
Newsletter
Mencoba Melihat Kejernihan di antara Riak Retorika Trump
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 December 2019 06:24

Memasuki perdagangan Jumat, menjelang libur akhir pekan, ada baiknya menentukan sikap trading berdasarkan realitas ekonomi yang fundamental, berusaha menemukan kejernihan di balik riak-riak retorika seputar negosiasi dagang yang kadang mengaburkan pandangan kita terhadap realitas.
Perang dagang sudah berlangsung nyaris dua tahun, dan sejauh ini dampaknya nyata memengaruhi perekonomian Amerika Serikat (AS), China, dan memengaruhi perekonomian dunia termasuk Indonesia. Namun, skalanya belum sampai pada lampu kuning yang berujung pada resesi.
Rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) sektor manufaktur dan jasa sejauh ini (versi Caixin) menunjukkan bahwa industri China masih baik-baik saja, sedangkan aktivitas bisnis AS (versi ISM) mulai terluka.
PMI sektor jasa AS memang masih oke alias ekspansif, tetapi sektor manufaktur tersungkur dalam arah kontraksi. Mengikuti alur supply chain barang, hal ini memang masuk akal. Sektor manufaktur biasanya tertekan terlebih dahulu, baru kemudian sektor jasa yang menjadi sektor penunjangnya.
Data terbaru, perang dagang terbukti memengaruhi neraca dagang AS per Oktober. CNBC International melaporkan bahwa defisit dagang AS pada bulan tersebut anjlok 7,6% ke US$47,2 miliar (Rp 659,4 triliun), menjadi level terendahnya dalam lebih dari setahun.
Bagi Trump, ini tentu kabar positif karena dalam narasi politiknya, dia ingin AS bebas dari defisit dagang, hingga melandasi doktrin perang dagang yang dia lancarkan. Namun jika dicermati lebih dalam, Kementerian Perdagangan AS pada Kamis itu melaporkan bahwa defisit terjadi di tengah turunnya aktivitas dagang, tak cuma impor melainkan juga ekspor.
Impor anjlok 1,7% (setara US$4,3 miliar), menjadi US$ 254,3 miliar terutama untuk produk telepon seluler, konsol mainan, dan mobil penumpang. Sementara itu, ekspor melemah 0,2% (US$ 400 juta), menjadi US$ 207,1 miliar.
Jika dibedah lebih lanjut, ekspor non migas aslinya anjlok lebih besar (senilai US$ 800 juta) terutama untuk produk konsumer, farmasi, dan produk otomotif. Untung saja, ekspor migas AS masih tumbuh sehingga angka pelemahan ekspor (secara total) tidak terlihat begitu masif. Catat, ini data Oktober. Belum yang November.
Bagaimana dengan China? Negeri Panda ini bakal merilis neraca dagang November hari Minggu nanti. Konsensus Trading Economics sejauh ini memperkirakan ekspor China bakal turun 5,9% (dibanding posisi Oktober yang minus 0,9%) sedangkan impor turun 6,4% (dibanding kontraksi 6,5% pada Oktober).
Namun, polling Reuters memperkirakan ekspor China pada November justru tumbuh 1%, sedangkan impor tertekan 1,8%. Mana yang benar, kita tentu berharap polling Reuters yang mendekati kebenaran mengingat posisi China sebagai mitra dagang utama kita. Neraca dagang Indonesia bakal ikutan batuk jika Negeri Tirai Bambu ini bersin.
Inilah yang perlu diantisipasi pasar. Lupakan dulu riak-riak retorika membosankan seputar perang dagang. Mereka sedang bernegosiasi, saling lempar gertakan untuk memperkuat posisi tawar masing-masing. Tak ada yang pasti sampai kertas kesepakatan diteken.
Realitas yang terlihat pasti, sejauh ini, adalah perang dagang telah menyakiti AS dalam skala yang lebih dalam ketimbang China. Dalam perspektif manajemen konflik, ini bisa jadi modal positif untuk membuat publik dan politisi AS--terutama kaum demokrat--untuk mengerem sikap ugal-ugalan Trump. (ags/ags)
Perang dagang sudah berlangsung nyaris dua tahun, dan sejauh ini dampaknya nyata memengaruhi perekonomian Amerika Serikat (AS), China, dan memengaruhi perekonomian dunia termasuk Indonesia. Namun, skalanya belum sampai pada lampu kuning yang berujung pada resesi.
Rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) sektor manufaktur dan jasa sejauh ini (versi Caixin) menunjukkan bahwa industri China masih baik-baik saja, sedangkan aktivitas bisnis AS (versi ISM) mulai terluka.
PMI sektor jasa AS memang masih oke alias ekspansif, tetapi sektor manufaktur tersungkur dalam arah kontraksi. Mengikuti alur supply chain barang, hal ini memang masuk akal. Sektor manufaktur biasanya tertekan terlebih dahulu, baru kemudian sektor jasa yang menjadi sektor penunjangnya.
Data terbaru, perang dagang terbukti memengaruhi neraca dagang AS per Oktober. CNBC International melaporkan bahwa defisit dagang AS pada bulan tersebut anjlok 7,6% ke US$47,2 miliar (Rp 659,4 triliun), menjadi level terendahnya dalam lebih dari setahun.
Bagi Trump, ini tentu kabar positif karena dalam narasi politiknya, dia ingin AS bebas dari defisit dagang, hingga melandasi doktrin perang dagang yang dia lancarkan. Namun jika dicermati lebih dalam, Kementerian Perdagangan AS pada Kamis itu melaporkan bahwa defisit terjadi di tengah turunnya aktivitas dagang, tak cuma impor melainkan juga ekspor.
Impor anjlok 1,7% (setara US$4,3 miliar), menjadi US$ 254,3 miliar terutama untuk produk telepon seluler, konsol mainan, dan mobil penumpang. Sementara itu, ekspor melemah 0,2% (US$ 400 juta), menjadi US$ 207,1 miliar.
Jika dibedah lebih lanjut, ekspor non migas aslinya anjlok lebih besar (senilai US$ 800 juta) terutama untuk produk konsumer, farmasi, dan produk otomotif. Untung saja, ekspor migas AS masih tumbuh sehingga angka pelemahan ekspor (secara total) tidak terlihat begitu masif. Catat, ini data Oktober. Belum yang November.
Bagaimana dengan China? Negeri Panda ini bakal merilis neraca dagang November hari Minggu nanti. Konsensus Trading Economics sejauh ini memperkirakan ekspor China bakal turun 5,9% (dibanding posisi Oktober yang minus 0,9%) sedangkan impor turun 6,4% (dibanding kontraksi 6,5% pada Oktober).
Namun, polling Reuters memperkirakan ekspor China pada November justru tumbuh 1%, sedangkan impor tertekan 1,8%. Mana yang benar, kita tentu berharap polling Reuters yang mendekati kebenaran mengingat posisi China sebagai mitra dagang utama kita. Neraca dagang Indonesia bakal ikutan batuk jika Negeri Tirai Bambu ini bersin.
Inilah yang perlu diantisipasi pasar. Lupakan dulu riak-riak retorika membosankan seputar perang dagang. Mereka sedang bernegosiasi, saling lempar gertakan untuk memperkuat posisi tawar masing-masing. Tak ada yang pasti sampai kertas kesepakatan diteken.
Realitas yang terlihat pasti, sejauh ini, adalah perang dagang telah menyakiti AS dalam skala yang lebih dalam ketimbang China. Dalam perspektif manajemen konflik, ini bisa jadi modal positif untuk membuat publik dan politisi AS--terutama kaum demokrat--untuk mengerem sikap ugal-ugalan Trump. (ags/ags)
Pages
Most Popular