
Newsletter
Jangan Remehkan Virus Corona, Wall Street Saja Lesu Dibuatnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 January 2020 06:02

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Koreksi pasar saham New York bisa membuat mood investor di Asia sudah jelek sebelum perdagangan dimulai.
Sentimen kedua adalah penyebaran virus Corona di China. Jangan meremehkan risiko ini, karena sudah terbukti bisa membuat pasar keuangan Asia sampai AS terjeblos ke zona merah.
Hal yang mencemaskan adalah kasus ini terjadi jelang Tahun Baru Imlek. Kalau di Indonesia hari libur utama adalah Idul Fitri, bisa dibilang Tahun Baru Imlek adalah ekuivalennya di China.
Saat Imlek, seperti halnya Idul Fitri di Indonesia, warga China berbondong-bondong mudik ke kampung halaman. Pemerintah China memperkirakan bakal ada tiga miliar perjalanan pada Imlek tahun ini, naik sedikit dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan itu, 2,43 miliar ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Bayangkan, kasus penyebaran virus terjadi kala masyarakat sedang aktif berpindah lokasi. Risiko perluasan penyebaran menjadi semakin tinggi. Apalagi kalau ada warga China yang sudah tertular dan merayakan libur Imlek di luar negeri, penyebaran virus bisa menjadi risiko global.
Kala kasus SARS menjadi ancaman global pada 2002-2003, bursa saham utama Asia berjatuhan. Indeks Hang Seng menjadi yang paling parah, karena saat itu jumlah korban jiwa terbanyak ada di Hong Kong.
Sepertinya perekonomian global punya masalah baru. Kala ketegangan di Timur Tengah masih ada, kini muncul risiko virus Corona. Ada-ada saja...
Sentimen kedua, kali ini kabar gembira, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mencapai kesepakatan soal pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan teknologi. Isu ini sempat memantik ketegangan Washington-Paris.
Pada Juli 2018, Prancis memberlakukan pajak 3% terhadap pendapatan perusahaan jasa yang didapat di negara tersebut. Pajak dikenakan terhadap perusahaan dengan pendapatan lebih dari EUR 25 juta di Prancis dan EUR 750 juta di seluruh dunia.
AS tidak terima, karena pajak tersebut menyasar perusahaan-perusahaan teknologi raksasa asal Negeri Paman Sam seperti Google, Facebook, Apple, Amazon, dan sebagainya. Trump mengancam bakal membalas dengan mengenakan bea masuk untuk impor produk Prancis seperti anggur, sampanye, keju, sampai tas mewah.
Namun setelah bertemu di Davos, keduanya menyepakati 'gencatan senjata'. Beberapa sumber di pemerintahan Prancis membisikkan kepada Reuters bahwa pengenaan pajak terhadap perusahaan-perusahaan teknologi akan ditunda dan AS berjanji tidak akan menerapkan bea masuk.
"Mereka (Trump dan Macron) setuju untuk memberi waktu bernegosiasi sampai akhir tahun ini. Selama periode tersebut, tidak ada pengenaan pajak maupun bea masuk," ungkap sang sumber.
Kesepakatan Trump-Macron membuat risiko perang dagang AS-Prancis mereda. Jika cukup kuat, maka kabar ini bisa menjadi sentimen positif di pasar.
Sentimen kedua adalah penyebaran virus Corona di China. Jangan meremehkan risiko ini, karena sudah terbukti bisa membuat pasar keuangan Asia sampai AS terjeblos ke zona merah.
Hal yang mencemaskan adalah kasus ini terjadi jelang Tahun Baru Imlek. Kalau di Indonesia hari libur utama adalah Idul Fitri, bisa dibilang Tahun Baru Imlek adalah ekuivalennya di China.
Saat Imlek, seperti halnya Idul Fitri di Indonesia, warga China berbondong-bondong mudik ke kampung halaman. Pemerintah China memperkirakan bakal ada tiga miliar perjalanan pada Imlek tahun ini, naik sedikit dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan itu, 2,43 miliar ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Bayangkan, kasus penyebaran virus terjadi kala masyarakat sedang aktif berpindah lokasi. Risiko perluasan penyebaran menjadi semakin tinggi. Apalagi kalau ada warga China yang sudah tertular dan merayakan libur Imlek di luar negeri, penyebaran virus bisa menjadi risiko global.
Kala kasus SARS menjadi ancaman global pada 2002-2003, bursa saham utama Asia berjatuhan. Indeks Hang Seng menjadi yang paling parah, karena saat itu jumlah korban jiwa terbanyak ada di Hong Kong.
Sepertinya perekonomian global punya masalah baru. Kala ketegangan di Timur Tengah masih ada, kini muncul risiko virus Corona. Ada-ada saja...
Sentimen kedua, kali ini kabar gembira, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mencapai kesepakatan soal pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan teknologi. Isu ini sempat memantik ketegangan Washington-Paris.
Pada Juli 2018, Prancis memberlakukan pajak 3% terhadap pendapatan perusahaan jasa yang didapat di negara tersebut. Pajak dikenakan terhadap perusahaan dengan pendapatan lebih dari EUR 25 juta di Prancis dan EUR 750 juta di seluruh dunia.
AS tidak terima, karena pajak tersebut menyasar perusahaan-perusahaan teknologi raksasa asal Negeri Paman Sam seperti Google, Facebook, Apple, Amazon, dan sebagainya. Trump mengancam bakal membalas dengan mengenakan bea masuk untuk impor produk Prancis seperti anggur, sampanye, keju, sampai tas mewah.
Namun setelah bertemu di Davos, keduanya menyepakati 'gencatan senjata'. Beberapa sumber di pemerintahan Prancis membisikkan kepada Reuters bahwa pengenaan pajak terhadap perusahaan-perusahaan teknologi akan ditunda dan AS berjanji tidak akan menerapkan bea masuk.
"Mereka (Trump dan Macron) setuju untuk memberi waktu bernegosiasi sampai akhir tahun ini. Selama periode tersebut, tidak ada pengenaan pajak maupun bea masuk," ungkap sang sumber.
Kesepakatan Trump-Macron membuat risiko perang dagang AS-Prancis mereda. Jika cukup kuat, maka kabar ini bisa menjadi sentimen positif di pasar.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular