Newsletter

Berharap Window Dressing Bantu "Normalisasi" Transaksi Bursa

Arif Gunawan & sef, CNBC Indonesia
02 December 2019 07:03
Berharap Window Dressing Bantu

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi pekan kelabu bagi bursa Indonesia menyusul koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 1,45% menjadi 6.070,76. Koreksi terjadi bersamaan dengan turunnya nilai transaksi harian (sepanjang November) menjadi Rp 7,4 triliun/hari.

Rerata nilai transaksi itu melorot 21,71% dari rerata transaksi harian sepanjang tahun ini yang berkisar Rp 9,46 triliun/hari dan bahkan masih di bawah rerata nilai transaksi tahun lalu Rp 8,5 triliun/hari dan tahun 2017 senilai Rp 7,6 triliun/hari.

Jika indeks acuan bursa turun tetapi nilai transaksi relatif tak berubah, problemnya bersifat temporer yakni pada sentimen pasar yang sedang buruk, tetapi mudah berbalik setiap saat. Namun jika nilai transaksi harian yang turun, dalam rentang waktu sebulan, maka ada problem perdagangan fundamental di bursa yang perlu diperhatikan.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, penurunan itu terjadi di tengah gencarnya aksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menertibkan saham-saham gorengan yang ditengarai banyak ditransaksikan dengan menggunakan portofolio investasi reksa dana dan dana pensiun.

Kita tentunya perlu mendukung penertiban ini untuk membuat transaksi saham di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi lebih sehat dan berkelanjutan, meski berkonsekuensi pada , "normalisasi" nilai harian karena semakin sedikit pihak yang melakukan "transaksi gorengan".

Memasuki Desember ini, kita layak berharap nilai transaksi di BEI berbalik naik, menyusul tren historis dalam industri reksa dana berupa window dressing. Di bulan terakhir inilah perusahaan manajer investasi (MI) melakukan aksi pembelian saham-saham yang menjadi aset dasar (underlying asset) produk reksa dana yang mereka rawat.

Praktis, aksi window dressing tersebut akan mengada dalam bentuk aksi melibatkan triliunan dana publik terhadap saham-saham unggulan yang sudah dipegang para MI tersebut. Tujuannya adalah agar harga saham-saham tersebut naik, yang akhirnya berujung pada peningkatan nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana mereka.

Sekilas memang mirip dengan aksi goreng. Namun bedanya, kali ini yang digoreng atau dimasak adalah saham-saham berfundamental positif yang memang memiliki landasan atau dasar kuat untuk mengalami kenaikan harga. Ibaratnya, menggoreng makanan bergizi, dan bukan menggoreng plastik.

Isu fundamental yang bakal menjadi alasan bagi aksi window dressing tersebut untuk hari ini, Senin (2/12/2019) di antaranya adalah rilis data inflasi dan Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia (per November).

Aksi korporasi juga bakal dicermati, terutama untuk saham-saham yang akan membagikan dividen pekan ini, seperti PT Sepatu Bata Tbk (BATA), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).

Secara bersamaan, angin buruk perang dagang Amerika Serikat (AS)-China masih bakal menerpa. Namun demi melihat fakta bahwa IHSG tertekan sepekan lalu akibat faktor non-fundamental seperti yang disebutkan di atas, ada harapan bahwa minggu ini adalah saatnya IHSG-atau lebih tepatnya MI-untuk "balas dendam" menyamakan kedudukan.



Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan Jumat (29/11) menyusul adanya peningkatan ketegangan antara China-AS. Pada kamis (28/11/2019) pekan lalu China mengancam membalas keputusan Presiden AS Donald Trump meratifikasi UU yang mendukung aksi pendemo Hong Kong.

Indeks Dow Jones Industrial Average turun 112,59 poin, atau 0,4% menjadi 28.051,41 akhir pekan lalu, sedangkan Indeks S&P 500 turun 3,4 poin (-0,4%) menjadi 3.140,98. Di sisi lain, indeks Nasdaq Composite turun 0,5% menjadi 8.665,47.

Meski melemah pada Jumat, secara umum Wall Street menguat sepanjang November. S&P 500 terhitung melompat 3,4% mencatatkan kenaikan bulanan tertinggi sejak Juni 2019 (ketika melonjak 6% dalam sebulan). Indeks Dow Jones dan Nasdaq juga menguat, masing-masing sebesar 3,7% dan 4,5% pada periode yang sama.

Penguatan secara bulanan tersebut dipacu optimisme bahwa kedua belah pihak akan meneken kesepakatan dagang pada November, yang belakangan terbukti hanya angin surga terlebih setelah Trump meneken UU yang mendukung gerakan anti-Beijing di Hong Kong.

Dalam UU tersebut, AS bakal mencabut insentif yang diberikannya bagi produk ekspor dan jasa keuangan dari Hong Kong dan China jika tuntutan pendemo tak diindahkan, dan memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang terkait dengan gerakan pemadaman atau pembungkaman aksi para pendemo.

The Global Times, media yang terafiliasi dengan politbiro China, menyebutkan balasan yang bisa diambil Beijing atas manuver terbaru AS itu berupa pembekuan rencana pembentukan rancangan undang-undang di Hong Kong dan Macau.

Investor pun menunda harapannya pada kemungkinan adanya kesepakatan dagang jelang 15 Desember, di mana AS bakal menaikkan kembali tarif atas produk-produk China. Hanya saja, angin pesimisme masih dominan akibat intervensi AS terhadap aksi protes Hong Kong.

“China sudah meneriakkan ketidaksukaan mereka atas penandatanganan UU AS,” tutur Gregory Faranello, Head of Rates Trading AmeriVet Securities, dalam laporan risetnya, sebagaimana dikutip CNBC International. “Semua perhatian sekarang kian terfokus pada kemajuan (negosiasi) perdagangan Fase 1 dan potensi balasan China atas aksi Trump.”

Salah satu alasan bagus untuk aksi window dressing para manajer investasi (MI) hari ini adalah data inflasi yang berpeluang mendarat di angka moderat, menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tidak kepanasan dan juga tidak terlampau dingin.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi November akan berada di kisaran 0,2% secara month-on-month (MoM) dan 3,065% secara tahunan (year-on-year/ YoY). Sementara itu, inflasi inti diramal 3,16% YoY.

Polling ini sejalan dengan konsensus yang disusun Reuters dan Trading Economics yang memperkirakan inflasi bulanan sebesar 0,2% dan inflasi tahunan 3,06%. Inflasi inti diprediksi sedikit lebih lemah dari konsensus CNBC Indonesia, yakni di kisaran 3,14%.

Jika tidak ada kejutan yang menghentak, maka capaian inflasi tersebut bakal sesuai dengan koridor Bank Indonesia (BI) dan target pemerintah yang masing-masing menargetkan inflasi tahunan sebesar 2,5%-4,5% dan 3,5% hingga akhir 2019.

Dus, saham-saham perbankan dan ritel berpeluang menjadi sasaran beli, terutama saham konsumer yang sepanjang pekan lalu saja sudah tertekan 1,9%. Ketika inflasi terjaga, maka daya beli masyarakat relatif masih kuat untuk membeli barang-barang konsumer.

Perhatian pasar hari ini juga akan tertuju pada Purchasing Manager Index (PMI) Manufacturing per November yang bakal ramai dirilis pekan ini. China, Indonesia, Korea Selatan dan Uni Eropa bakal mendapat giliran pertama merilis indikator aktivitas pemesanan bahan baku dan barang modal manufaktur mereka tatkala jam perdagangan bursa hari ini masih aktif.

Khusus untuk China dan Korsel, data PMI manufaktur kedua negara tersebut bakal mengonfirmasi efek perang dagang yang sudah berlangsung selama 18 bulan terakhir ini. Menurut Trading Economics, Angka PMI Manufaktur Caixin di China bakal berada di angka 51,4 alias masih ekspansif, tetapi lebih lambat dibanding posisi bulan sebelumnya pada 51,7.

Di sisi lain, PMI Manufaktur AS (November) versi Markit bakal dirilis nanti malam, dan diproyeksikan berada di angka 52,2 alias masih berekspansi, dengan laju yang lebih baik dari posisi sebelumnya pada 51,3. Namun, PMI Manufaktur versi ISM untuk AS masih berada di angka 49,2 yang mengindikasikan kontraksi di sektor manufaktur.

Ada baiknya juga memperhatikan rangkaian aksi demo buruh pekan ini yang pada Senin bakal berbarengan dengan konsentrasi massa gerakan 212. Selama ini, demo buruh di Ibu Kota cenderung tertib dan tak membuat investor jiper. Demikian juga dengan aksi massa 212.

Berikut adalah beberapa data ekonomi dari berbagai negara yang akan dirilis hari ini: 
  • Inflasi Korea Selatan/ Korsel (06:00 WIB)
  • Manufacturing PMI Inggris per November (05:00 WIB) 
  • Markit Manufacturing PMI Indonesia per November (07:00 WIB)
  • Manufacturing PMI Markit Korsel per November (07:30 WIB)
  • Caixin Manufacturing PMI China per November (09:00 WIB) 
  • Inflasi Indonesia (11:00 WIB)
  • Markit Manufacturing PMI India per November (12:00 WIB)

Adapun agenda korporasi yang bakal terjadi hari ini meliputi. 

  • Pembagian dividen PT Indo Kordsa Tbk (tentatif)
  • RUPSLB PT Champhion Pacific Indonesia Tbk (10:00 WIB) 
  • RUPSLB PT Buana Lintas Lautan Tbk (10:30 WIB)
  • RUPSLB PT Cahaya Putra Asa Keramik Tbk (10:30 WIB)

Sementara itu, indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (3Q-2019 YoY)5,02%
Inflasi (Oktober 2019 YoY)3,13%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019)5%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2Q-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (2Q-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Oktober 2019)US$ 126,7 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA 
(ags/ags) Next Article Deal or No Deal: Ini (Bukan) Pertarungan Terakhir AS-China

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular