Beralih ke AS, perdagangan di Wall Street diliburkan kemarin guna memperingati hari raya Natal. Namun pada hari Selasa (24/12/2019), perdagangan dilangsungkan walaupun hanya setengah hari.
Pada penutupan perdagangan hari Selasa, indeks Dow Jones turun 0,13%, indeks S&P 500 melemah 0,02%, sementara indeks Nasdaq Composite naik 0,08%.
Wall Street tampak harus rehat dulu pasca sudah dua hari beruntun mencetak rekor penutupan tertinggi. Pada perdagangan terakhir di pekan kemarin, Jumat (20/12/2019), indeks Dow Jones naik 0,28%, indeks S&P 500 menguat 0,49%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,42%. Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertinggi sepanjang masa.
Kemudian pada perdagangan hari Senin (23/12/2019), indeks Dow Jones ditutup naik 0,34%, indeks S&P 500 menguat 0,09%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,23%. Ketiga indeks saham acuan di AS tersebut lagi-lagi ditutup di level tertinggi sepanjang masa.
Kinerja Wall Street yang sudah mencetak rekor penutupan tertinggi selama dua hari beruntun membuat pelaku pasar berpikir dua kali untuk melakukan aksi beli. Maklum jika pada akhirnya koreksi menerpa Wall Street, itu pun koreksinya tipis saja.
Pemakzulan Presiden AS Donald Trump oleh DPR AS tak dianggapi dengan serius oleh pelaku pasar saham AS. Seperti yang diketahui, pada hari Kamis waktu Indonesia (19/12/2019) atau hari Rabu waktu setempat (18/12/2019), DPR AS resmi memutuskan untuk memakzulkan Trump.
Ada dua alasan yang membuat anggota DPR AS memutuskan untuk melengserkan Trump. Pertama, Trump didakwa telah menyalahgunakan kekuasaannya ketika menahan bantuan pendanaan bagi Ukraina guna mendorong Ukraina meluncurkan investigasi terhadap lawan politiknya, Joe Biden.
Kedua, Trump juga didakwa karena dianggap menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Hal ini dilakukan oleh Trump dengan melarang para pembantunya di Gedung Putih untuk memberikan kesaksian di sidang penyelidikan Trump.
Anggota DPR AS menggolkan pasal penyalahgunaan kekuasaan dengan skor 230-197. Sementara itu, pasal kedua yang menyebut bahwa Trump telah menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, digolkan dengan skor 229-198.
Sejauh ini, probabilitas bahwa Trump akan benar-benar dicopot dari posisinya terbilang kecil. Pasalnya, AS mengadopsi sistem parlemen dua kamar yang terdiri dari DPR (House of Representatives) dan Senat (Senate).
Segala rancangan undang-undang di AS, jika ingin digolkan menjadi undang-undang, harus mendapatkan persetujuan baik dari DPR maupun Senat. Hal serupa juga berlaku dalam urusan memakzulkan presiden.
Sebagai informasi, Senat AS diisi oleh sebanyak 100 senator. Dari sebanyak 100 senator yang membentuk Senat AS, sebanyak 53 senator berasal dari Partai Republik, sementara 47 berasal dari Partai Demokrat.
Trump sendiri merupakan anggota Partai Repulik, sehingga bisa dikatakan bahwa Senat AS dikuasai oleh kubunya.
Berbeda dengan pemungutan suara di DPR AS yang hanya memerlukan suara sebanyak minimum 51% untuk memakzulkan presiden, pemungutan suara di Senat AS mengharuskan suara sebanyak minimum 2/3 (67%) guna memakzulkan presiden.
Berarti, harus ada sebanyak 67 senator yang mendukung pemakzulan Trump untuk benar-benar ‘menendang’ mantan pengusaha kelas kakap tersebut dari posisinya saat ini. Dengan asumsi bahwa seluruh senator yang berasal dari Partai Demokrat mendukung pemakzulan Trump, masih dibutuhkan minimum 20 senator asal Partai Republik yang membelot guna benar-benar melengserkan Trump.
Melansir CNBC International, hingga saat ini belum ada satupun senator asal Partai Republik yang memberikan sinyal bahwa mereka akan mendukung pemakzulan Trump.
Optimisme bahwa Trump tak akan benar-benar dilengserkan dari posisinya pada akhirnya justru berbalik menjadi sentimen positif bagi bursa AS, sebelumnya akhir pelaku pasar berbalik memasang posisi defensif pada perdagangan hari Selasa.
Pada perdagangan pertama selepas libur Natal, Kamis (26/12/2019), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang kurang menggembirakan pada perdagangan hari Selasa.
Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, lesunya Wall Street pada perdagangan hari Selasa tentu berpotensi memantik aksi jual di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait hubungan AS-China di bidang perdagangan. Seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, AS dan China sebelumnya telah mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu.
Kekhawatiran yang ada di benak pelaku pasar lantaran minimnya detil kesepakatan dagang yang disebar ke publik kini juga sudah sirna, seiring dengan komentar positif yang dilontarkan oleh Presiden Trump dan Presiden Xi.
Perkembangan terbaru, China menunjukkan etikat baik dengan semakin membuka perekonomiannya. Melansir Bloomberg, China mengumumkan bahwa pihaknya akan menurunkan bea masuk bagi sebanyak 859 jenis produk impor mulai awal tahun depan.
Kementerian Keuangan China menyebut bahwa pihaknya akan menerapkan bea masuk sementara yang lebih rendah dari bea masuk yang dikenakan terhadap barang-barang dari most-favored-nation (MFN).
Daging babi beku, alpukat beku, hingga beberapa jenis semikonduktor termasuk ke dalam daftar produk yang bea masuknya akan dikurangi oleh Beijing.
Sebagaimana dilansir dari Reuters, bea masuk terhadap daging babi beku akan dipangkas menjadi 8%, dari tarif MFN yang sebesar 12%, sedangkan bea masuk terhadap alpukat beku akan dikurangi menjadi 7%, dari tarif MFN sebesar 30%.
Pada tahun 2018, nilai dari 859 jenis produk impor tersebut adalah sekitar US$ 389 miliar atau sekitar 18% dari total impor China kala itu yang senilai US$ 2,14 triliun.
Penguarangan bea masuk ini bisa dinikmati oleh negara-negara yang menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Sementara itu, bagi negara-negara yang memiliki kesepakatan dagang dengan China, bea masuknya bisa menjadi lebih rendah lagi.
Dilansir dari Bloomberg, negara-negara yang memiliki kesepakatan dagang dengan China meliputi Selandia Baru, Peru, Kosta Rika, Swiss, Islandia, Singapura, Australia, Korea Selatan, Georgia, Chili, dan Pakistan.
Sekedar mengingatkan, perang dagang AS dengan China pada awalnya dipicu oleh kekesalan Trump terhadap besarnya defisit neraca perdagangan AS dengan China. Kemudian, komplain AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam semakin mengeskalasi perang dagang antar keduanya.
Berbicara mengenai besarnya defisit neraca perdagangan AS dengan China, hal ini salah satunya disebabkan oleh hambatan, baik tarif maupun non-tarif, yang diterapkan China guna melindungi perusahaan-perusahaan domestik.
Kini, langkah China untuk semakin membuka pasar domestiknya dengan menurunkan besaran bea masuk terhadap produk-produk impor tentu diharapkan akan semakin melunakkan AS dalam negosiasi dagang kedua negara.
Pada hari Selasa, Trump mengatakan bahwa AS telah kian dekat untuk menuntaskan kesepakatan dagang dengan China. Menurut Trump, nantinya akan ada seremoni penandatanganan kesepakatan dagang bersama dengan Presiden Xi.
Sentimen ketiga yang perlu dicermati pada perdagangan hari ini adalah terkait dimulainya periode Santa Claus Rally.
Seperti yang sudah disebutkan di halaman dua, Wall Street mencetak rekor penutupan tertinggi pada hari Jumat dan Senin, sebelum kemudian aksi jual menerpa pada hari Selasa.
Jika dihitung sejak akhir bulan November hingga penutupan perdagangan hari Selasa, indeks Dow Jones sudah melejit 1,65%, indeks S&P 500 melesat 2,62%, dan indeks Nasdaq Composite menguat 3,32%.
Bulan Desember lantas terbukti kembali menjadi bulan yang bersahabat bagi Wall Street. Dalam 18 tahun terakhir, indeks S&P 500 yang merupakan indeks saham terbaik guna merepresentasikan pergerakan pasar saham AS hanya membukukan imbal hasil negatif secara bulanan di bulan Desember sebanyak enam kali.
Memasuki hari-hari terakhir di bulan Desember sekaligus tahun 2019, Wall Street masih bisa terus membukukan apresiasi. Pasalnya, periode Santa Claus rally sudah tiba.
Untuk diketahui, Santa Claus rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga dua hari perdagangan pertama di bulan Januari.
Melansir CNBC International yang mengutip Stock Trader’s Almanac, secara rata-rata sejak tahun 1950, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 1,3% pada periode lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga 2 hari perdagangan pertama di bulan Januari.
Dalam 10 tahun terakhir, fenomena Santa Claus rally terbukti masih terus terjadi. Dalam 10 tahun terakhir, berdasarkan data Stock Trader’s Almanac yang kami kutip dari CNBC International, indeks S&P 500 hanya membukukan koreksi sebanyak dua kali selama periode Santa Claus rally, yakni di tahun 2014 dan 2015.
Ada beberapa penjelasan di balik fenomena Santa Claus rally, seperti optimisme meyambut tahun baru dan investasi dari bonus musim liburan misalnya. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimistis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.
Dengan melihat kinerja Wall Street yang begitu oke sejauh ini, tentu tak salah jika pelaku pasar berharap bahwa fenomena Santa Claus rally akan kembali didapati. Sebagai catatan, perdagangan di Wall Street pada hari Selasa menjadi awal dari periode Santa Claus rally tahun 2019.
Selain Santa Claus rally, ada satu fenomena lain yang juga berpotensi mengerek kinerja Wall Street menjelang akhir tahun, yakni window dressing. Melansir Investopedia, window dressing merupakan teknik yang dilakukan oleh para manajer investasi menjelang akhir kuartal dalam mempercantik performa produk investasi yang menjadi kelolaannya.
Di pasar saham, window dressing dilakukan dengan menjual saham-saham yang membebani kinerja produk investasi dan kemudian membeli saham-saham yang telah melesat sebelumnya. Saham-saham yang dibeli tersebut otomatis akan masuk ke dalam komposisi portofolio untuk kemudian dilaporkan kepada investor.
Jika benar kinerja Wall Street masih akan oke di penghujung tahun 2019, tentu saham-saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), terutama yang kapitalisasi pasarnya besar, berpotensi memberikan bonus akhir tahun bagi para investornya.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:
- Rilis data pembangunan rumah baru Jepang periode November 2019 (12:00 WIB)
- Rilis data pertumbuhan produksi industri Singapura periode November 2019 (12:00 WIB)
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 21 Desember 2019 (20:30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019) | 5,02% YoY |
Inflasi (November 2019) | 3% YoY |
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019) | -2,66% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019) | -US$ 46 juta |
Cadangan devisa (November 2019) | US$ 126,6 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA