
Newsletter
The Moment of Truth, Benarkah Suku Bunga Acuan BI Turun?
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
18 July 2019 06:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak melemah pada penutupan perdagangan kemarin (17/7/2019). Pasalnya, baik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, maupun harga obligasi pemerintah semuanya bergerak ke selatan dengan finis di zona merah
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup melemah 011% ke level 6.394,61. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,32%, di mana US$ 1 dibanderol Rp 13.975 kala penutupan pasar spot.
Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik tipis 1,2 basis poin (bps) ke 7.116%. Penguatan yield menandakan harga obligasi sedang turun karena rendahnya permintaan.
Pasar keuangan Tanah Air diserbu oleh sentimen negatif baik dari eksternal maupun domestik.
Pelaku pasar global kembali khawatir akan perkembangan negosiasi dagang antara AS dan China. Pasalnya, dalam sidang kabinet di Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa perundingan dagang antara Washington dan Beijing masih jauh dari kata sepakat alias "a long way to go" sebagaimana dikutip dari CNBC International.
Trump bahkan mengingatkan Negeri Paman Sam masih dapat mengenakan tarif bea masuk tambahan atas produk impor asal China senilai US$ 325 miliar, jika tidak ada kata sepakat dengan Negeri Tirai Bambu.
"China juga semestinya membeli lebih banyak produk pertanian AS. Kita lihat saja," ujar Trump, seperti diwartakan Reuters.
Perkembangan ini sungguh kejutan bagi investor karena sebelumnya Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyampaikan pada Senin (15/7/2019) waktu setempat bahwa negosiasi tatap muka dengan perwakilan dagang China mungkin terjadi.
"Kami berencana menggelar perbincangan tingkat tinggi melalui sambungan telepon pada pekan ini dan jika kami membuat kemajuan yang signifikan, saya rasa ada peluang yang besar bahwa nantinya kami (Mnuchin & Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer) akan bertandang ke sana," kata Mnuchin seperti dikutip dari Bloomberg.
Alhasil, wajar saja kita perkembangan terbaru dari hubungan dagang dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut membuat pelaku pasar ketar-ketir. Dampaknya, instrumen beresiko kembali ditinggalkan karena investor kembali memilih mode wait and see.
Di lain pihak, sentimen domestik tidak kalah mencemaskan dengan sentimen global.
Besok, hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) akan dirilis. Pelaku pasar harap-harap cemas, apakah Gubernur BI Perry Warjiyo dan Kolega akan mengeluarkan hasil sesuai ekspektasi pasar, yaitu menurunkan suku bunga acuan atau BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI Repo Rate).
Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia hampir menyentuh suara bulat bahwa RDG edisi Juli akan berujung pada penurunan BI Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Dari 14 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang memperkirakan suku bunga acuan masih bertahan di 6%.
Beberapa analis menyampaikan bahwa dengan data neraca perdagangan yang surplus dalam dua bulan terakhir setidaknya membuat tekanan di transaksi berjalan mereda. BI dapat lebih nyaman untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Sebelumnya, alasan BI mengapa belum memangkas BI Repo Rate pada pertemuan RDG terakhir karena pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar global dan neraca pembayaran Indonesia.
"...sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga," kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Dikarenakan sering mendapat harapan palsu dari BI, pelaku pasar tampak memilih bermain aman dengan mundur perlahan dari aset-aset beresiko.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Pada perdagangan kemarin, IHSG ditutup melemah 011% ke level 6.394,61. Sedangkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,32%, di mana US$ 1 dibanderol Rp 13.975 kala penutupan pasar spot.
Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik tipis 1,2 basis poin (bps) ke 7.116%. Penguatan yield menandakan harga obligasi sedang turun karena rendahnya permintaan.
Pasar keuangan Tanah Air diserbu oleh sentimen negatif baik dari eksternal maupun domestik.
Pelaku pasar global kembali khawatir akan perkembangan negosiasi dagang antara AS dan China. Pasalnya, dalam sidang kabinet di Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa perundingan dagang antara Washington dan Beijing masih jauh dari kata sepakat alias "a long way to go" sebagaimana dikutip dari CNBC International.
Trump bahkan mengingatkan Negeri Paman Sam masih dapat mengenakan tarif bea masuk tambahan atas produk impor asal China senilai US$ 325 miliar, jika tidak ada kata sepakat dengan Negeri Tirai Bambu.
"China juga semestinya membeli lebih banyak produk pertanian AS. Kita lihat saja," ujar Trump, seperti diwartakan Reuters.
Perkembangan ini sungguh kejutan bagi investor karena sebelumnya Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyampaikan pada Senin (15/7/2019) waktu setempat bahwa negosiasi tatap muka dengan perwakilan dagang China mungkin terjadi.
"Kami berencana menggelar perbincangan tingkat tinggi melalui sambungan telepon pada pekan ini dan jika kami membuat kemajuan yang signifikan, saya rasa ada peluang yang besar bahwa nantinya kami (Mnuchin & Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer) akan bertandang ke sana," kata Mnuchin seperti dikutip dari Bloomberg.
Alhasil, wajar saja kita perkembangan terbaru dari hubungan dagang dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut membuat pelaku pasar ketar-ketir. Dampaknya, instrumen beresiko kembali ditinggalkan karena investor kembali memilih mode wait and see.
Di lain pihak, sentimen domestik tidak kalah mencemaskan dengan sentimen global.
Besok, hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) akan dirilis. Pelaku pasar harap-harap cemas, apakah Gubernur BI Perry Warjiyo dan Kolega akan mengeluarkan hasil sesuai ekspektasi pasar, yaitu menurunkan suku bunga acuan atau BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI Repo Rate).
Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia hampir menyentuh suara bulat bahwa RDG edisi Juli akan berujung pada penurunan BI Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Dari 14 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya dua yang memperkirakan suku bunga acuan masih bertahan di 6%.
Beberapa analis menyampaikan bahwa dengan data neraca perdagangan yang surplus dalam dua bulan terakhir setidaknya membuat tekanan di transaksi berjalan mereda. BI dapat lebih nyaman untuk melonggarkan kebijakan moneter.
Sebelumnya, alasan BI mengapa belum memangkas BI Repo Rate pada pertemuan RDG terakhir karena pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar global dan neraca pembayaran Indonesia.
"...sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga," kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Dikarenakan sering mendapat harapan palsu dari BI, pelaku pasar tampak memilih bermain aman dengan mundur perlahan dari aset-aset beresiko.
(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular