Newsletter

Awas, Suhu Masih Panas!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 September 2019 06:20
Awas, Suhu Masih Panas!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia terkoreksi lumayan dalam sepanjang pekan lalu. Faktor eksternal dan dalam negeri memang kurang kondusif, jadi mau bagaimana lagi...

Pada pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 0,55%. Investor asing mencatatkan jual bersih Rp 1,89 triliun sehingga kapitalisasi pasar IHSG turun 0,44% dari pekan sebelumnya menjadi Rp 7.123,80 triliun.


Sementara nilai tukar rupiah melemah 0,78% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mayoritas mata uang utama Asia lainnya juga terdepresiasi, tetapi rupiah jadi yang paling lemah.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning sepanjang pekan lalu:

 

Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 9 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun karena tekanan jual.

Berikut perubahan yield obligasi pemerintah berbagai tenor sepanjang minggu lalu:



Dari dalam negeri, sentimen pemberat IHSG dkk adalah gelombang demonstrasi yang melanda berbagai kota di Indonesia. Massa mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat menyuarakan berbagai isu mulai dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), kebakaran hutan dan lahan, hingga kisruh di Papua. Bahkan aksi massa ini sampai memakan korban jiwa.

Situasi politik-hukum-sosial-keamanan yang kondusif merembet ke bidang ekonomi. Investor tentu tidak nyaman dengan instabilitas, sehingga arus modal asing ramai-ramai meninggalkan Indonesia.

"Demo yang kita lihat dua hari ini kok terus berlangsung menimbulkan guncangan, jittery di pasar keuangan kita," ujar Destry Damayanti, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), pekan lalu.


Sedangkan dari sisi eksternal, kondisi politik juga menghangat di AS. Presiden Donald Trump menghadapi ancaman pemakzulan (impeachment) dari House of Representatives yang didominasi kubu oposisi Partai Demokrat.

Penyebabnya adalah pembicaraan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy melalui sambungan telepon pada 25 Juli lalu. Dalam pembicaraan tersebut, Trump ditengarai meminta pemerintahan Zeienskiy untuk melakukan penyelidikan atas bisnis migas keluarga Joe Biden di negara pecahan Uni Soviet tersebut. Demokrat menuding Trump menjanjikan bantuan senilai US$ 400 juta dalam bentuk asistensi militer.


Biden, eks wakil presiden pada masa pemerintahan Barack Obama, adalah salah satu kandidat kuat calon presiden Partai Demokrat untuk pemilihan tahun depan. Langkah Trump diduga sebagai upaya menjegal Biden dalam kontestasi politik Negeri Adidaya.

Demokrat menilai Trump melanggar sumpah jabatan karena menjanjikan sesuatu yang terkait dengan wewenangnya untuk menguntungkan diri sendiri atau golongan tertentu. Trump juga dianggap membahayakan keamanan nasional.

Dinamika politik di Washington memang bakal mempengaruhi pasar, karena bagaimana pun kegaduhan ini pasti membuat investor ketar-ketir. Kala William 'Bill' Clinton menghadapi ancaman serupa pada 1998, indeks S&P 500 anjlok sampai 10%.

Namun karena pendongkelan Trump juga harus mendapat restu dari Senat, sepertinya hampir mustahil terwujud. Sebab, Senat Negeri Paman Sam saat ini masih dikuasai oleh Partai Republik pendukung Trump.

Oleh karena itu, faktor politik ini pasti akan mempengaruhi pasar. Namun dampaknya tidak akan lama. Bahkan pada 1998, meski sempat terkoreksi dalam akibat ancaman pelengseran terhadap Clinton, indeks S&P 500 mampu mencatatkan penguatan tahunan sampai 27%.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama terkoreksi sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,43%, S&P 500 amblas 1,01%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,19%.

Seperti yang sudah disinggung, dinamika politik seputar rencana penggulingan Trump membuat pelaku pasar grogi. Akibatnya, investor ogah bermain di instrumen berisiko seperti saham dan memilih bermain aman misalnya dengan masuk ke pasar obligasi.

Sepanjang pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS seri acuan tenor 10 tahun turun 8 bps. Artinya, harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. Maklum, obligasi pemerintah AS adalah salah satu safe haven asset.




Akan tetapi, sepertinya pelaku pasar tidak perlu terlampau mengkhawatirkan soal pelengseran Trump. Pasalnya, sepertinya juga sudah disinggung sebelumnya, nyaris tidak mungkin Senat yang dikuasai Partai Republik merestuinya.

"Itu (pemakzulan) tidak akan terjadi. Saat ini ada presiden dari Partai Republik yang dituduh melakukan pelanggaran, sementara Senat didominasi oleh Republik," tegas Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management, seperti diberitakan Reuters.

Selain itu, ekonomi AS sejauh ini juga masih lumayan meski harus diakui ada perlambatan. Sejumlah data ekonomi terbaru memberi konfirmasi bahwa perekonomian AS masih menggeliat.

Pertama, pembacaan awal Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) versi University of Michigan periode September direvisi ke atas dari 92 menjadi 93,2. Angkanya masih di bawah 100, berarti konsumen masih cenderung menahan diri dan belum berani berekspansi. Namun pesimisme konsumen setidaknya mulai tergerus.

Kedua, pemesanan barang tahan lama (durable goods) pada Agustus naik 0,2% month-on-month (MoM). Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics yang memperkirakan turun 1%.

Ketiga, penjualan rumah baru pada Agustus naik 7.1% MoM menjadi 713.000 unit. Padahal bulan sebelumnya penjualan rumah turun 8,6%.

"Selama ekonomi masih kuat, kami memperkirakan drama di Washington tidak akan terlalu berdampak terhadap pasar yang sedang bullish," ujar Ryan Detrick, Senior Market Strategist di LPI Financial, seperti dikutip dari Reuters.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Dari sisi eksternal, pertama pelaku pasar sepertinya masih perlu memantau perkembangan politik di AS. Nancy Pelosi, Ketua House of Representatives, mengklaim bahwa saat ini opini publik sudah mengarah ke dukungan terhadap pendongkelan Trump dari Gedung Putih.

"Publik sudah mengubah arah. Setelah melihat aksi yang dilakukan pemerintahan saat ini, rakyat AS sudah memiliki pilihan yang berbeda. Seorang presiden AS menahan bantuan bagi negara lain yang didanai dari para pembayar pajak, kecuali kalau negara itu membantunya. Ini sudah sangat jelas," tegas Pelosi, seperti diwartakan Reuters.

Boleh jadi dampak gaduh politik di AS memang temporer. Namun selama suhunya masih hangat cenderung panas, pasar bisa dibikin 'meriang' karenanya. Jadi kewaspadaan tidak boleh kendur.

Sentimen kedua adalah terkait hubungan AS-China. Setelah pertemuan tingkat wakil menteri belum lama ini, kedua negara sepakat untuk menggelar dialog level menteri pada 10-11 Oktober di Washington.


Namun jelang pertemuan tersebut, terdengar kabar yang agak mengejutkan. Pemerintahan Trump tengah mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan China yang melantai di bursa saham AS. Forced delisting ini tentu menjadi sentimen negatif di tengah upaya damai dagang yang sedang dirintis.

Sebagaimana diberitakan Reuters, tiga orang sumber mengungkapkan pemerintah AS ingin mengurangi eksposur investasi China di Negeri Adidaya. Cengkeraman investasi China, terutama di perusahaan teknologi, dinilai berisiko menimbulkan gangguan keamanan.

"Ini adalah salah satu prioritas utama pemerintah. Perusahaan-perusahaan China tidak patuh terhadap aturan yang ditetapkan PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) sehingga menimbulkan risiko bagi investor," ucap salah seorang sumber.

Merespons kabar ini, harga saham sejumlah emiten China di Wall Street anjlok pada perdagangan akhir pekan lalu. Saham Alibaba turun 5,15%, JD.com minus 5,95%, dan Baidu negatif 3,67%.


Pekan lalu, Trump memang mengatakan bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan. Namun dengan perkembangan terbaru ini, sangat mungkin bisa memancing amarah Beijing sehingga jalan menuju damai dagang kembali macet.

Perang dagang AS-China adalah petaka bagi perekonomian dunia. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi saling hambat, maka rantai pasok global akan rusak.

Terbukti sejumlah negara besar sudah mengalami masalah dan bukan tidak mungkin terjun ke jurang resesi. Jerman dan Singapura, dua negara yang sangat bergantung kepada ekspor, mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan.


Kalau rantai pasok global masih rusak gara-gara AS-China tidak kunjung berdamai, maka bukan tidak mungkin dua negara ini bakal mengalami resesi. Negara-negara lain pun bisa saja bernasib serupa.

Sentimen ketiga datang dari Timur Tengah. Mengutip Reuters, milisi Houthi di Yaman mengklaim telah menyerang pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi di daerah perbatasan Najran. Dalam serangan itu, sejumlah tentara dan kendaraan militer ditawan.

"Brigade musuh sudah dijatuhkan dalam serangan tersebut. Ribuan tentara juga berhasil ditawan," kata juru bicara militer Houthi. Mereka menyebut serangan itu melibatkan pesawat tanpa awak (drone), misil, dan pertahanan udara.

Insiden ini menambah panjang aksi kekerasan di wilayah Teluk. Belum lama ini, ladang minyak milik Saudi Aramco diserang yang menyebabkan pasokan minyak Arab Saudi (dan dunia) terganggu.

Serangan di Najran dikhawatirkan membuat suhu di kawasan itu kian mendidih. Kalau negara-negara Barat sudah jengah dan menerjunkan pasukan, maka Perang Teluk Jilid III adalah konsekuensi yang nyata.

Serangan di ladang minyak Saudi Aramco terbukti menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global yang menyebabkan investor menarik diri dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Apabila tensi di Timur Tengah kembali meninggi, maka hal yang sama bukan tidak mungkin terulang lagi.

Selain itu, bara di Timur Tengah juga sangat mungkin membuat harga minyak melonjak. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.

Sebab, kenaikan harga si emas hitam bakal membuat biaya impor komoditas ini membengkak. Padahal Indonesia adalah negara net importir minyak karena produksi dalam negeri yang tidak kunjung memadai.


Akibatnya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan (currrent account) akan semakin terbeban. Rupiah pun terancam melemah karena tidak punya pijakan yang kuat.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Kemudian dari dalam negeri, investor juga perlu memantau sejumlah sentimen. Pertama adalah jelang akhir kuartal III biasanya kebutuhan valas korporasi lumayan tinggi untuk pembayaran impor, utang, dividen, dan sebagainya.

Kebutuhan valas yang tinggi ini tentu akan menekan nilai tukar rupiah. Pelaku pasar perlu mewaspadai risiko tekanan ini.

Kedua, kemungkinan aksi demonstrasi masih akan berlangsung hari ini. Isu yang dibawa masih sama yaitu penolakan terhadap pelemahan KPK dan RKUHP.


Hari ini, 30 September 2019, adalah hari terakhir masa bakti DPR periode 2014-2019. Besok, 1 Oktober, akan dilantik para anggota DPR periode 2019-2024. Sidang paripurna pamungkas DPR 2014-2019 akan dijadikan momentum bagi mahasiswa untuk menyuarakan berbagai tuntutan mereka.

Seperti pekan lalu, gelombang demonstrasi bisa membuat pelaku pasar memilih wait and see. Situasi yang masih agak panas membuat investor cenderung menahan diri, dan keluar untuk sementara sembari menunggu tensi mereda.

Tidak cuma di AS dan Timur Tengah, suhu politik di dalam negeri juga masih agak panas. Jadi investor sepertinya masih perlu hati-hati...


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut sejumlah agenda korporasi yang terjadwal untuk hari ini:
1. Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT XL Axiata Tbk (EXCL) --> 09.00 WIB.
2. RUPSLB PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) --> 09:30 WIB.
3. RUPSLB PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) --> 14:00 WIB.
4. RUPSLB PT Bank Artos Indonesia Tbk (ARTO) --> 14:00 WIB.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Peletakan girder pertama proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (08:30 WIB).
2. Rilis data produksi industrial, penjualan ritel, produksi manufaktur, dan output konstruksi Korea Selatan (06:00 WIB).
3. Rilis data penjualan ritel dan produksi industrial Jepang (06:50 WIB).
4. Rilis data Purchasing Managers' Index (PMI) China versi National Bureau of Statistics (08:00 WIB).
5. Rilis data PMI China versi Caixin (08:45 WIB).
6. Rilis data penjualan ritel dan angka pengangguran Jerman (13:00 WIB).
7. Rilis data pembacaan final pertumbuhan ekonomi Inggris kuartal II-2019 (15:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (Agustus 2019 YoY)

3,49

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2019)

5,25%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Agustus 2019)

US$ 126,44 miliar


Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular