Newsletter

Dolar di Persimpangan Kematian?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 January 2020 05:09
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sentimen keempat, yang bisa mendukung keperkasaan rupiah, adalah koreksi harga minyak dunia. Pada pukul 04:16 WIB, harga minyak jenis brent amblas 2,14% sementara light sweet anjlok 2,81%.



Harga si emas hitam terpeleset seiring proyeksi kelebihan pasokan (over supply). International Energy Agency (IEA) memperkirakan pasokan minyak akan surplus 1 juta barel pada semester I-2020.

"Saya melihat pasokan energi akan melimpah. Inilah alasan mengapa harga minyak tidak melonjak tajam meski ada beberapa insiden seperti situasi di Iran dan Libya yang memanas. Saat ini harga berada di kisaran US$ 65/barel, hampir sama dengan tahun lalu," kata Fetih Birol, Direktur Eksekutif IEA dalam acara Global Markets Forum yang merupakan rangkaian acara World Economic Forum di Davos, seperti diwartakan Reuters,


Bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berkah. Indonesia adalah negara net importir minyak sehingga kala harga komoditas ini turun maka biaya impornya akan lebih murah. Devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak menjadi lebih sedikit sehingga rupiah punya pijakan untuk melanjutkan penguatan.

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat masih akan mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 5%. Dari 10 ekonom yang terlibat dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang meramal suku bunga acuan diturunkan 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%.


Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, adalah salah satu yang memperkirakan suku bunga acuan tetap bertahan 5%. Menurutnya, tren apresiasi rupiah yang sampai mengundang perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan membuat BI terpancing untuk menurunkan suku bunga.

Belum lama ini, Kepala Negara 'menyentil' soal penguatan rupiah. Jokowi berpesan bahwa ada pihak yang mungkin bakal dirugikan jika rupiah menguat terlalu cepat yaitu eksportir. Ketika rupiah menguat, produk made in Indonesia menjadi lebih mahal di pasar global sehingga kurang berdaya saing.

Namun Satria menilai 'sentilan' Jokowi sulit untuk membuat BI bersikap ABS (Asal Bapak Senang). Justru ini adalah momen untuk menunjukkan independensi bank sentral.

"Menyusul pernyataan Presiden Jokowi bahwa rupiah yang terlalu kuat bisa mempengaruhi ekspor, ini bisa menjadi ujian bagi independensi BI. Namun berkaca dari pengalaman sebelumnya, Gubernur BI berani menaikkan suku bunga acuan sampai 175 bps pada Mei-November 2018, hanya beberapa bulan sebelum Pemilu 2019," kata Satria dalam risetnya.

Oleh karena itu, Satria menyebut bahwa BI sepertinya akan memilih untuk menahan suku bunga acuan dan membiarkan rupiah menguat lebih lanjut. Lagipula, sejauh ini belum ada kebutuhan untuk memberikan stimulus moneter tambahan melalui penurunan suku bunga. Apalagi pemangkasan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 bps mulai berlaku 2 Januari, yang membuat likuiditas perbankan bertambah Rp 26 triliun yang diharapkan bisa menggenjot penyaluran kredit.



(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular