
Sudah Sepuluh Hari Hijau, Apa Iya IHSG Bisa Menguat Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia cenderung ditransaksikan menguat pada perdagangan keempat di pekan ini, Kamis (24/10/2019). Pada perdagangan kemarin, indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,31%, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun turun 1,5 bps, sementara rupiah terdepresiasi 0,21% di pasar spot melawan dolar AS.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Penguatan IHSG pada perdagangan kemarin menandai penguatan yang kesepuluh secara beruntun.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga menutup hari di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,55%, indeks Hang Seng menguat 0,87%, indeks Straits Times terapresiasi 0,78%, dan indeks Kospi bertambah 0,24%.
Optimisme bahwa AS-China akan bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu pada bulan depan sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya optimistis kesepakatan dagang AS-China tahap satu akan bisa ditandatangani dalam gelaran KTT APEC di Chili pada 16-17 November mendatang.
"Saya rasa itu (draf kesepakatan dagang) akan ditandatangani dengan cukup mudah, semoga saja pada saat KTT di Chili, di mana Presiden Xi dan saya akan berada," kata Trump di Gedung Putih.
"Kami bekerja dengan China dengan sangat baik," sambungnya menambahkan.
Perkembangan terbaru, Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng mengatakan bahwa AS dan China telah mencapai perkembangan dalam negosiasi dagang kedua negara, seperti dilansir dari Reuters. Menurut Le, segala perbedaan yang ada antara AS dan China bisa diselesaikan selama keduanya menghormati satu sama lain.
"Selama kita saling menghormati satu sama lain dan bekerjasama dengan azaz keadilan, tidak ada perbedaan yang tak dapat diselesaikan antara China dan AS," kata Le.
"Yang China inginkan adalah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Kami tak ingin merenggut apapun dari pihak lain. Tidaklah ada ceritanya bahwa China ingin menggantikan ataupun mengancam pihak lain," katanya guna semakin mendinginkan suasana dengan AS.
Dirinya kemudian menjelaskan bahwa AS dan China telah mencapai banyak hal melalui kerjasama selama bertahun-tahun.
"Untuk apa kita melepaskan capaian-capaian dari kerjasama tersebut?"
Jika benar AS-China bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu pada bulan depan, tentu ini akan menjadi kabar yang sangat positif bagi perekonomian kedua negara lantaran roda perekonomian akan bisa dipacu untuk berputar lebih kencang.
Mengingat posisi AS dan China selaku dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentu kencangnya laju perekonomian kedua negara akan membawa dampak positif yang signifikan bagi perekonomian dunia.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Kinerja Keuangan Kinclong, Wall Street Menghijau
Bursa saham Amerika Serikat, Wall Street berakhir variatif di penutupan perdagangan, Kamis. Laporan keuangan QIII yang kuat dari emiten seperti Tesla dan Microsoft, mengimbangi penurunan laba dari emiten lainnya seperti Ford.
Dow Jones misalnya turun 0,1% ke 26.805,53. Sedangkan S&P naik 0,2% ke 3.010,29 sementara nasdaq melonjak 0,8% ke 8.185,80.
Meski demikian, prospek ditekennya kesepakatan dagang AS-China tahap satu sukses memantik aksi beli di bursa saham AS. Wajar jika pelaku pasar begitu mengapresiasi ademnya hubungan AS-China di bidang perdagangan.
Pasalnya, hingga saat ini kedua negara telah mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar. Bahkan, AS telah bersikap lebih keras dengan memblokir perusahaan-perusahaan asal China dari melakukan bisnis dengan AS.
Pada Mei 2019, Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.
Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 68 entitas yang terafiliasi dengan Huawei Technologies dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.
Dalam keterangan resmi yang diperoleh CNBC Indonesia dari halaman Federal Register, pemerintah AS beralasan bahwa terdapat dasar yang cukup untuk mengambil kesimpulan bahwa Huawei telah terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan keamanan nasional atau arah kebijakan luar negeri dari AS.
Bukan hanya keamanan nasional, Hak Asasi Manusia (HAM) juga dijadikan alasan oleh pihak AS untuk memblokir perusahaan asal China dalam upayanya untuk memenangkan perang dagang. Per tanggal 9 Oktober 2019, AS resmi memasukkan 28 entitas asal China ke dalam daftar hitam, di mana sebanyak delapan di antaranya merupakan perusahaan teknologi raksasa asal China.
Dimasukkan delapan perusahaan teknologi raksasa asal China tersebut membuat merekatak bisa melakukan bisnis dengan perusahaan asal AS tanpa adanya lisensi khusus. AS beralasan bahwa kedelapan perusahaan tersebut terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap kaum Muslim di Xinjiang, China.
Jika AS dan China benar bisa meneken kesepakatan dagang tahap satu, ada peluang bea masuk tambahan yang kini sudah diterapkan dan pemblokiran terhadap perusahaan-perusahaan asal China bisa dicabut. Jika ini yang terjadi, roda perekonomian dunia bisa dipacu untuk berputar lebih kencang.
Selain itu, rilis kinerja keuangan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di AS ikut memantik aksi beli di bursa saham Negeri Paman Sam. Untuk periode kuartal III-2019, Microsoft melaporkan pendapatan senilai US$ 33,06 miliar, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv yang senilai US$ 32,23 miliar. Laba per saham diumumkan di level US$ 1,38, juga di atas konsensus yang senilai US$ 1,25. Harga saham perusahaan ditutup melesat 2%.
Sementara itu, harga saham Tesla melonjak hingga 17,7% pasca perusahaan secara mengejutkan mengumumkan adanya laba untuk periode kuartal III-2019. Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perusahaan pembuat mobil listrik besutan Elon Musk tersebut berhasil membukukan laba per saham senilai US$ 1,86. Padahal, konsensus memperkirakan adanya kerugian senilai US$ 42 sen per saham.
Mengutip CNBC International yang melansir data dari FactSet, sejauh ini sebanyak lebih dari 31% perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 telah melaporkan kinerja keuangan kuartalan, di mana sebanyak nyaris 80% mampu mengalahkan estimasi dari para analis.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Pada perdagangan hari ini, Jumat (25/10/2019), pelaku pasar patut mencermati beberapa sentimen. Pertama, kinerja Wall Street yang menggembirakan. Sebagai kiblat dari pasar keuangan dunia, menghijaunya Wall Street pada perdagangan kemarin tentu berpotensi memantik aksi beli di pasar keuangan Asia pada hari ini.
Sentimen kedua yang perlu dicermati pelaku pasar adalah perkembangan terkait hubungan AS-China di bidang perdagangan. Mengutip Bloomberg yang mendapatkan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui masalah tersebut, China berniat untuk meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 20 miliar dalam waktu satu tahun jika kesepakatan dagang tahap satu dengan AS bisa diteken
Tambahan pembelian senilai US$ 20 miliar tersebut akan membawa impor produk agrikultur asal AS ke kisaran level tahun 2017 atau sebelum perang dagang AS-China meletus.
Di tahun kedua, jika kesepakatan dagang final bisa diteken dan seluruh bea masuk yang dibebankan AS terhadap produk impor asal China dihapuskan, tambahan pembelian produk agrikultur asal AS bisa dinaikkan menjadi US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar.
Hal ini jelas berpotensi menimbulkan masalah baru. Pasalnya, AS menyebut bahwa kesepakatan dagang tahap satu dengan China akan memasukkan komitmen dari Beijing untuk menambah pembelian produk agrikultur asal AS senilai US$ 40 miliar hingga US$ 50 miliar per tahun (bukan US$ 20 miliar seperti yang saat ini diberitakan). Sebagai gantinya, AS setuju untuk membatalkan pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal China yang sedianya akan dieksekusi pada pekan kemarin.
Jika AS dibuat berang dengan sikap China tersebut, ada potensi bahwa kesepakatan dagang tahap satu akan batal diteken. Malahan, perang dagang kedua negara sangat mungkin untuk tereskalasi.
Ketika perang dagang kedua negara tereskalasi, keduanya sangat mungkin untuk mengalami yang namanya hard landing alias perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk diketahui, pada tahun 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Beralih ke China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Sentimen ketiga yang perlu dicermati adalah terkait dengan rilis data ekonomi di AS. Kemarin, pemesanan barang tahan lama periode September 2019 diumumkan jatuh 1,1% secara bulanan, jauh lebih buruk ketimbang konsensus yang memperkirakan koreksi sebesar 0,5% saja. Perang dagang dengan China terbukti telah menyakiti perekonomian AS dengan signifikan.
Dikhawatirkan, pelaku pasar akan bermain defensif di pasar keuangan Asia pada hari ini pasca melihat rilis data ekonomi AS yang mengecewakan, terlebih jika mengingat bahwa kini ada potensi kesepakatan dagang tahap satu AS-China batal diteken.
Sentimen keempat yang perlu dipantau pelaku pasar adalah terkait dengan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Pada hari Rabu (23/10/2019), RDG BI untuk periode Oktober 2019 dimulai dan berakhir kemarin, diikuti oleh pengumuman tingkat suku bunga acuan.
Dalam konferensi pers yang digelar pasca RDG selesai digelar, BI kembali memutuskan untuk menyuntikkan stimulus bagi perekonomian Indonesia dengan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 Oktober memutuskan untuk menurunkan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps menjadi 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (24/10/2019).
"Kebijakan tersebut konsisten dengan perkiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil instrumen keuangan domestik yang tetap menarik, serta langkah pre-emptive lanjutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perekonomian global yang melambat," tambah Perry.
Untuk diketahui, pemangkasan tingkat suku bunga kemarin menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan selama empat bulan beruntun.Jika ditotal, suku bunga acuan sudah dipangkas sebesar 100 bps dalam empat bulan terakhir.
Keputusan BI tersebut sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan dipangkas sebesar 25 bps menjadi 5%. Keputusan tersebut juga sesuai dengan analisis dari Tim Riset CNBC Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas oleh BI, yakni sebesar 25 bps.
Saat ini, perekonomian Indonesia jelas membutuhkan suntikan energi yang salah satunya bisa datang dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Untuk diketahui, pada awal Agustus Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019.
Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan, jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.
Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07% YoY. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.
Bahkan, saat ini perekonomian Indonesia dikhawatirkan akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Kekhawatiran ini diungkapkan oleh lembaga keuangan besar berbendera asing.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Dengan dipangkas kembalinya tingkat suku bunga acuan oleh BI, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Kemarin, pemangkasan tingkat suku bunga acuan berhasil membuat pasar saham dan obligasi menguat. Pada hari ini, tentu kita harapkan bahwa hal yang sama akan kembali terulang.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Simak Data dan Agenda Berikut
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data indeks keyakinan konsumen Korea Selatan periode Oktober 2019 (04:00 WIB)
- Rilis pembacaan awal atas data tingkat pengangguran Singapura periode kuartal III-2019 (09:30 WIB)
- Rilis data pertumbuhan produksi industri Singapura periode September 2019 (12:00 WIB)
- Rilis pembacaan akhir atas data indeks keyakinan konsumen AS periode Oktober 2019 (21:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal II-2019) | 5,05% YoY |
Inflasi (September 2019) | 3,39% YoY |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2019) | 5% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Kuartal II-2019) | -3,04% PDB |
Neraca pembayaran (Kuartal II-2019) | -US$ 1,98 miliar |
Cadangan devisa (September 2019) | US$ 124,3 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank) Next Article Jokowi Siap Umumkan Kabinet, IHSG Akan Tancap Gas?
