Newsletter

Semua Jadi Repot Gara-gara Trump!

Yazid Muamar, CNBC Indonesia
02 August 2019 06:45
Semua Jadi Repot Gara-gara Trump!
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Kamis (01/08/2019) kemarin rata-rata mengalami tekanan. Pasar saham melemah, rupiah melemah, dan yield obligasi Pemerintah rata-rata terkoreksi.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup dengan koreksi 0,14% ke level 6.381,5. Pergerakan IHSG seirama dengan bursa utama kawasan Asia yang cenderung tertekan, seperti: Hang Seng turun 0,76%, Shanghai Composite minus 0,81%, Nikkei 225 plus 0,09%, Kospi negatif 0,35%, dan Strait Times tergerus 0,27%.

Sementara rupiah juga tak luput dari koreksi atas dolar Amerika Serikat (AS). Kemarin rupiah di pasar spot akhirnya ditutup dengan pelemahan 0,7% ke level Rp 14.110/$AS.

Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) sebagian besar mengalami kenaikan yield yang menandakan harga obligasi sedang dilepas para pelaku pasar. Ada empat seri yang biasanya menjadi acuan para pelaku pasar, yakni: FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
SeriJatuh tempoYield 1 Agu'19 (%)Selisih (basis poin)
FR00775 tahun6,92411
FR007810 tahun7,48010,2
FR006815 tahun7,73010
FR007920 tahun7,9347,2
Avg movement9,6
Sumber: Refinitiv

Tekanan terhadap pasar keuangan dalam negeri tersebut tidak luput dari faktor global. Terutama pergerakan rupiah yang cukup tertekan dan berada pada posisi terlemah sejak 10 Juli akibat rapat komite pengambil kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed), Federal open Market Committee/FOMC.

Jerome 'Jay' Powell selaku pemimpin rapat memang memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan ke level 2%-2,25% atau turun sebanyak 25 basis poin (bps), menjadikan penurunan pertama sejak akhir 2008 atau lebih dari satu dasawarsa. Namun keputusan tersebut disertai komentar yang membuat membuat investor sedikit panik.

"Saya perjelas. Ini bukan awal dari rangkaian panjang penurunan suku bunga," tegasnya, seperti dikutip dari Reuters.

Selepas pernyataan itu, Powell kemudian mengatakan hal yang agak berkebalikan. "Saya tidak bilang hanya akan ada sekali penurunan suku bunga," ujarnya.

Apa boleh buat, pelaku pasar terlanjur berpersepsi bahwa The Fed tidak terlampau kalem alias dovish. Sisa-sisa hawkish dari tahun lalu sepertinya masih ada dalam diri Powell.

Sentimen lainnya yakni dari pertemuan para pejabat AS yang bertandang ke China dianggap masih kurang "nendang" hasilnya sehingga dampaknya cenderung negatif ke pasar keuangan karena di sela-sela rapat dihujani sindiran-sindiran dari Presiden Trump yang menuduh China menunggu melanjutkan diskusi perang dagang hingga Pemilu yang akan digelar pada November 2020.

"Masalah dengan mereka menunggu ... adalah bahwa jika dan ketika saya menang, kesepakatan yang mereka dapatkan akan jauh lebih sulit daripada apa yang kita negosiasikan sekarang ... atau tidak ada kesepakatan sama sekali," kata Trump dalam sebuah postingannya di Twitter.

Next >>>
Dari bursa saham AS atau Wall Street, tiga indeks utama pagi tadi terpangkas dari level sebelumnya. Indeks S&P 500 anjlok 0,9%, indeks Nasdaq Composite terperosok 0,79%, dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 1,05%.

Setelah tiga indeks utama dibuka menguat, pelaku pasar ramai-ramai melepas saham koleksinya setelah Presiden AS Donald Trump kembali menyorot hubungan negaranya dengan China dalam kicauanya. Trump berujar bahwa ia akan mengenakan tarif 10% tambahan pada barang impor asal China senilai US$ 300 miliar.

Hal ini membuat indeks CBOE atau VIX yang digunakan sebagai volatilitas ukuran kecemasan para investor melesat ke level tertinggi sejak 4 Juni. Dari 11 sektor utama dalam indeks S&P 500, delapan diantaranya ditutup negatif, dengan sektor keuangan, energi, dan industri yang sensitif terhadap perdagangan (trade).

Apalagi hasil dari rilis data dari Institute for Supply Management (ISM), mengatakan bahwa sektor manufaktur AS pada bulan Juli menjadi yang paling lambat dalam hampir tiga tahun. Kemarin ISM merilis data Purchasing Manager Index (PMI) yang berada di level 51,2 atau menjadi level terendah dalam tiga tahun terakhir.



Dari perkembangan laporan keuangan emiten-emiten AS pada kuartal kedua sebanyak 355 perusahaan anggota konstituen S&P 500 telah melaporkan pendapatannya. Sebanyak 74,4% telah melampaui estimasi para pelaku pasar, mengacu pada data yang dihimpun Refinitiv. Analis sekarang melihat pertumbuhan pendapatan sebesar 2,5% pada indeks S&P 500, semakin naik dari hanya 0,3% dari perkiraan sebulan lalu.

Sebelum tertekan, sempat terjadi euforia di Wall Street karena didorong hasil dari laporan keuangan perusahaan yang mencatatkan laba positif, termasuk General Motors Co GM.N, Kellogg Co KN, Verizon Communications Inc VZ.N dan Yum Brands Inc YUM.N, dan lainnya.

Truk pick-up dan SUV menjadi pendorong laba kuartal kedua General Motors, tetapi saham pembuat mobil tersebut berubah negatif setelah tweet dari Paman Trump, sehingga harus ditutup terkoreksi 0,5%.

Sementara itu, saham Kellogg melonjak 9,3% karena permintaan produk dari Amerika Utara yang meningkat. Saham Yum Brands Inc melonjak 3,9% setelah ekspektasi penjualan dan pertumbuhan yang lebih baik dari perkiraan terhadap semua jaringan restorannya, termasuk Taco Bell dan Pizza Hut.

Next >>> Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati beberapa sentimen berikut. Pertama tentu bursa-bursa Wall Street yang melemah akibat nada ancaman trump kepada China. Dikhawatirkan pelemahan Wall Street akan merebak ke kawasan lainnya termasuk Asia.

Sentimen kedua adalah pelemahan dolar AS, aksi profit taking pada dolar AS akan membuat rupiah akan kembali berjaya hari ini. Pada pukul 05:48 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,15% pada level 98,36.

Sentimen ketiga yaitu anjloknya harga minyak minyak mentah (crude oil) pada perdagangan di pasar spot. Pada pukul 05:49 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 7,25% dan 6,38.

Harga minyak tersungkur lantaran ancaman Trump kepada China yang akan mengenakan 10% tambahan tarif pada barang import asal tiongkok senilai US$ 300 miliar. Hal ini dianggap akan menghambat perekonomian dan menurunkan permintaan "demand" akan minyak.

Bagi rupiah, koreksi harga minyak menjadi sebuah berkah. Pasalnya Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Saat harga minyak turun, maka biaya importasinya menjadi lebih murah. Beban di neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan lebih ringan, sehingga rupiah punya fondasi kuat untuk terapresiasi.

Berikut pergerakan minyak mentah jenis brent yang menjadi acuan Pemerintah Indonesia:



Sentimen keempat yaitu pengumuman data inflasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemarin BPS merilis data inflasi periode Juli 2019. Inflasi bulanan (month-on-month/MoM) sebesar 0,31%. Sementara, inflasi tahunan atau year-on-year (YoY) adalah 3,32% dan inflasi inti YoY di 3,18%.

Angka-angka tersebut sedikit lebih tinggi ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Juli secara bulanan berada di 0,25%. Sementara inflasi tahunan diperkirakan sebesar 3,25% dan inflasi inti YoY 3,175%.

Adakalanya kenaikan inflasi di kala perekonomian cenderung lesu ada baiknya. Hal itu menandakan kenaikan daya beli masyarakat Indonesia. Karena itu indeks sektor konsumer konsumer pada perdagangan hari ini di bursa bisa saja menghijau.

Sentimen kelima yaitu aksi jual asing (net sell), kondisi global khususnya yang berasal dari hubungan geopolitik antara AS dengan China berpotensi membuat investor sejenak melepas saham-sahamnya sehingga berpotensi menekan indeks saham secara keseluruhan.

Next >>> Berikut adalah rilis data yang akan terjadi hari ini:
  •          Rilis data penjualan ritel Australia periode Juni (08:30 WIB).
  •          Rilis data PMI konstruksi Inggris periode Juli (15:30 WIB).
  •          Rilis data pengangguran AS periode Juli (19:30 WIB).
  •          Rilis Non Farm Payrolls (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juni 2019)US$ 123,8 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular