
Newsletter
Awas! Virus Corona Bangkitkan Lagi "Hantu" Resesi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 February 2020 06:22

Wabah corona masih menjadi isu utama yang di pasar finansial. Bahkan dampak dari wabah tersebut membuat "hantu" resesi di beberapa negara kembali muncul. Seperti yang disebutkan di halaman pertama, wabah corona dapat menyebabkan ekonomi China melambat.
Pelambatan ekonomi tersebut dapat menyeret negara-negara yang memiliki hubungan erat dengan China. Setidaknya ada dua negara yang sudah ketar-ketir, yakni Singapura dan Jerman.
China adalah negara mitra dagang utama Singapura. Pada 2018, ekspor Singapura ke China mencapai US$ 50,4 miliar atau menyumbang 13% dari total ekspor.
Dengan perlambatan ekonomi China, tentu permintaan terhadap produk-produk dari luar negeri akan ikut berkurang. Artinya, ekspor Singapura sudah pasti terpukul. Menteri Perdagangan dan Industri Singapura, Chan Chun Sing, mengatakan Singapura harus "siap secara mental" menghadapi virus corona yang dampaknya akan lebih "luas, dalam, dan panjang" dari wabah SARS tahun 2003 lalu. Sebabnya, nilai perdagangan Singapura dan China saat ini sudah naik empat kali lipat dibandingkan tahun 2003.
Selain ekspor, sektor pariwisata Singapura juga sudah terkena dampak langsung akibat penurunan jumlah wisatawan asal Tiongkok.
"Sektor pariwisata telah terkena dampak langsung dari penyebaran virus corona, akibat penurunan kedatangan wisatawan, khususnya dari China" kata Singapore Tourism Board (STB) sebagaimana dilansir Channel News Asia.
Berdasarkan data STB sepanjang tahun 2019, ada sebanyak 3,6 juta wisatawan dari China yang berkunjung ke Singapura, angka tersebut merupakan 20% dari total wisatawan sepanjang tahun lalu.
Akibat pukulan COVID-19 ke perekonomian, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengatakan kemungkinan terjadinya resesi.
"Saya tidak bisa mengatakan apakah kita akan mengalami resesi atau tidak. Itu adalah kemungkinan, tetapi yang pasti perekonomian akan terpukul" katanya sebagaimana dilansir Strait Times.
Kemudian Jerman juga sudah mulai dag-dig-dug. Pertumbuban ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Jerman merupakan negara yang beorientasi ekspor dan China merupakan pasar terbesar ketiganya. Pada tahun 2018, nilai ekspor Jerman ke China US$ 109,9 miliar atau menyumbang 7,1% dari total ekspor.
Ekonomi China yang diprediksi melambat di kuartal I-2020 tentunya akan menurunkan permintaan dari Jerman, sehingga ekomomi Negeri Panzer juga berisiko terpukul. Di kuartal IV-2019 belum muncul wabah corona tetapi ekonomi Jerman sudah stagnan, apalagi di awal tahun ini risiko kontraksi ekonomi menjadi tinggi. Saat kontraksi ekonomi terjadi dalam dua kuartal beruntun, maka negara tersebut memasuki resesi.
Meski Indonesia masih cukup jauh dari kata resesi, tetapi kembali munculnya "hantu" tersebut di beberapa negara tentunya menimbulkan dampak negatif di pasar finansial dan masih akan terus menggentayangi sampai wabah corona resmi berakhir.
Di sisi lain, kinerja ekonomi AS masih cukup apik menjadi kabar bagus, begitu juga dengan laporan earning perusahaan AS yang lebih tinggi dari ekspektasi, dampaknya Wall Street mencetak rekor tertinggi pada pekan lalu. Hal tersebut bisa menjadi sentimen positif di pasar finansial.
Dengan demikian, bisa dikatakan sentimen pelaku pasar masih akan bervariasi di awal pekan. Ketika kondisi eksternal memberikan sentimen negatif dan positif, data dari dalam negeri bisa menentukan kemana arah pasar.
Indonesia akan melaporkan data neraca dagang bulan Januari pada hari ini, yang bisa memberikan gambaran awal seberapa besar dampak corona ke perdagangan internasional khususnya dari dan ke China.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY).
Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY. Lalu neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta. Hasil polling dari Reuters bahkan memprediksi defisit lebih besar lagi yakni US$ 270 juta.
Jika realisasinya sesuai ekspektasi pasar, maka defisit tersebut membengkak dibandingkan bulan Desember 2019 yakni sebesar US$ 28,2 juta, dan dapat memberikan sentimen negatif ke pasar finansial dalam negeri.
(pap)
Pelambatan ekonomi tersebut dapat menyeret negara-negara yang memiliki hubungan erat dengan China. Setidaknya ada dua negara yang sudah ketar-ketir, yakni Singapura dan Jerman.
China adalah negara mitra dagang utama Singapura. Pada 2018, ekspor Singapura ke China mencapai US$ 50,4 miliar atau menyumbang 13% dari total ekspor.
Dengan perlambatan ekonomi China, tentu permintaan terhadap produk-produk dari luar negeri akan ikut berkurang. Artinya, ekspor Singapura sudah pasti terpukul. Menteri Perdagangan dan Industri Singapura, Chan Chun Sing, mengatakan Singapura harus "siap secara mental" menghadapi virus corona yang dampaknya akan lebih "luas, dalam, dan panjang" dari wabah SARS tahun 2003 lalu. Sebabnya, nilai perdagangan Singapura dan China saat ini sudah naik empat kali lipat dibandingkan tahun 2003.
Selain ekspor, sektor pariwisata Singapura juga sudah terkena dampak langsung akibat penurunan jumlah wisatawan asal Tiongkok.
"Sektor pariwisata telah terkena dampak langsung dari penyebaran virus corona, akibat penurunan kedatangan wisatawan, khususnya dari China" kata Singapore Tourism Board (STB) sebagaimana dilansir Channel News Asia.
Berdasarkan data STB sepanjang tahun 2019, ada sebanyak 3,6 juta wisatawan dari China yang berkunjung ke Singapura, angka tersebut merupakan 20% dari total wisatawan sepanjang tahun lalu.
Akibat pukulan COVID-19 ke perekonomian, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengatakan kemungkinan terjadinya resesi.
"Saya tidak bisa mengatakan apakah kita akan mengalami resesi atau tidak. Itu adalah kemungkinan, tetapi yang pasti perekonomian akan terpukul" katanya sebagaimana dilansir Strait Times.
Kemudian Jerman juga sudah mulai dag-dig-dug. Pertumbuban ekonomi Negeri Panser di kuartal IV-2019 stagnan alias tidak tumbuh dari kuartal sebelumnya. Pada tahun lalu, Jerman sudah nyaris mengalami resesi akibat perang dagang AS dengan China.
"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.
Jerman merupakan negara yang beorientasi ekspor dan China merupakan pasar terbesar ketiganya. Pada tahun 2018, nilai ekspor Jerman ke China US$ 109,9 miliar atau menyumbang 7,1% dari total ekspor.
Ekonomi China yang diprediksi melambat di kuartal I-2020 tentunya akan menurunkan permintaan dari Jerman, sehingga ekomomi Negeri Panzer juga berisiko terpukul. Di kuartal IV-2019 belum muncul wabah corona tetapi ekonomi Jerman sudah stagnan, apalagi di awal tahun ini risiko kontraksi ekonomi menjadi tinggi. Saat kontraksi ekonomi terjadi dalam dua kuartal beruntun, maka negara tersebut memasuki resesi.
Meski Indonesia masih cukup jauh dari kata resesi, tetapi kembali munculnya "hantu" tersebut di beberapa negara tentunya menimbulkan dampak negatif di pasar finansial dan masih akan terus menggentayangi sampai wabah corona resmi berakhir.
Di sisi lain, kinerja ekonomi AS masih cukup apik menjadi kabar bagus, begitu juga dengan laporan earning perusahaan AS yang lebih tinggi dari ekspektasi, dampaknya Wall Street mencetak rekor tertinggi pada pekan lalu. Hal tersebut bisa menjadi sentimen positif di pasar finansial.
Dengan demikian, bisa dikatakan sentimen pelaku pasar masih akan bervariasi di awal pekan. Ketika kondisi eksternal memberikan sentimen negatif dan positif, data dari dalam negeri bisa menentukan kemana arah pasar.
Indonesia akan melaporkan data neraca dagang bulan Januari pada hari ini, yang bisa memberikan gambaran awal seberapa besar dampak corona ke perdagangan internasional khususnya dari dan ke China.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% year-on-year (YoY).
Sementara impor masih menunjukkan kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 6,24% YoY. Lalu neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta. Hasil polling dari Reuters bahkan memprediksi defisit lebih besar lagi yakni US$ 270 juta.
Jika realisasinya sesuai ekspektasi pasar, maka defisit tersebut membengkak dibandingkan bulan Desember 2019 yakni sebesar US$ 28,2 juta, dan dapat memberikan sentimen negatif ke pasar finansial dalam negeri.
(pap)
Next Page
Simak Data dan Agenda Berikut
Pages
Most Popular