Newsletter

Khasiat Powell Segera Kedaluwarsa, Saatnya Pantau Arah BI

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
15 July 2019 06:24
Khasiat Powell Segera Kedaluwarsa, Saatnya Pantau Arah BI
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan pekan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung stagnan, sementara nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah menguat.

Sepanjang pekan lalu, IHSG bergerak nyaris stagnan dengan melemah 0,002%, dari level 6.373,48 menjadi 6.373.35. Namun, meski bergerak stabil, bursa saham utama Tanah Air masih menjadi jawara di Asia pada pekan lalu.

Pasalnya, Nikkei dan Strait Times sepekan kemarin sama-sama melemah 0,28%, indeks Kospi turun 0,6%, sementara Hang Seng dan Shanghai masing-masing merosot 2,67% dan 1,05%.

Sementara itu, berbeda dengan IHSG, rupiah menorehkan performa yang sangat memuaskan, terutama pada perdagangan akhir pekan, Jumat (12/7/2019).

Pekan lalu, rupiah menguat 0,58% terhadap dolar AS dengan menutup perdagangan hari terakhirnya di level Rp 13.999/US$ yang menjadi titik terkuat sejak 26 Februari 2019.

Dengan kinerja yang demikian apik, rupiah tidak hanya unggul di Benua Kuning tapi juga di Benua Biru. Secara mingguan, euro dan poundsterling masing-masing melemah 0,17% di hadapan rupiah. Rupiah berada di posisi terkuat sejak 24 April terhadap euro. Sementara terhadap poundsterling, rupiah lebih mantap lagi yaitu terkuat sejak 13 September 2017.

Kemudian, selama pekan lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 1,4 basis poin (bps) ke 7,203% yang merupakan level terendah sejak 6 Juni 2018. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.

Situasi eksternal yang sangat kondusif pekan lalu, berhasil mendongkrak kinerja pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Terlebih lagi setelah hawa penurunan suku bunga global semakin jelas terkonfirmasi.



Sejatinya pekan lalu, mata dan telinga pelaku pasar global mengarah ke Gubernur Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) Jerome Powell.

Pada Rabu (10/7/2019)) dan Kamis (11/7/2019), Powell menyampaikan testimoni terkait kebijakan moneter semi tahunan AS berturut-turut di hadapan Komite Jasa Perbankan DPR dan Komite Perbankan Senat terkait gambaran proyeksi terkini.

Di hari pertama, penerus Janet Yellen itu, sudah mengeluarkan nada yang cukup pesimistis yang terlihat dari kata ketidakpastian (uncertainty) yang mencapai 26 kali pada paparan perdananya.

Powell mengakui data ekonomi terbaru AS berupa penciptaan lapangan kerja memang positif. Namun, data ekonomi lain di dunia tergolong mengecewakan.

"Itu terlihat di seluruh Eropa dan di Asia dan itu terus membebani. Manufaktur, perdagangan, dan investasi lemah. Kami telah sepakat untuk memulai lagi negosiasi dagang dengan China dan itu adalah langkah konstruktif. Tapi itu tidak menghilangkan ketidakpastian," ujar Powell dilansir Reuters.

Kemudian di hari kedua Powell dengan cukup gambling menyatakan The Fed serius mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga acuan.

"Saya rasa kolega-kolega di FOMC (Federal Open Market Committee, komite pengambil kebijakan The Fed) sampai pada pandangan bahwa sudah cukup layak untuk menerapkan kebijakan moneter yang lebih akomodatif," dikutip dari Reuters.

Kata-kata sakti Powel dalam dua hari paparan tersebut jelas mengindikasikan Bank Sentral paling kuat di dunia tersebut siap menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat.

Sikap dovish Powell tersebut juga terkonfirmasi oleh rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed yang berlangsung 20 Juni lalu. Notula yang dirilis dini hari tadi pukul 1:00 WIB menunjukkan para pejabat bank sentral Negeri Paman Sam memandang bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan perlu dieksekusi guna menjaga laju perekonomian.

"Beberapa anggota melihat bahwa pemangkasan federal funds rate dalam waktu dekat dapat membantu meminimalisir dampak dari guncangan terhadap ekonomi di masa depan," tulis risalah rapat The Fed, dilansir dari CNBC International.

Kata-kata sakti Powell dan risalah rapat The Fed terbukti efektif mendongkrak mood investor terhadap aset-aset berisiko.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama di Amerika Serikat (AS) mampu mengakhiri perdagangan akhir pekan di zona hijau, dengan dua indeks berhasil membukukan rekor tertinggi.

Pada Kamis pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup untuk pertama kalinya di atas level 27.000 poin penguatan pada hari Jumat (27.332,03) membuat DJIA mencatatkan kenaikan 1,52% dalam sepekan, dilansir CNBC International.

Selain itu, pada akhir pekan kemarin, S&P 500 juga untuk pertama kalinya ditutup di atas level 3.000 poin ke 3.013,77, di mana selama seminggu berhasil menguat 0,8%. Sedangkan Nasdaq berakhir dengan membukukan penguatan 1% ke level 8.244,14 poin dalam sepekan, dikutip dari CNBC International.

Katalis utama yang turut mengerek kinerja Wall Street untuk menembus rekor tertingginya masih seputar testimoni yang disampaikan oleh Jerome Powell yang mengisyaratkan penurunan suku bunga acuan akan datang sebentar lagi.

"Pesannya jauh lebih terarah mengenai hal apa yang akan dilakukan The Fed pada pertemuan berikutnya daripada sekedar janji untuk memperbaiki perekonomian," kata Kepala Strategi Prudential Financial di New Jersey, Quincy Krosby, dilansir Reuters.

"Itu telah membawa pasar ke posisi tertinggi baru," katanya lagi.

Di lain pihak, minggu ini fokus pelaku pasar akan mulai beralih ke sesuatu yang lebih fundamental, yaitu 'pendapatan'. Minggu ini, tiga indeks utama Wall Street akan mulai dibanjiri oleh rilis laporan keuangan kuartal II-2019.

Beberapa perusahaan bank besar seperti J.P Morgan Chase, Citigroup, Goldman Sachs dan Bank of America dijadwalkan akan melaporkan capaian pemasukan kuartal kedua minggu ini, dilansir Reuters.

Namun, beberapa analis memproyeksi tren penurunan pendapat pada musim ini.

Berdasar data IBES dari Refinitiv, perusahaan yang tercantum dalam indeks S&P 500 diperkirakan akan mengalami penurunan pendapatan hingga 0,4% pada kuartal kedua, dikutip dari Reuters.

Sementara itu, menurut FactSet, analis memperkirakan penurunan pendapatan lebih dari 2% untuk kuartal II-2019, dilansir CNBC International.

(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA)
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dinamika di Wall Street yang positif. Diharapkan optimisme di sana bisa menular sampai ke Asia, tidak terkecuali Indonesia.

Namun, penguatan tersebut tampaknya akan dibatasi oleh sikap waspada investor yang menantikan rilis laporan keuangan sejumlah bank besar. Hari ini, Citigrup akan melaporkan capaian pendapatan kuartal kedua mereka di tahun 2019.

Sentimen kedua adalah arah kebijakan moneter global yang semakin jelas terkonfirmasi menuju pelonggaran. Paparan Jerome Powell dan risalah rapat The Fed telah memberikan kode keras kepada pelaku pasar bahwa besar kemungkinan Negeri Paman Sam juga akan mengikuti jejak Australia, India, Malaysia, dan Filipina yang telah duluan menurunkan suku bunga acuan mereka.

Usai Powell memberikan sinyal yang sangat dovish, dolar AS mengalami tekanan jual. Sejak Rabu (10/11/2019), Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,7%.

Jika pelemahan dolar AS berlanjut, maka rupiah bisa mendapat pelumas untuk melanjutkan penguatan dan membukukan reli 3 hari beruntun.

Selain itu, sinyal dari Powell diharapkan sudah cukup kuat untuk melunakkan hati Bank Indonesia (BI) untuk turut memangkas suku bunga acuan.

Sebagai informasi, pada Kamis ini (18/7/2019) BI akan kembali mengumumkan suku bunga acuan Tanah Air.

Sejauh ini, konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate turun 25 bps menjadi 5,75%. Jika terwujud, maka akan menjadi perubahan pertama sejak November tahun lalu.

Khasiat Powell Sudah Kedaluwarsa, Saatnya Pantau Arah BIFoto: REUTERS/Beawiharta/File Photo


Sentimen ketiga adalah rilis data neraca perdagangan Indonesia bulan Juni. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi alias minus 8,3% year-on-year (YoY). Sementara impor diperkirakan negatif 5,26% YoY dan neraca perdagangan diramal surplus US$ 516 juta.

Di lain pihak, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memproyeksi ekspor dan impor masing-masing turun 8,7% YoY dan 5% YoY. Neraca perdagangan diestimasi surplus US$ 690 juta.

Potensi surplus neraca perdagangan selama dua hari beruntun menjadi sentimen positif bagi aset-aset berbasis rupiah. Hal ini dikarenakan ketersediaan valas dari sektor perdagangan semakin membaik yang berarti fondasi rupiah semakin kokoh. Kokohnya rupiah membantu menghilangkan kekhawatiran investor akan resiko nilai tukar.

Akan tetapi pelaku pasar harap tetap waspada pada sentimen keempat yaitu potensi lonjakan harga minyak mentah global akibat badai yang terjadi di Teluk Meksiko.

Sejak awal pekan lalu, perusahaan minyak di kawasan tersebut menghentikan aktivitas produksi di beberapa fasilitas pengeboran karena badai tropis yang diramal akan menerpa kawasan tersebut. Alhasil total produksi minyak di kawasan Teluk Meksiko terpangkas hingga 1 juta barel/hari, nilai yang cukup signifikan untuk mengerek naik harga minyak dunia.

Kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas emas hitam membengkak, dan semakin membebani transaksi berjalan (current account). Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar mata uang, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Bila transaksi berjalan tertekan, rupiah akan dibayangi resiko pelemahan.

(BERLANJUT KE HALAMAN EMPAT) Simak Agenda dan Data Berikut Ini

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

• Pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto/PDB) kuartal II-2019, China (09:00 WIB)
• Produksi industri, China (09:00 WIB)
• Penjualan ritel, China (09:00 WIB)
• Neraca perdagangan periode Juni, Indonesia (11:00 WIB)
• Cum dividen Reksa Dana Premier ETF Indonesia Sovereign Bonds (XISB) (16:15 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juni 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juni 2019)US$ 123,8 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular