Newsletter

Mencoba Melihat Kejernihan di antara Riak Retorika Trump

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 December 2019 06:24
Mencoba Melihat Kejernihan di antara Riak Retorika Trump

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 39 poin (0,64%) ke 6.152,12 pada Kamis (5/12/2019), meski dengan nilai transaksi Rp 6,93 triliun atau di bawah rerata tahun berjalan Rp 9,15 triliun. Hari ini, investor mengantisipasi rilis neraca dagang China, setelah Amerika Serikat (AS) melaporkan koreksi perdagangan.

Kinerja IHSG kemarin senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei terapresiasi 0,76%, Shanghai menguat 0,32%, Hang Seng naik 0,33%, dan Straits Times terkerek 0,51%.

Namun, Indonesia mencatatkan performa impresif di pasar obligasi negara, karena harga surat berharga negara (SBN) yang menjadi acuan di pasar kemarin menguat sendirian ketika pasar negara lain terkoreksi. Sejak pertengahan November, harga SBN telah terkoreksi beruntun. 

Di sisi lain, rupiah berjaya dengan langsung menguat pada sesi pembukaan, sebesar 0,04% ke Rp 14.095/US$. Penguatan rupiah semakin membesar selepas tengah hari. Hingga akhir perdagangan, rupiah mencatat penguatan 0,28% di US$ 14.060/US$. Mata Uang Garuda kini berada di level terkuat sejak 15 November.

Untuk perdagangan hari terakhir pekan ini, IHSG cenderung bergerak menguat dan berpeluang menyentuh level tertinggi terbaru dalam 10 hari terakhir. Kecenderungan bullish itu  tercermin dari posisi chart IHSG yang bergerak di atas rata-rata nilainya selama lima hari terakhir (moving average/MA-5).


Penguatan serempak di tiga pasar keuangan nasional itu menunjukkan bahwa investor domestik menemukan ruang untuk mengoleksi aset di Indonesia bahkan ketika selera mengambil risiko (risk appetite) investor asing belum pulih dan cenderung angin-anginan mengikuti arah angin pasar global.

Investor asing yang menyumbang 33% dari transaksi harian bursa saham Indonesia, membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 85 miliar di pasar reguler kemarin, atau lebih kecil dari net sell sehari sebelumnya Rp 199 miliar.

Di pasar obligasi, investor asing tercatat keluar dari pasar SUN senilai Rp 1,02 triliun pekan lalu. Namun data terbaru (4 Desember) menunjukkan kepemilikan asing sebesar Rp 1.066 triliun, atau 38,55% dari total suara utang negara (Rp 2.767 triliun), alias masih terhitung naik dibandingkan dengan posisi yang sama tahun lalu (37,71%).

Investor asing terlihat waspada dan wait and see, sehingga memilih menggenggam dana tunai. Kekhawatiran yang ada masih berpusar pada perang dagang, meski kita bisa menebak ending-nya tahun ini seperti apa: bisa jadi ada kesepakatan, tapi belum tentu mencapai perdamaian.

Jika mengacu pada data fundamental, sentimen positif sebenarnya masih merebak dari China (aktivitas manufaktur dan jasa yang masih ekspansif), bahkan dari AS dengan data terbaru mengenai angka pengangguran yang landai. Data negatif di AS (aktivitas manufaktur yang kontraktif) dalam titik tertentu justru bisa bermanfaat untuk mengurai konflik.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup menguat tipis pada Kamis kemarin, setelah pada pembukaan sempat memerah di sesi pertama perdagangan. Investor mencerna data tenaga kerja yang kuat sembari memantau perkembangan negosiasi perang dagang antara AS dan China.

Dow Jones Industrial Average bertambah 28,01 poin (0,1%) ke level 27.677,79. Indeks S&P 500 menguat 0,16% menjadi 3.117,43 sedangkan Nasdaq naik kurang dari 0,1% menjadi 8.570,7. Penopangnya adalah saham sektor teknologi, seperti Apple yang naik lebih dari 1%. Indeks sektor komunikasi dan teknologi masing-masing tumbuh 0,4% .

"Bursa saham AS terlihat berada di mode berhenti sementara.. Proyeksi kami bursa bergerak dalam tren menyamping hingga akhir tahun tetapi saya menduga akan ada volatilitas," ujar Terry Sandven, Chief Equity Strategist Bank Wealth Management sebagaimana dikutip CNBC International.

Data Departemen Tenaga Kerja menunjukkan bahwa pengajuan klaim asuransi pengangguran AS (mingguan) anjlok 203.000 pekan lalu, di bawah estimasi Reuters sebesar 215.000. Ini merupakan angka yang terendah dalam tujuh bulan terakhir sehingga menghapuskan kekhawatiran soal data slip gaji karyawan baru yang tumbuh di bawah ekspektasi Rabu lalu.

Sayangnya, data positif itu tak berujung pada lonjakan kenaikan Dow Jones cs. Pasar masih menunggu arah negosiasi antara AS dan China, terutama pada satu titik isu: pencabutan tarif yang diberlakukan AS secara sepihak.

"Kecuali ada kesepakatan yang ditekan satu setengah pekan ke depan, atau AS secara sepihak memutuskan menunda atau membatalkan tarif tambahan yang bakal diberlakukan, kita akan melihat semua (reli ini) berantakan," tutur Brian Nick, kepala perencana investasi Nuveen, kepada CNBC International.

Juru bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng pada Kamis kemarin mengatakan kedua belah pihak masih melakukan komunikasi yang erat terkait perdagangan. Dia tak memberikan detil seputar kemajuan negosiasi, hanya berkata bahwa Beijing percaya "jika kedua belah pihak mencapai kesepakatan fase pertama, tarif terkait harus dipangkas."

Merespons itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa sesuatu bisa terjadi terkait dengan tarif, meski "belum ada diskusi ke arah sana". Dia mengklaim bahwa negosiasi berlangsung dengan baik.

Memasuki perdagangan Jumat, menjelang libur akhir pekan, ada baiknya menentukan sikap trading berdasarkan realitas ekonomi yang fundamental, berusaha menemukan kejernihan di balik riak-riak retorika seputar negosiasi dagang yang kadang mengaburkan pandangan kita terhadap realitas.

Perang dagang sudah berlangsung nyaris dua tahun, dan sejauh ini dampaknya nyata memengaruhi perekonomian Amerika Serikat (AS), China, dan memengaruhi perekonomian dunia termasuk Indonesia. Namun, skalanya belum sampai pada lampu kuning yang berujung pada resesi.

Rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) sektor manufaktur dan jasa sejauh ini (versi Caixin) menunjukkan bahwa industri China masih baik-baik saja, sedangkan aktivitas bisnis AS (versi ISM) mulai terluka.

PMI sektor jasa AS memang masih oke alias ekspansif, tetapi sektor manufaktur tersungkur dalam arah kontraksi. Mengikuti alur supply chain barang, hal ini memang masuk akal. Sektor manufaktur biasanya tertekan terlebih dahulu, baru kemudian sektor jasa yang menjadi sektor penunjangnya.

Data terbaru, perang dagang terbukti memengaruhi neraca dagang AS per Oktober. CNBC International melaporkan bahwa defisit dagang AS pada bulan tersebut anjlok 7,6% ke US$47,2 miliar (Rp 659,4 triliun), menjadi level terendahnya dalam lebih dari setahun.

Bagi Trump, ini tentu kabar positif karena dalam narasi politiknya, dia ingin AS bebas dari defisit dagang, hingga melandasi doktrin perang dagang yang dia lancarkan. Namun jika dicermati lebih dalam, Kementerian Perdagangan AS pada Kamis itu melaporkan bahwa defisit terjadi di tengah turunnya aktivitas dagang, tak cuma impor melainkan juga ekspor.

Impor anjlok 1,7% (setara US$4,3 miliar), menjadi US$ 254,3 miliar terutama untuk produk telepon seluler, konsol mainan, dan mobil penumpang. Sementara itu, ekspor melemah 0,2% (US$ 400 juta), menjadi US$ 207,1 miliar.

Jika dibedah lebih lanjut, ekspor non migas aslinya anjlok lebih besar (senilai US$ 800 juta) terutama untuk produk konsumer, farmasi, dan produk otomotif. Untung saja, ekspor migas AS masih tumbuh sehingga angka pelemahan ekspor (secara total) tidak terlihat begitu masif. Catat, ini data Oktober. Belum yang November.

Bagaimana dengan China? Negeri Panda ini bakal merilis neraca dagang November hari Minggu nanti. Konsensus Trading Economics sejauh ini memperkirakan ekspor China bakal turun 5,9% (dibanding posisi Oktober yang minus 0,9%) sedangkan impor turun 6,4% (dibanding kontraksi 6,5% pada Oktober).

Namun, polling Reuters memperkirakan ekspor China pada November justru tumbuh 1%, sedangkan impor tertekan 1,8%. Mana yang benar, kita tentu berharap polling Reuters yang mendekati kebenaran mengingat posisi China sebagai mitra dagang utama kita. Neraca dagang Indonesia bakal ikutan batuk jika Negeri Tirai Bambu ini bersin.

Inilah yang perlu diantisipasi pasar. Lupakan dulu riak-riak retorika membosankan seputar perang dagang. Mereka sedang bernegosiasi, saling lempar gertakan untuk memperkuat posisi tawar masing-masing. Tak ada yang pasti sampai kertas kesepakatan diteken.

Realitas yang terlihat pasti, sejauh ini, adalah perang dagang telah menyakiti AS dalam skala yang lebih dalam ketimbang China. Dalam perspektif manajemen konflik, ini bisa jadi modal positif untuk membuat publik dan politisi AS--terutama kaum demokrat--untuk mengerem sikap ugal-ugalan Trump.

Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini: 

  • Rilis cadangan devisa Indonesia November (12:00 WIB)
  • Tingkat pengangguran AS November (20:00 WIB)

Adapun agenda korporasi yang bakal terjadi hari ini meliputi. 

  • Dividen PT Bank Central Asia Tbk (tentatif)
  • Dividen PT Surya Citra Media Tbk (tentatif)
  • RUPSLB PT Nusantara Almazia Tbk (09:00 WIB)
  • RUPSLB PT Siloam International Hospital Tbk (09:00 WIB)

Sementara itu, indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (November 2019 YoY)

3%

BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)

5%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (2Q-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (2Q-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Oktober 2019)

US$ 126,7 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular