
Analisis Teknikal
Sudah Rekor Terus, Harga Emas Masih Bisa Naik Lagi Lho
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 August 2019 14:38

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga spot emas global melesat naik pada perdagangan kemarin, hingga menembus di atas US$ 1.500/troy ounce. Kecemasan akan perang dagang plus perang mata uang menjadi penopang utama penguatan logam mulia.
Kombinasi perang dagang dan perang mata uang bahkan dikatakan dapat memicu resesi seperti Great Depression yang melanda AS di tahun 1930an. Adalah profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, yang mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, perdagangan global hampir berhenti total," kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Kini muncul adanya harapan damai dagang setelah AS menunjukkan niat naik untuk bernegosiasi kembali. Kemarin, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menyatakan AS siap menerima delegasi China untuk dialog dagang di Washington pada awal September. Tidak hanya itu, AS juga mempertimbangkan untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog membuahkan hasil positif.
Namun China belum merespon niat baik AS, bahkan hari ini malah kembali melemahkan nilai tukar yuan. Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) hari ini akhirnya menetapkan nilai tengah yuan di atas CNY 7/US$ tepatnya di 7,0039/US$. Sejak awal pekan, PBoC terus mendepresiasi nilai tukar yuan yang memicu kecemasan akan terjadinya perang mata uang.
Perang dagang AS-China sudah memicu pelambatan ekonomi global, perang mata uang menambah ketidakpastian lagi. Hal ini membuat beberapa bank sentral mulai melonggarkan kebijakan moneter guna memberikan stimulus ke perekonomian.
Kemarin ada tiga bank sentral yang memangkas suku bunga, yakni Bank Sentral Selandia Baru, India dan Thailand. Semua bank sentral tersebut memangkas suku bunga lebih besar dari prediksi, Bank Sentral Selandia Baru memangkas 50 basis poin (bps), India 35 bps, dan Thailand 25 bps.
Suku bunga Bank Sentral Selandia Baru kini berada di rekor terendah 1%, membuka peluang pemangkasan kembali, bahkan akan mengambil kebijakan moneter yang tidak biasa (unconventional). Sebelumnya negara tetangganya Australia sudah memangkas suku bunga dua bulan beruntun juga ke rekor terendah 1%.
Kebijakan bank sentral itu menunjukkan jika ekonomi global sedang mengalami pelambatan yang serius. Akibatnya Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali diprediksi akan agresif memangkas suku bunga di tahun ini.
Data dari piranti FedWatch milik CME Group siang ini menunjukkan probabilitas suku bunga turun 25 basis poin (bps) ke 1,75%-2% pada September mencapai 76,5%. Sementara kemungkinan penurunan 50 bps ke 1,5%-1,75% adalah 23,5%.
Hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi emas. Logam mulia merupakan aset tanpa imbal hasil, sehingga semakin rendah suku bunga di AS dan secara global akan memberikan keuntungan yang lebih besar dalam memegang aset ini.
Selain itu penurunan suku bunga yang agresif oleh The Fed tentunya membuat dolar AS melemah. Kala mata uang Paman Sam Loyo, permintaan emas tentunya bisa meningkat. Emas yang dibanderol dengan dolar AS, jika mata uang ini melemah maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Semua kondisi tersebut terlihat mendukung berlanjutnya kenaikan harga emas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kombinasi perang dagang dan perang mata uang bahkan dikatakan dapat memicu resesi seperti Great Depression yang melanda AS di tahun 1930an. Adalah profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, yang mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, perdagangan global hampir berhenti total," kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
Kini muncul adanya harapan damai dagang setelah AS menunjukkan niat naik untuk bernegosiasi kembali. Kemarin, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menyatakan AS siap menerima delegasi China untuk dialog dagang di Washington pada awal September. Tidak hanya itu, AS juga mempertimbangkan untuk mengkaji ulang kebijakan bea masuk jika dialog membuahkan hasil positif.
Namun China belum merespon niat baik AS, bahkan hari ini malah kembali melemahkan nilai tukar yuan. Bank Sentral China (People's Bank of China/PBoC) hari ini akhirnya menetapkan nilai tengah yuan di atas CNY 7/US$ tepatnya di 7,0039/US$. Sejak awal pekan, PBoC terus mendepresiasi nilai tukar yuan yang memicu kecemasan akan terjadinya perang mata uang.
Perang dagang AS-China sudah memicu pelambatan ekonomi global, perang mata uang menambah ketidakpastian lagi. Hal ini membuat beberapa bank sentral mulai melonggarkan kebijakan moneter guna memberikan stimulus ke perekonomian.
Kemarin ada tiga bank sentral yang memangkas suku bunga, yakni Bank Sentral Selandia Baru, India dan Thailand. Semua bank sentral tersebut memangkas suku bunga lebih besar dari prediksi, Bank Sentral Selandia Baru memangkas 50 basis poin (bps), India 35 bps, dan Thailand 25 bps.
Suku bunga Bank Sentral Selandia Baru kini berada di rekor terendah 1%, membuka peluang pemangkasan kembali, bahkan akan mengambil kebijakan moneter yang tidak biasa (unconventional). Sebelumnya negara tetangganya Australia sudah memangkas suku bunga dua bulan beruntun juga ke rekor terendah 1%.
Kebijakan bank sentral itu menunjukkan jika ekonomi global sedang mengalami pelambatan yang serius. Akibatnya Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali diprediksi akan agresif memangkas suku bunga di tahun ini.
Data dari piranti FedWatch milik CME Group siang ini menunjukkan probabilitas suku bunga turun 25 basis poin (bps) ke 1,75%-2% pada September mencapai 76,5%. Sementara kemungkinan penurunan 50 bps ke 1,5%-1,75% adalah 23,5%.
Hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi emas. Logam mulia merupakan aset tanpa imbal hasil, sehingga semakin rendah suku bunga di AS dan secara global akan memberikan keuntungan yang lebih besar dalam memegang aset ini.
Selain itu penurunan suku bunga yang agresif oleh The Fed tentunya membuat dolar AS melemah. Kala mata uang Paman Sam Loyo, permintaan emas tentunya bisa meningkat. Emas yang dibanderol dengan dolar AS, jika mata uang ini melemah maka harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Semua kondisi tersebut terlihat mendukung berlanjutnya kenaikan harga emas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular