
Newsletter
Dolar di Persimpangan Kematian?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 January 2020 05:09

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kebangkitan Wall Street usai kemarin terbaring lemas karena virus Corona. Optimisme yang menjangkiti bursa saham New York diharapkan bisa menular ke Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah wabah virus Corona. Saat ini kekhawatiran memang mereda, tetapi bukan berarti sirna.
"Sekarang bukan berarti masalah virus Corona sudah selesai. Hanya saja belum ada laporan penyebaran masif (outbreak) dan respons pemerintah China sangat positif," kata Kay Van Peterson, Global Macro Strategist di Saxo Capital Market, seperti dikutip dari Reuters.
Hong Kong sedang melakukan karantina terhadap seorang turis asal China yang positf tertular virus Corona. Turis berusia 39 tahun tersebut datang dari Wuhan dengan kereta api dan sekarang sedang berada di bangsal isolasi rumah sakit Princess Margaret, Hong Kong,
"Kondisi sang pasien stabil. Saya mendesak warga untuk tidak bepergian di Provinsi Hubei, terutama Kota Wuhan, kalau tidak ada urusan penting," kata Menteri Kesehatan Hong Kong Sophia Chan, seperti diwartakan Reuters.
Hong Kong memang punya pengalaman buruk dengan penyebaran virus. Pada 2003, Hong Kong menjadi wilayah dengan serangan virus SARS terparah dengan 1.755 kasus dan 299 korban meninggal dunia.
Oleh karena itu, investor (dan masyarakat pada umumnya) masih harus berhati-hati. Semoga tidak terjadi, tetapi risiko outbrake masih ada.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Kajian Bank of America Merrill Lynch menyebutkan greenback sudah berada di titik persimpangan kematian (Death Cross).
Secara teknikal, Deatch Cross terjadi kala rerata pergerakan (moving average) 50 hari berada di bawah 200 hari. Kala ini terjadi, biasanya akan diikuti oleh rentetan depresiasi.
Dolar AS sudah mengalami delapan kali Death Cross sejak 1980. Tujuh di antaranya menghasilkan tren pelemahan.
Harap maklum kalau dolar AS sedang tidak menjadi primadona. Meredanya kekhawatiran perang dagang membuat investor lebih berani masuk ke instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang.
"Ekonomi global menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Kadar ketidakpastian yang berkurang membuat investor berani mengambil risiko, sesuatu yang sebelumnya tidak terjadi," kata Mark McCormick, Global Head of Foreign Exchange Strategy di TD Securites, dikutip dari Reuters.
Pada pukul 04:10 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,02%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini terkoreksi 0,15%.
Apabila tren pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah masih punya ruang untuk terus menguat. Secara year-to-date, rupiah sudah menguat 1,73%. Tidak hanya terbaik Asia, rupiah juga menjadi mata uang nomor satu di dunia.
Sentimen kedua adalah wabah virus Corona. Saat ini kekhawatiran memang mereda, tetapi bukan berarti sirna.
"Sekarang bukan berarti masalah virus Corona sudah selesai. Hanya saja belum ada laporan penyebaran masif (outbreak) dan respons pemerintah China sangat positif," kata Kay Van Peterson, Global Macro Strategist di Saxo Capital Market, seperti dikutip dari Reuters.
Hong Kong sedang melakukan karantina terhadap seorang turis asal China yang positf tertular virus Corona. Turis berusia 39 tahun tersebut datang dari Wuhan dengan kereta api dan sekarang sedang berada di bangsal isolasi rumah sakit Princess Margaret, Hong Kong,
"Kondisi sang pasien stabil. Saya mendesak warga untuk tidak bepergian di Provinsi Hubei, terutama Kota Wuhan, kalau tidak ada urusan penting," kata Menteri Kesehatan Hong Kong Sophia Chan, seperti diwartakan Reuters.
Hong Kong memang punya pengalaman buruk dengan penyebaran virus. Pada 2003, Hong Kong menjadi wilayah dengan serangan virus SARS terparah dengan 1.755 kasus dan 299 korban meninggal dunia.
Oleh karena itu, investor (dan masyarakat pada umumnya) masih harus berhati-hati. Semoga tidak terjadi, tetapi risiko outbrake masih ada.
Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS. Kajian Bank of America Merrill Lynch menyebutkan greenback sudah berada di titik persimpangan kematian (Death Cross).
Secara teknikal, Deatch Cross terjadi kala rerata pergerakan (moving average) 50 hari berada di bawah 200 hari. Kala ini terjadi, biasanya akan diikuti oleh rentetan depresiasi.
Dolar AS sudah mengalami delapan kali Death Cross sejak 1980. Tujuh di antaranya menghasilkan tren pelemahan.
Harap maklum kalau dolar AS sedang tidak menjadi primadona. Meredanya kekhawatiran perang dagang membuat investor lebih berani masuk ke instrumen-instrumen berisiko di negara berkembang.
"Ekonomi global menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Kadar ketidakpastian yang berkurang membuat investor berani mengambil risiko, sesuatu yang sebelumnya tidak terjadi," kata Mark McCormick, Global Head of Foreign Exchange Strategy di TD Securites, dikutip dari Reuters.
Pada pukul 04:10 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,02%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini terkoreksi 0,15%.
Apabila tren pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah masih punya ruang untuk terus menguat. Secara year-to-date, rupiah sudah menguat 1,73%. Tidak hanya terbaik Asia, rupiah juga menjadi mata uang nomor satu di dunia.
![]() |
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular