Resesi Kembali "Gentayangi" Jerman, Euro Terus Melemah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
14 February 2020 15:02
risiko Jerman mengalami resesi setelah rilis data ekonomi yang buruk, serta wabah virus corona.
Foto: Mata Uang Euro. (REUTERS/Lee Jae-Won)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar euro kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (14/2/2020) akibat risiko Jerman mengalami resesi setelah rilis data ekonomi yang buruk, serta wabah virus corona.

Euro melemah 0,13% ke US$ 1,0826, level tersebut merupakan yang terlemah sejak April 2017. Mata uang 19 negara ini memangkas pelemahan dan berada di level US$ 1.0837 atau melemah 0,04% pada pukul 14:40 WIB di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Jumat pekan lalu, Destatis melaporkan produksi industri Negeri Panzer bulan Desember turun 3,5% month-on-month (MoM). Penurunan tersebut merupakan yang terbesar dalam dalam satu dekade terakhir. Data tersebut menjadi awal munculnya kecemasan Jerman kembali menghadapi risiko resesi seperti tahun lalu.



Data tersebut mengkonfirmasi hal tersebut. Hari ini Destatis melaporkan pertumbuhan ekonomi Jerman stagnan alias 0% di kuartal IV-2019 dari kuartal sebelumnya yang tumbuh hanya 0,1%. Pertumbuhan di kuartal IV-2019 tersebut lebih rendah dari hasil polling Reuters yang memprediksi pertumbuhan 0,1%.

Suatu negara dikatakan mengalami resesi jika perekonomiannya mengalami kontraksi atau pertumbuhan minus dalam dua kuartal beruntun.

Buruknya pertumbuhan ekonomi di tiga bulan terakhir 2019 tersebut bisa jadi lebih parah di awal tahun ini akibat wabah virus corona atau yang disebut Covid-19.

Berdasarkan data dari satelit pemetaan ArcGis, total korban meninggal akibat virus corona sebanyak 1.491 orang. Dari total tersebut, sebanyak dua orang yang meninggal di luar China. Covid-19 kini telah menjangkiti lebih dari 64.000 orang di seluruh dunia. Itu artinya dalam dua hari terjadi penambahan pasien lebih dari 15.000 orang.

Masih belum jelas seberapa besar ekonomi China akan tertekan akibat wabah tersebut, hasil riset S&P memprediksi produk domestic bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2%.

Kala ekonomi China melambat, maka zona euro juga akan terpukul. Sebabnya Jerman, motor penggerak kawasan tersebut, merupakan negara yang berorientasi ekspor, dan salah satu tujuan utamanya adalah China.



"Tahun lalu kami menemukan seberapa sensitif ekonomi Jerman terhadap China, dan saya pikir setiap orang masih menganggap remeh bagaimana dampak ekonomi China dan ke Eropa" kata John Marley, konsultan senior dan spesialis manajemen risiko valuta asing di SmartCurrencyBusiness, sebagaimana dilansir Reuters.

Melambatnya ekonomi Jerman tentunya akan menyeret pertumbuhan ekonomi zona euro. Jerman merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di Eropa dan merupakan motor penggerak perekonomian blok 19 negara tersebut.

Tanda-tanda pelambatan ekonomi di zona euro sebenarnya sudah terlihat sejak tahun lalu yang memaksa European Central Bank (ECB) memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%, sementara main refinancing facility tetap sebesar 0% dan suku bunga pinjaman (lending facility) juga tetap sebesar 0,25%.

ECB yang kala itu dipimpin Mario Draghi juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun 2018.

Program pembelian aset kali ini akan dimulai pada 1 November 2019 dengan nilai 20 miliar euro per bulan dan akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.

Data dari Jerman menunjukkan belum adanya perbaikan yang signifikan, sehingga QE akan terus dilakukan, bahkan tidak menutup kemungkinan nilainya akan ditambah. Jika hal tersebut terjadi, euro akan sulit bangkit dari tekanan dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Ekonomi AS Makin Terpuruk, Euro Berbalik Menguat 0,5%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular