
Newsletter
Awas, Suhu Masih Panas!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 September 2019 06:20

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Dari sisi eksternal, pertama pelaku pasar sepertinya masih perlu memantau perkembangan politik di AS. Nancy Pelosi, Ketua House of Representatives, mengklaim bahwa saat ini opini publik sudah mengarah ke dukungan terhadap pendongkelan Trump dari Gedung Putih.
"Publik sudah mengubah arah. Setelah melihat aksi yang dilakukan pemerintahan saat ini, rakyat AS sudah memiliki pilihan yang berbeda. Seorang presiden AS menahan bantuan bagi negara lain yang didanai dari para pembayar pajak, kecuali kalau negara itu membantunya. Ini sudah sangat jelas," tegas Pelosi, seperti diwartakan Reuters.
Boleh jadi dampak gaduh politik di AS memang temporer. Namun selama suhunya masih hangat cenderung panas, pasar bisa dibikin 'meriang' karenanya. Jadi kewaspadaan tidak boleh kendur.
Sentimen kedua adalah terkait hubungan AS-China. Setelah pertemuan tingkat wakil menteri belum lama ini, kedua negara sepakat untuk menggelar dialog level menteri pada 10-11 Oktober di Washington.
Namun jelang pertemuan tersebut, terdengar kabar yang agak mengejutkan. Pemerintahan Trump tengah mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan China yang melantai di bursa saham AS. Forced delisting ini tentu menjadi sentimen negatif di tengah upaya damai dagang yang sedang dirintis.
Sebagaimana diberitakan Reuters, tiga orang sumber mengungkapkan pemerintah AS ingin mengurangi eksposur investasi China di Negeri Adidaya. Cengkeraman investasi China, terutama di perusahaan teknologi, dinilai berisiko menimbulkan gangguan keamanan.
"Ini adalah salah satu prioritas utama pemerintah. Perusahaan-perusahaan China tidak patuh terhadap aturan yang ditetapkan PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) sehingga menimbulkan risiko bagi investor," ucap salah seorang sumber.
Merespons kabar ini, harga saham sejumlah emiten China di Wall Street anjlok pada perdagangan akhir pekan lalu. Saham Alibaba turun 5,15%, JD.com minus 5,95%, dan Baidu negatif 3,67%.
Pekan lalu, Trump memang mengatakan bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan. Namun dengan perkembangan terbaru ini, sangat mungkin bisa memancing amarah Beijing sehingga jalan menuju damai dagang kembali macet.
Perang dagang AS-China adalah petaka bagi perekonomian dunia. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi saling hambat, maka rantai pasok global akan rusak.
Terbukti sejumlah negara besar sudah mengalami masalah dan bukan tidak mungkin terjun ke jurang resesi. Jerman dan Singapura, dua negara yang sangat bergantung kepada ekspor, mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan.
Kalau rantai pasok global masih rusak gara-gara AS-China tidak kunjung berdamai, maka bukan tidak mungkin dua negara ini bakal mengalami resesi. Negara-negara lain pun bisa saja bernasib serupa.
Sentimen ketiga datang dari Timur Tengah. Mengutip Reuters, milisi Houthi di Yaman mengklaim telah menyerang pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi di daerah perbatasan Najran. Dalam serangan itu, sejumlah tentara dan kendaraan militer ditawan.
"Brigade musuh sudah dijatuhkan dalam serangan tersebut. Ribuan tentara juga berhasil ditawan," kata juru bicara militer Houthi. Mereka menyebut serangan itu melibatkan pesawat tanpa awak (drone), misil, dan pertahanan udara.
Insiden ini menambah panjang aksi kekerasan di wilayah Teluk. Belum lama ini, ladang minyak milik Saudi Aramco diserang yang menyebabkan pasokan minyak Arab Saudi (dan dunia) terganggu.
Serangan di Najran dikhawatirkan membuat suhu di kawasan itu kian mendidih. Kalau negara-negara Barat sudah jengah dan menerjunkan pasukan, maka Perang Teluk Jilid III adalah konsekuensi yang nyata.
Serangan di ladang minyak Saudi Aramco terbukti menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global yang menyebabkan investor menarik diri dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Apabila tensi di Timur Tengah kembali meninggi, maka hal yang sama bukan tidak mungkin terulang lagi.
Selain itu, bara di Timur Tengah juga sangat mungkin membuat harga minyak melonjak. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.
Sebab, kenaikan harga si emas hitam bakal membuat biaya impor komoditas ini membengkak. Padahal Indonesia adalah negara net importir minyak karena produksi dalam negeri yang tidak kunjung memadai.
Akibatnya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan (currrent account) akan semakin terbeban. Rupiah pun terancam melemah karena tidak punya pijakan yang kuat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/sef)
"Publik sudah mengubah arah. Setelah melihat aksi yang dilakukan pemerintahan saat ini, rakyat AS sudah memiliki pilihan yang berbeda. Seorang presiden AS menahan bantuan bagi negara lain yang didanai dari para pembayar pajak, kecuali kalau negara itu membantunya. Ini sudah sangat jelas," tegas Pelosi, seperti diwartakan Reuters.
Boleh jadi dampak gaduh politik di AS memang temporer. Namun selama suhunya masih hangat cenderung panas, pasar bisa dibikin 'meriang' karenanya. Jadi kewaspadaan tidak boleh kendur.
Sentimen kedua adalah terkait hubungan AS-China. Setelah pertemuan tingkat wakil menteri belum lama ini, kedua negara sepakat untuk menggelar dialog level menteri pada 10-11 Oktober di Washington.
Namun jelang pertemuan tersebut, terdengar kabar yang agak mengejutkan. Pemerintahan Trump tengah mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan China yang melantai di bursa saham AS. Forced delisting ini tentu menjadi sentimen negatif di tengah upaya damai dagang yang sedang dirintis.
Sebagaimana diberitakan Reuters, tiga orang sumber mengungkapkan pemerintah AS ingin mengurangi eksposur investasi China di Negeri Adidaya. Cengkeraman investasi China, terutama di perusahaan teknologi, dinilai berisiko menimbulkan gangguan keamanan.
"Ini adalah salah satu prioritas utama pemerintah. Perusahaan-perusahaan China tidak patuh terhadap aturan yang ditetapkan PCAOB (Public Company Accounting Oversight Board) sehingga menimbulkan risiko bagi investor," ucap salah seorang sumber.
Merespons kabar ini, harga saham sejumlah emiten China di Wall Street anjlok pada perdagangan akhir pekan lalu. Saham Alibaba turun 5,15%, JD.com minus 5,95%, dan Baidu negatif 3,67%.
Pekan lalu, Trump memang mengatakan bahwa kesepakatan dagang AS-China bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan. Namun dengan perkembangan terbaru ini, sangat mungkin bisa memancing amarah Beijing sehingga jalan menuju damai dagang kembali macet.
Perang dagang AS-China adalah petaka bagi perekonomian dunia. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar di bumi saling hambat, maka rantai pasok global akan rusak.
Terbukti sejumlah negara besar sudah mengalami masalah dan bukan tidak mungkin terjun ke jurang resesi. Jerman dan Singapura, dua negara yang sangat bergantung kepada ekspor, mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan.
Kalau rantai pasok global masih rusak gara-gara AS-China tidak kunjung berdamai, maka bukan tidak mungkin dua negara ini bakal mengalami resesi. Negara-negara lain pun bisa saja bernasib serupa.
Sentimen ketiga datang dari Timur Tengah. Mengutip Reuters, milisi Houthi di Yaman mengklaim telah menyerang pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi di daerah perbatasan Najran. Dalam serangan itu, sejumlah tentara dan kendaraan militer ditawan.
"Brigade musuh sudah dijatuhkan dalam serangan tersebut. Ribuan tentara juga berhasil ditawan," kata juru bicara militer Houthi. Mereka menyebut serangan itu melibatkan pesawat tanpa awak (drone), misil, dan pertahanan udara.
Insiden ini menambah panjang aksi kekerasan di wilayah Teluk. Belum lama ini, ladang minyak milik Saudi Aramco diserang yang menyebabkan pasokan minyak Arab Saudi (dan dunia) terganggu.
Serangan di Najran dikhawatirkan membuat suhu di kawasan itu kian mendidih. Kalau negara-negara Barat sudah jengah dan menerjunkan pasukan, maka Perang Teluk Jilid III adalah konsekuensi yang nyata.
Serangan di ladang minyak Saudi Aramco terbukti menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global yang menyebabkan investor menarik diri dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Apabila tensi di Timur Tengah kembali meninggi, maka hal yang sama bukan tidak mungkin terulang lagi.
Selain itu, bara di Timur Tengah juga sangat mungkin membuat harga minyak melonjak. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.
Sebab, kenaikan harga si emas hitam bakal membuat biaya impor komoditas ini membengkak. Padahal Indonesia adalah negara net importir minyak karena produksi dalam negeri yang tidak kunjung memadai.
Akibatnya, neraca perdagangan dan transaksi berjalan (currrent account) akan semakin terbeban. Rupiah pun terancam melemah karena tidak punya pijakan yang kuat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/sef)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular