerman merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa dan berorientasi ekspor dengan China merupakan pasar terbesar ketiganya. Pada tahun 2018, nilai ekspor Jerman ke China US$ 109,9 miliar atau menyumbang 7,1% dari total ekspor.
Melambatnya perekonomian China tentunya menurunkan permintaan dari Jerman, sehingga ekonomi Negeri Panzer juga berisiko terpukul.
Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Pemerintah Jepang sebelumnya sudah memperingatkan jika PDB pada periode Oktober-Desember 2019 berisiko terkontraksi akibat kenaikan pajak penjualan, adanya angina topan, serta perang dagang AS dengan China.
Kini tantangan yang dihadapi Jepang di awal 2020 lebih besar lagi akibat wabah virus corona atau yang disebut Covid-19. Perekonomian China diprediksi melambat signifikan dan tentunya menyeret pertumbuhan ekonomi global, termasuk Jepang.
Jika PDB Jepang kembali berkontraksi di kuartal I-2020, maka Jepang akan mengalami resesi.
"Hantu" resesi yang kembali bergentayangan tentunya membuat pelaku pasar berhati-hati masuk ke aset-aset berisiko.
Meski demikian, upaya China meredam dampak wahab Covid-19 dengan stimulus moneter setidaknya mampu sedikit menenangkan pelaku pasar. Seperti disebutkan di halaman pertama, PBoC menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Bukan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Semua dimaksudkan agar roda perekonomian terus berputar, dan ketika wabah virus corona berakhir bisa terakselerasi.
Selain itu, data tingkat keyakinan ekonomi Jerman akan menjadi perhatian setelah rilis data PDB yang mengecewakan. Dalam dua bulan terakhir, para investor Negeri Panser masih optimistis terhadap perekomonian dalam enam bulan ke depan. Ketika para investor optimistis, maka invetasi akan mengalir, dan roda perekonomian berputar.
Sementara jika pesimistis, maka investor cenderung menunda investasi. Jika itu terjadi, ancaman resesi yang dihadapi Jerman akan semakin nyata.
Intinya sentimen pelaku pasar masih akan bervariasi dan pergerakan pasar finansial berkonsolidasi. Bursa saham Eropa dan indeks berjangka di AS yang menguat bisa menjadi sentimen positif ke pasar Asia hari ini. Ada rasa optimistis dari stimulus China tetapi juga berhati-hati akibat belum adanya tanda-tanda wabah Covid-19 mereda. Ketika tanda-tanda mereda itu muncul, maka pelaku pasar akan kembali ceria, dan saat itu aset-aset berisiko akan kembali berjaya. (pap)
Pelambatan ekonomi China akibat wabah Covid-19 tersebut membuat beberapa negara ketar-ketir. Singapura, Jerman, dan Jepang menjadi negara yang terancam mengalami resesi, ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan China.
Singapura sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini. Mengutip Reuters, Singapura memprediksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2020 ada di kisaran -0,5%-1,5%. Padahal sebelumnya, pemerintah memproyeksikan, pertumbuhan di kisaran 0,5%-2,5%.
China adalah negara mitra dagang utama Singapura. Pada 2018, ekspor Singapura ke China mencapai US$ 50,4 miliar atau menyumbang 13% dari total ekspor. Belum lagi melihat dampaknya virus corona di sektor pariwisata, dimana wisatawan dari China berkontribusi sekitar 20% dari total wisatawan ke Singapura.
Setelah Singapura, Jerman juga patut waspada. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Jerman merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa dan berorientasi ekspor dengan China merupakan pasar terbesar ketiganya. Pada tahun 2018, nilai ekspor Jerman ke China US$ 109,9 miliar atau menyumbang 7,1% dari total ekspor.
Melambatnya perekonomian China tentunya menurunkan permintaan dari Jerman, sehingga ekonomi Negeri Panzer juga berisiko terpukul.
Selanjutnya Jepang, negara dengan nilai ekonomi terbesar ketiga di dunia, yang sudah dekat dengan resesi. Perekonomian Jepang berkontraksi tajam di kuartal IV-2019, bahkan menjadi yang terdalam sejak 6 tahun terakhir. Data dari Cabinet Office menunjukkan produk domestic bruto (PBD) kuartal IV-2019 berkontraksi 1,6% quarter-on-quarter (QoQ), menjadi yang terdalam sejak kuartal II-2014.
Pemerintah Jepang sebelumnya sudah memperingatkan jika PDB pada periode Oktober-Desember 2019 berisiko terkontraksi akibat kenaikan pajak penjualan, adanya angina topan, serta perang dagang AS dengan China.
Kini tantangan yang dihadapi Jepang di awal 2020 lebih besar lagi akibat wabah virus corona atau yang disebut Covid-19. Perekonomian China diprediksi melambat signifikan dan tentunya menyeret pertumbuhan ekonomi global, termasuk Jepang.
Jika PDB Jepang kembali berkontraksi di kuartal I-2020, maka Jepang akan mengalami resesi.
"Hantu" resesi yang kembali bergentayangan tentunya membuat pelaku pasar berhati-hati masuk ke aset-aset berisiko.
Meski demikian, upaya China meredam dampak wahab Covid-19 dengan stimulus moneter setidaknya mampu sedikit menenangkan pelaku pasar. Seperti disebutkan di halaman pertama, PBoC menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Selain itu PBoC juga akan menggelontorkan dana senilai US$ 29 miliar dalam bentuk pinjaman jangka menengah.
Bukan kali ini saja PBoC menggelontorkan stimulus, di awal bulan lalu suku bunga reverse repo tenor 7 hari diturunkan menjadi menjadi 2,4%, sementara tenor 14 hari diturunkan menjadi 2,55% guna meredam gejolak finansial akibat virus corona. Selain itu PBoC menyuntikkan likuiditas senilai 1,7 triliun yuan (US$ 242,74 miliar) melalui operasi pasar terbuka.
Semua dimaksudkan agar roda perekonomian terus berputar, dan ketika wabah virus corona berakhir bisa terakselerasi.
Selain itu, data tingkat keyakinan ekonomi Jerman akan menjadi perhatian setelah rilis data PDB yang mengecewakan. Dalam dua bulan terakhir, para investor Negeri Panser masih optimistis terhadap perekomonian dalam enam bulan ke depan. Ketika para investor optimistis, maka invetasi akan mengalir, dan roda perekonomian berputar.
Sementara jika pesimistis, maka investor cenderung menunda investasi. Jika itu terjadi, ancaman resesi yang dihadapi Jerman akan semakin nyata.
Intinya sentimen pelaku pasar masih akan bervariasi dan pergerakan pasar finansial berkonsolidasi. Bursa saham Eropa dan indeks berjangka di AS yang menguat bisa menjadi sentimen positif ke pasar Asia hari ini. Ada rasa optimistis dari stimulus China tetapi juga berhati-hati akibat belum adanya tanda-tanda wabah Covid-19 mereda. Ketika tanda-tanda mereda itu muncul, maka pelaku pasar akan kembali ceria, dan saat itu aset-aset berisiko akan kembali berjaya. (pap)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Most Popular