Newsletter

Data Ekonomi Hijau & Harga Minyak Anjlok: Semoga Bawa Berkah

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
16 July 2019 06:14
Data Ekonomi Hijau & Harga Minyak Anjlok: Semoga Bawa Berkah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengawali perdagangan pekan ini dengan penuh semangat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah seluruhnya menguat.

Sentimen domestik berkontribusi besar untuk bantu mengerek kinerja pasar keuangan Tanah Air kemarin, di antaranya Jokowi Effect dan rilis neraca perdagangan bulan Juni.

Kemarin (15/7/2019), sepanjang perdagangan IHSG tak pernah sekalipun mampir di zona merah. Dibuka menguat 0,55% ke level 6.408,31, bursa saham utama Indonesia memperlebar penguatannya dan berhasil finis dengan melejit 0,7% menjadi 6.418,23.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,6% dibanding posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu ke level Rp 13.915/US$.

Rupiah berhasil berada di posisi terkuat sejak 7 Juni 2018 dan torehan penguatan 0,6% adalah apresiasi terbesar sejak 31 Mei 2019.

Kemudian, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 8,1 basis poin (bps) ke 7,122%. Penurunan yield menandakan harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.

Faktor domestik memang sedang mendukung IHSG cs. Ada dua sentimen besar yang membuat pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke instrumen beresiko berbasis rupiah.



Sentimen pertama adalah Jokowi Effect terkait rekonsiliasi presiden terpilih 2019-2024 Joko Widodo (Jokowi) dengan mantan rivalnya Prabowo Subianto, serta paparan arah kebijakan pembangunan Jokowi lima tahun ke depan.

Pada Sabtu (13/7/2019) untuk pertama kalinya pascapemilu, Jokowi dan Prabowo bertemu. Tensi politik yang memanas kurang lebih setahun kini sudah dingin dan pertemuan tersebut mengindikasikan demokrasi Indonesia yang semakin matang dan sehat.

Terlebih lagi, tidak terdapat banyak kejutan atas arah kebijakan pembangunan Jokowi untuk masa bakti keduanya. Jokowi menyampaikan dalam lima tahun ke depan akan berfokus pada lima hal, yaitu infrastruktur, sumber daya manusia, investasi, reformasi birokrasi, dan optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Faktor ketidakpastian dari sisi politik sudah gugur. Investor sudah mendapat gambaran jelas arah kebijakan Jokowi dan tidak perlu cemas lagi atas potensi rusuh politik dalam negeri. Jadi wajar jika arus modal terus mengalir deras ke pasar keuangan Indonesia.

Sentimen kedua adalah rilis data perdagangan internasional Indonesia yang kembali mencatatkan surplus bulan lalu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor Juni turun 8,98% secara tahunan, lebih dalam ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memproyeksi penurunan 8,3% year-on-year (YoY). Sedangkan impor tercatat tumbuh 2,8%, lebih baik dari konsensus yang memperkirakan koreksi 5,26% YoY.

Dengan demikian, bulan lalu, neraca dagang membukukan surplus senilai US$ 196 juta, yang berarti surplus dua hari beruntun. Sayangnya, capaian surplus tersebut di bawah ekspektasi konsensus yang senilai US$ 516 juta.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Ekonomi China Lesu & Antisipasi Laporan Keuangan, Wall Street Bergerak Terbatas

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama ditutup di zona hijau meski ada yang bergerak dalam rentang terbatas. Data pasar menunjukkan Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,1%, Nasdaq Composite bertambah 0,17%, sedangkan S&P 500 bergerak stagnan dengan hanya menguat 0,02%.

Terdapat dua sentimen yang membatasi pergerakan bursa saham acuan Negeri Paman Sam pada perdagangan kemarin, yaitu rilis data ekonomi terbaru China dan dimulainya rilis laporan keuangan kuartal II-2019.

Biro Statistik Negeri Tirai Bambu mengumumkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China kuartal kedua tahun ini ada di 6,2% secara tahunan sesuai ekspektasi analis. Capaian tersebut menandai laju pertumbuhan ekonomi kuartalan terlemah setidaknya dalam 27 tahun atau sejak 1992, dilansir dari Reuters.

Meskipun demikian, data ekonomi China lainnya terbilang menggembirakan. Pasalnya produksi industri dan penjualan barang-baran ritel bulan Juni tumbuh di atas konsensus pasar dengan perolehan masing-masing 6,3% dan 9,8% year-on-year (YoY), dilansir Trading Economics.

Lebih lanjut, Presiden AS Donald Trump mengomentari data ekonomi China lewat cuitan di akun pribadi Twitter-nya mengatakan perlambatan pertumbuhan ekonomi China "adalah alasan mengapa China ingin membuat kesepakatan", dikutip dari CNBC International.

"Pertumbuhan (ekonomi) kuartal II China adalah yang paling lambat dalam lebih dari 17 tahun. Bea masuk dari Amerika Serikat memiliki efek besar pada perusahaan yang ingin meninggalkan China ke negara-negara tanpa bea masuk (non-tarif). Ribuan perusahaan pergi. Inilah sebabnya mengapa China ingin membuat kesepakatan," cuit Trump.



Di lain pihak, kemarin bank ketiga terbesar di AS, Citigroup, telah merilis laporan keuangan kuartal II-2019, di mana kinerja keuangan perusahaan berhasil mengalahkan ekspektasi pasar. Secara keseluruhan pendapatan naik 2% secara tahunan didongkrak oleh pertumbuhan konsumen segmen bisnis yang lebih aktif menggunakan kartu kredit, dilansir Reuters.

Namun, marjin bunga dan jumlah pinjaman korporasi Citigroup tercatat menurun dibanding capaian pada periode yang sama tahun lalu dengan terkoreksi masing-masing 2,6% dan 9% YoY, dikutip dari Reuters

Pada perdagangan sebelum pasar (premarket) saham Citigroup diperdagangkan di zona hijau, akan tetapi tidak lama setelah perdagangan dimulai harga saham perusahaan mulai melipir ke zona merah yang akhirnya ditutup melemah sekitar 0,1%, dikutip dari CNBC International.

Melihat kondisi tersebut beberapa analis menyampaikan bahwa pasar keuangan global benar-benar berada dalam situasi waspada.

"Ini benar-benar kondisi wait and see", ujar Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Asset Management yang berlokasi di New York, dikutip dari Reuters.

"Jika (hasil) lebih baik dari yang diharapkan, maka kita bisa melihat lonjakan lainnya," tambah Pursche.

Bank besar lainnya yang juga akan melaporkan kinerja mereka minggu ini termasuk JP Morgan, Goldman Sachs, dan Wells Fargo.

(BERLANJUT KE HALAMAN TIGA) Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari ini

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang meskipun terbatas tetapi masih tetap positif. Semoga ini cukup untuk menjadi pendorong semangat pelaku pasar di kawasan Asia saat memulai perdagangan.

Sentimen kedua adalah penguatan indeks dolar Amerika Serikat yang masih bergerak terbatas karena kehilangan pelumasnya setelah Gubernur Bank Sentral AS/The Fed Jerome Powell memberikan kode keras akan adanya penurunan suku bunga acuan (federal funds rate) dalam waktu dekat.

Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) hanya mampu menguat 0,13% pada penutupan perdagangan kemarin, dilansir dari Refinitiv

Melansir situs CME Fedwatch, peluang adanya pemangkasan federal funds rate 50 basis poin (bps) naik menjadi 29,3%, dimana satu hari sebelumnya hanya 23%. Sedangkan untuk probabiltas penurunan 25 bps ada di 70,3%.

Untuk diketahui, suku bunga acuan yang rendah berarti mata uang negara tersebut kehilangan katalis positif untuk menarik aksi beli pelaku pasar. Pasalnya, imbal hasil yang diperoleh semakin menipis.

Pergerakan terbatas greenback memberikan kesempatan pada rupiah dkk di Asia untuk bergerak ke utara, sekaligus menawarkan keuntungan yang lebih besar kepada investor.

Belum lagi, rupiah mendapat tambahan pelumas karena neraca perdagangan Indonesia bulan Juni mencatatkan surplus US$ 196 juta. Hasil yang positif memberikan harapan bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) dapat ditekan.

Jika CAD bisa ditekan maka persediaan valas semakin membaik yang membuat fondasi rupiah semakin stabil. Nilai tukar yang stabil adalah katalis positif bagi investor karena resiko nilai tukar dapat terkikis.



Kemudian sentimen ketiga, yang bisa positif bagi rupiah, adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 05:06 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 0,36% dan 1,05%.

Perlambatan ekonomi China yang semakin kerasa memberikan sentimen negatif pada pasar minyak mentah global karena permintaan emas hitam ke depannya bisa terancam.

Padahal, sebelumnya harga minyak mentah global sempat menggeliat karena terhentinya aktifitas produksi di Teluk Meksiko yang merupakan salah satu wilayah penghasil minyak terbesar di benua Amerika.

Kekhawatiran akan resiko penurunan permintaan global akibat perlambatan ekonomi berhasil mengalahkan sentimen keterbatasan pasokan.

Koreksi harga minyak adalah berkah bagi rupiah. Sebab penurunan harga minyak bisa membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia.

(BERLANJUT KE HALAMAN 4) Simak Agenda dan Data Berikut Ini

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:

• Risalah rapat Reserve Bank of Australia (RBA), Australia (08:30 WIB)
• Penghitungan claimant-pengangguran, Inggris (15:30 WIB)
• Indikator sentimen ekonomi versi ZEW, Jerman (16:00 WIB)
• Data penjualan ritel, AS (19:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Juni 2019 YoY)3,28%
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Juni 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (1Q-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (1Q-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Juni 2019)US$ 123,8 miliar
 
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular