
Waspada! Poundsterling Bisa Amblas Sewaktu-waktu
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 August 2019 19:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Poundsterling memang sedang menguat walaupun tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (8/8/19). Namun, sewaktu-waktu mata uang Inggris ini bisa kembali jeblok.
Penguatan poundsterling pada hari ini akibat kinerja dolar yang sedang buruk akibat perang dagang AS-China yang diperparah dengan kemungkinan terjadinya perang mata uang.
Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) awal pekan lalu mendepresiasi nilai tukar yuan hingga ke level terlemah lebih dari satu dekade terakhir, dan secara konsisten melakukannya hingga hari ini.
Hal tersebut dilakukan sebagai balasan dari kebijakan Presiden Donald Trump yang akan menaikkan bea impor sebesar 10% terhadap produk China. Total produk yang dikenai pajak sebesar US$ 300 miliar, dan mulai berlaku pada bulan September.
Selain mendepresiasi nilai tukar yuan, China juga membatalkan pembelian produk-produk pertanian AS. Perekonomian AS pun semakin terancam, dan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali diprediksi akan memangkas suku bunga secara agresif di tahun ini.
The Fed diprediksi setidaknya akan memangkas suku bunga dua kali lagi, bahkan ada kemungkinan tiga kali, sehingga total di tahun ini terjadi empat kali pemangkasan. Hal tersebut membuat dolar AS tertekan, dan poundsterling bisa bernafas panjang
Namun, nafas poundsterling bisa kembali tersendat-sendat melihat potensi no-deal Brexit yang semakin kuat. No-deal Brexit merupakan peristiwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, dan dikhawatirkan akan memicu resesi di Inggris.
Kemungkinan terjadinya no-deal Brexit semakin menguat di pekan ini setelah Uni Eropa mengatakan pemerintah Inggris di bawah Perdana Menteri (PM) Boris Johnson tidak memiliki rencana atau proposal baru untuk ditawarkan ke Uni Eropa.
Selain itu, hasil survei Reuters terhadap para ekonom pada periode 2-7 Agustus lalu menunjukkan potensi terjadinya no-deal Brexit sebesar 35%, naik dibandingkan survei yang dilakukan bulan Juli lalu sebesar 30%.
PM Johnson sebelumnya selalu menegaskan akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober nanti dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan (no-deal).
Jika benar hal tersebut terjadi, atau indikasi kuat mengarah kesitu, poundsterling amblas lagi. Pergerakan pounsterling dipekan ini bisa menjadi indikasi ke arah tersebut, ketika mata uang utama lainnya terus menguat melawan dolar AS, poundsterling cenderung "gitu-gitu aja".
Poundsterling bahkan diprediksi akan mencapai level paritas (1 poundsterling = 1 dolar AS) jika terjadi no-deal Brexit.
Morgan Stanley menjadi bank yang memprediksi pound akan mencapai level paritas tersebut. Skenario kurs poundsterling mencapai US$1 sampai US$1,1 dikatakan akan terjadi seandainya Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan alias no-deal Brexit. Morgan Stanley melihat peluang terjadinya hal tersebut semakin menguat, melansir Bloomberg.com.
Tidak hanya itu, HSBC juga memprediksi hal yang sama yakni poundsterling kemungkinan mencapai level terendah sepanjang masa US$ 1,0545 yang disentuh pada Maret 1985, melansir Reuters.com.
Halaman Selanjutnya >>>
Penguatan poundsterling pada hari ini akibat kinerja dolar yang sedang buruk akibat perang dagang AS-China yang diperparah dengan kemungkinan terjadinya perang mata uang.
Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) awal pekan lalu mendepresiasi nilai tukar yuan hingga ke level terlemah lebih dari satu dekade terakhir, dan secara konsisten melakukannya hingga hari ini.
Selain mendepresiasi nilai tukar yuan, China juga membatalkan pembelian produk-produk pertanian AS. Perekonomian AS pun semakin terancam, dan Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali diprediksi akan memangkas suku bunga secara agresif di tahun ini.
The Fed diprediksi setidaknya akan memangkas suku bunga dua kali lagi, bahkan ada kemungkinan tiga kali, sehingga total di tahun ini terjadi empat kali pemangkasan. Hal tersebut membuat dolar AS tertekan, dan poundsterling bisa bernafas panjang
Namun, nafas poundsterling bisa kembali tersendat-sendat melihat potensi no-deal Brexit yang semakin kuat. No-deal Brexit merupakan peristiwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, dan dikhawatirkan akan memicu resesi di Inggris.
Kemungkinan terjadinya no-deal Brexit semakin menguat di pekan ini setelah Uni Eropa mengatakan pemerintah Inggris di bawah Perdana Menteri (PM) Boris Johnson tidak memiliki rencana atau proposal baru untuk ditawarkan ke Uni Eropa.
Selain itu, hasil survei Reuters terhadap para ekonom pada periode 2-7 Agustus lalu menunjukkan potensi terjadinya no-deal Brexit sebesar 35%, naik dibandingkan survei yang dilakukan bulan Juli lalu sebesar 30%.
PM Johnson sebelumnya selalu menegaskan akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober nanti dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan (no-deal).
Jika benar hal tersebut terjadi, atau indikasi kuat mengarah kesitu, poundsterling amblas lagi. Pergerakan pounsterling dipekan ini bisa menjadi indikasi ke arah tersebut, ketika mata uang utama lainnya terus menguat melawan dolar AS, poundsterling cenderung "gitu-gitu aja".
Poundsterling bahkan diprediksi akan mencapai level paritas (1 poundsterling = 1 dolar AS) jika terjadi no-deal Brexit.
Morgan Stanley menjadi bank yang memprediksi pound akan mencapai level paritas tersebut. Skenario kurs poundsterling mencapai US$1 sampai US$1,1 dikatakan akan terjadi seandainya Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan alias no-deal Brexit. Morgan Stanley melihat peluang terjadinya hal tersebut semakin menguat, melansir Bloomberg.com.
Tidak hanya itu, HSBC juga memprediksi hal yang sama yakni poundsterling kemungkinan mencapai level terendah sepanjang masa US$ 1,0545 yang disentuh pada Maret 1985, melansir Reuters.com.
Halaman Selanjutnya >>>
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular