Newsletter

Waspada! 'Hantu' CAD akan 'Gentayangan' Hari Ini

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
09 August 2019 06:45
Waspada! 'Hantu' CAD akan 'Gentayangan' Hari Ini
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari baik kembali menghampiri pasar keuangan dalam negeri.

Kemarin (8/9/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 1,14% ke level 6.6274,67, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07% ke posisi Rp 14.205/US$, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor acuan 10 tahun turun 10,1 basis poin menjadi 7,45%.

Perlu diingat bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Saat yield turun, maka menandakan harga sedang terangkat karena banyak peminat. Berlaku pula sebaliknya.

Penguatan di bursa saham dalam negeri juga sejalan dengan performa mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga anteng di zona hijau. Indeks Shanghai menguat 0,93%, indeks Hang Seng menguat 0,48%, indeks Kospi naik 0,57%, dan indeks Nikkei naik 0,37%.



Hanya bursa saham Singapura, saja yang dirundung mendung, dengan pelemahan indeks Straits Times sebesar 0,45%. Penyebabnya, angka penjualan ritel yang mengalami kontraksi sebesar 8,9% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih besar di atas prediksi konsensus pasar sebesar 0,2%, mengutip Trading Economics.

Sentimen positif eksternal bisa dibilang cukup banyak kemarin.

Meski masih dibayangi perang dagang AS-China yang meluas ke perang mata uang, ternyata masih ada harapan atas perbaikan hubungan kedua negara.

Dalam wawancara dengan CNBC International hari Rabu (7/8/2019), Penasihat Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan bahwa Trump masih mau untuk melanjutkan dialog dagang. Dia juga menyebut pihaknya masih menantikan kedatangan delegasi China ke Washington pada September nanti.

Walaupun hingga penutupan perdagangan, China masih belum memberi respons atas 'undangan' Kudlow, setidaknya kedua negara sedang berhenti cekcok. Harapan kesepakatan dagang juga masih ada. Kabar baik juga datang dari Negeri Tirai Bambu, kali ini tidak terkait langsung perang dagang.

Pada bulan Juli 2019, ekspor China tumbuh 3,3% YoY. Jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi alias turun 1,3%. Angka 3,3% juga lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu kontraksi 2%.

Impor juga hanya turun 5,6% YoY yang mana lebih kecil konsensus yang sebesar 8,3%. Alhasil, neraca dagang China pada Juli membukukan surplus sebesar US$ 45 miliar yang juga lebih besar dibanding konsensus sebesar US$ 40 miliar.

Kinerja perdagangan yang membaik menandakan ekonomi China masih tetap bergairah. Meskipun masih tak bisa mengelak dari perlambatan ekonomi, ada peluang besar China tidak mengalami hard landing.



Selain itu, pasar keuangan di Benua Kuning juga masih mendapat angin segar dari penurunan suku bunga acuan bank sentral di sejumlah negara.

Rabu (7/8/2019), Bank Sentral India (Reserve Bank of India/RBI) menurunkan suku bunga acuan 35 bps ke 5,4%. Lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu penurunan 25 bps.

Kemudian Bank Sentral Thailand (BoT) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1,5%. Ini di luar ekspektasi, karena pelaku pasar memperkirakan suku bunga dipertahankan di 1,75%. Penurunan ini menjadi yang pertama sejak 2015.

Bank Sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New Zealand/RBNZ) secara mengejutkan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) rekor terendah 1%. Pelaku pasar sebelumnya memprediksi RBNZ hanya akan memangkas 25 bps.

Terbaru, pada Kamis (8/8/2019) Bank Sentral Filipina (Banko Sentral ng Pilipinas/BSP) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4,25%, sesuai ekspektasi pasar.



Rangkaian aksi penurunan suku bunga, terutama di kawasan Asia dan negara berkembang membuat investor semakin yakin bahwa dampak perang dagang dan perlambatan ekonomi global tidak akan separah yang sebelumnya diperkirakan.

Pasalnya kebijakan pelonggaran moneter dapat menjadi instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi.

Setidaknya jika terjadi hal mengerikan di AS, Asia bisa bertahan.

Namun sayang, ada sentimen negatif dari dalam negeri yang sedikit membatasi penguatan asar modal Indonesia.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel terkontraksi alias turun 1,8% year-on-year (YoY) pada Juni. Ini adalah laju terendah sejak Juli 2017 atau nyaris dua tahun. Pada Juli, BI memperkirakan penjualan ritel kembali naik dengan pertumbuhan 2,3% YoY.

Walau tumbuh, tetapi masih relatif lambat. Investor juga memilih untuk memasang mode wait and see karena masih menantikan rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 yang akan dirilis hari Jumat (9/8/2019).

Investor akan sangat mencermati data ini, terutama di pos transaksi berjalan (current account). BI memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal II-2019 lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari pos ini dipandang berdimensi jangka panjang (sustainable) sehingga lebih bisa diandalkan sebagai fondasi nilai tukar mata uang. Ketika transaksi berjalan defisit, apalagi semakin parah, maka mata uang akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.

Ini membuat mata uang lebih rentan berfluktuasi, tidak stabil. Indonesia sudah tidak pernah merasakan surplus transaksi berjalan sejak 2011. Defisit transaksi berjalan terus menjadi 'hantu' yang membayangi perekonomian nasional, membuat rupiah dalam posisi rawan.

Wajar ketika investor cemas menantikan data NPI. Data tersebut, terutama pos transaksi berjalan, akan menentukan nasib rupiah. Nasib nilai tukar rupiah juga akan membuat investor enggan masuk ke pasar saham dan obligasi karena rentan terkoreksi.

BERLANJUT KE HALAMAN 3>>> Seperti halnya di Asia, bursa saham Amerika Serikat (AS) pun mengalami hari baik kemarin. Tiga indeks utama Wall Street ditutup melesat lebih dari 1%.

Pada akhir sesi perdagangan Kamis (8/8/2019), Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,4%, S&P 500 lompat 1,9%, sementara Nasdaq Composite meroket 2,2%.

Pelaku pasar mulai kembali berani untuk masuk ke aset-aset berisiko akibat berkurangnya kekhawatiran akan risiko resesi ekonomi sebagai dampak dari perlambatan ekonomi global.

Sebelumnya, pelaku pasar sempat takut akan terjadinya resesi ekonomi AS seiring dengan risiko eskalasi perang dagang AS-China yang kian membuncah. Bahkan perang dagang tersebut berkembang menjadi perang mata uang.

Berkurangnya kekhawatiran pelaku pasar salah satunya disebabkan oleh rilis data neraca dagang China bulan Juli yang cukup gemilang, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.


Kenaikan ekspor China sebesar 3,3% YoY pada bulan Juli jauh mengalahkan ekspektasi pelaku pasar. Konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan ekspor China mengalami kontraksi sebesar 2%.

Selain itu, rilis data tenaga kerja di AS juga membantu meredakan kekhawatiran investor. Pasalnya, untuk minggu yang berakhir pada 3 Agustus 2019, angka klaim tunjangan pengangguran baru (initial claim) turun sebanyak 8.000 menjadi 209.000. Hal ini membuat kejutan di pasar karena konsensus Reuters memprediksi nilainya akan sebesar 215.000 yang mana tidak berubah dari pekan sebelumnya.

Kondisi tersebut menjadi sebuah pertanda bahwa perekonomian dua raksasa ekonomi dunia masih bisa terjaga di tengah meningkatnya risiko ekonomi global seperti sekarang ini. Meskipun perlambatan ekonomi tidak dapat dihindari, setidaknya tidak akan terjadi hard landing.

Berkurangnya kekhawatiran investor juga dapat terlihat dari pergerakan yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun, yang mana kembali meningkat ke level 1,72% setelah sebelumnya sempat jatuh ke bawah level 1,6%.

Di Jerman, obligasi pemerintah tenor 10 tahun juga naik menjadi minus 0,5% dari yang sebelumnya minus 0,6% (rekor terendah).

Di sisi lain, pelaku pasar juga masih yakin bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) masih akan memangkas suku bunga acuan sebanyak 50 bps hingga akhir tahun 2019.


Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan The Fed turun 50 bps hingga akhir tahun mencapai 45,8% naik tipis dari posisi hari Selasa (6/8/2019) yang sebesar 45,6%. Sementara ada pula kemungkinan penurunan suku bunga hingga 75 bps sebesar 36,7% hingga akhir tahun 2019.

Sebagai informasi, hingga akhir tahun, The Fed masih akan melakukan rapat Komite Pengambil Kebijakan (FOMC) sebanyak 3 kali, yaitu di bulan September, Oktober, dan Desember.

BERLAJUT KE HALAMAN 4>>> Untuk perdagangan hari Jumat (9/8/2019), investor patut memantau beberapa sentimen yang berpotensi menentukan arah gerak pasar.

Pertama, Jepang akan mengumumkan pembacaan awal pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 pagi hari ini. Angka pertumbuhan ekonomi Jepang sedikit banyak bisa menggambarkan kondisi perlambatan ekonomi global, terutama untuk negara maju.

Sejauh ini pelaku pasar memperkirakan pertumbuhan ekonomi Jepang tumbuh 0,1% secara kuartalan (QtQ), mengutip Trading Economics. Angka tersebut jauh melambat dari kuartal sebelumnya yang mencapai 0,6 % QtQ.



Jika pada kenyataannya ekonomi Jepang tumbuh lebih lambat daripada perkiraan, maka hal itu akan membawa sentimen negatif bagi pasar keuangan Benua Kuning, termasuk Indonesia. Namun apabila lebih baik dari perkiraan, bisa menjadi angin segar. Jepang merupakan negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia.

Kedua, perkembangan dari nasib hubungan dagang AS-China juga patut terus dipantau. Sebelumnya Penasihat Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan bahwa pihak AS masih menantikan kedatangan delegasi China untuk berunding pada bulan September.

'Undangan' tersebut datang setelah Juru Bicara Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Negeri Panda telah berhenti membeli produk pertanian asal AS, sebagai jawaban atas ancaman Presiden AS, Donald Trump, rencana pengenaan bea impor 10% atas produk China senilai US$ 300 miliar.

Hingga saat ini masih belum ada respon dari pemerintah China terkait 'undangan' dari AS. Bila nanti ada komentar positif yang datang dari China, maka investor akan bersuka cita karena harapan damai dagang kembali meningkat.


Ketiga
, harga minyak mentah dunia melonjak lebih dari 2%. Pada pukul 05:00 WIB, harga Brent kontrak pengiriman Oktober naik 2,05% ke level US$ 57,38/barel. Sementara harga light sweet (West Texas Intermediate/WTI) meroket 2,84% ke level US$ 52,71/barel.
Lonjakan harga minyak disebabkan oleh adanya sinyal pemangkasan produksi lebih lanjut oleh Arab Saudi dan sekutunya.

Kenaikan harga minyak bisa menjadi beban pada nilai tukar rupiah. Pasalnya semakin mahal harga minyak, maka akan semakin besar pula tekanan pada neraca transaksi berjalan Indonesia. Indonesia saat ini masih menjadi negara net-importir minyak.

BERLANJUT KE HALAMAN 5>>> Dari dalam negeri, sentimen keempat boleh jadi menjadi hal yang paling berpengaruh pada pergerakan di pasar modal dalam negeri.

Bank Indonesia (BI) dijadwalkan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019. Dalam data tersebut ada satu pos yang paling dinantika oleh pelaku pasar.

Namanya adalah Transaksi Berjalan (current account).


Transaksi berjalan sendiri merupakan catatan atas aliran devisa yang hilir mudik dari Indonesia melalui sektor riil. Aliran dana tersebut cenderung bertahan lama, karena diperlukan waktu untuk transaksi pada sektor riil. Istilahnya , barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.

Transaksi berjalan juga berbeda dengan pos lain pada NPI, yaitu transaksi finansial yang mana separuhnya disumbang oleh transaksi pada portofolio (saham dan obligasi).Pada pada portofolio, transaksi sangat mudah dilakukan. Investor asing dapat dengan mudah menarik modal dari dalam negeri, bahkan dalam hitungan detik. Karena itulah transaksi finansial biasa disebut sebagai hot money. Bisa cepat masuk, bisa juga cepat keluar.

Sayangnya, sepanjang kuartal I-2019, BI mencatat nilai defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) senilai US$ 6,97 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB. CAD pada tiga bulan pertama tahun ini jauh lebih dalam ketimbang CAD pada tiga bulan pertama tahun 2018 yang senilai US$ 5,2 miliar atau 2,01% dari PDB.

Kala CAD pada kuartal-I saja sudah jauh lebih dalam, ada kemungkinan yang besar bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018. Terlebih jika ternyata CAD kuartal II-2019 yang akan dibacakan BI nanti juga lebih dalam daripada CAD kuartal II-2018.

Gejala pembengkakan CAD kuartal II-2019 pun juga sudah ada. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang (ekspor-impor) Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 1,87 miliar pada kuartal II-2019. Defisit tersebut lebih dalam ketimbang kuartal II-2018 yang sebesar US$ 1,45 miliar.

Bila transaksi barang (yang tercermin dari neraca dagang) sudah mengalami defisit yang lebih lebar, tentu tekanan pada transaksi berjalan lebih besar.


Bahaya pembengkakan CAD adalah nilai tukar rupiah yang jadi rentan terdepresiasi. Rupiah jadi seakan kurang energi akibat kekurangan pasokan valas di dalam negeri.

Nah, yang bikin dag-dig-dug adalah BI tidak mengumumkan waktu pasti pembacaan data NPI tersebut. Bisa jadi data tersebut diumumkan BI secara sekonyong-konyong di tengah sesi perdagangan. Namun pernah ada juga kasus dimana BI mengumumkan data NPI melalui konferensi pers setelah sesi perdagangan usai.

Maka dari itu, investor harus waspada hari ini, karena boleh jadi penampakan ‘hantu’ CAD datang secara tiba-tiba. Terus memantau berita dalam negeri bisa menjadi langkah yang bijak.

BERLANJUT KE HALAMAN 6>>> Berikut beberapa peristiwa yang akan terjadi pada hari ini

  • Rilis data pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal II-2019 (06:50 WIB)
  • Rilis data tingkat inflasi China periode (08:30 WIB)
  • Rilis data Indeks Harga Produsen China periode Juli (08:30 WIB)
  • Rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 (tentatif)
  • Rilis Indeks Harga Produsen AS periode Juli (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q2-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,32%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini. 

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Menanti Keputusan Suku Bunga BI, Pasar Rawan Terguncang?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular