Newsletter

Suku Bunga Global Kondusif, Tapi Cermati Harga Minyak

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
21 June 2019 05:46
Suku Bunga Global Kondusif, Tapi Cermati Harga Minyak
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis, sementara nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah menguat. 

Kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,6%. Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun signifikan 11,7 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan. 

Situasi eksternal memang kondusif sejatinya kondusif bagi pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia. Hawa penurunan suku bunga global semakin terasa. 

Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed memang masih mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5%. Namun dalam konferensi pers usai rapat komite pengambil The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC), Ketua Jerome 'Jay' Powell menyatakan bank sentral siap menggelontorkan berbagai kebijakan jika dinamika perekonomian global dan domestik mengancam target inflasi dan pasar tenaga kerja. 

Tidak hanya menurunkan suku bunga, Powell juga menyatakan bisa menghentikan sementara program normalisasi neraca The Fed. Gabungan kebijakan yang bisa membuat likuiditas melimpah. 


Kemudian Bank Sentral Jepang (BoJ) juga masih mempertahankan suku bunga acuan di -0,1%. Namun seperti halnya The Fed, Gubernur Haruhiko Kuroda dan sejawat juga siap dengan berbagai stimulus jika target inflasi 2% tidak kunjung tercapai. 

Pelonggaran kebijakan moneter sepertinya menjadi tema besar di dunia. Artinya, likuiditas global akan bertambah dan uang yang tidak sedikit itu butuh 'rumah'. 

Indonesia bisa menjadi pilihan, karena menjanjikan cuan dan keamanan. Saat ini yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun adalah 7,461%. Masih lebih tinggi ketimbang instrumen serupa di negara-negara tetangga seperti Malaysia (3,662%), Thailand (2,16%), Filipina (5,088%), sampai India (6,791%). 

Selain keuntungan, berinvestasi di Indonesia juga aman karena baru-baru ini lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB. Ini menjadi kali pertama Indonesia merasakan rating BBB sejak 1995. 

IHSG sebenarnya sempat menguat karena sentimen ini. Namun penantian investor terhadap Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) membuat IHSG terkoreksi dan masuk jalur merah. 


Gubernur Perry Warjiyo dan kolega, seperti The Fed dan BoJ, memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 6%. Namun Perry juga memberi kode sangat keras bahkan janji BI 7 Day Reverse Repo Rate bisa turun. 


Adanya kepastian soal arah kebijakan suku bunga BI ke depan membuat investor kembali bersemangat berburu saham di Bursa Efek Indonesia. IHSG perlahan mampu menipiskan pelemahannya, bahkan investor asing membukukan beli bersih Rp 278,74 miliar.  

Namun waktu yang tersisa tidak cukup untuk membawa IHSG kembali ke zona hijau. Akhirnya IHSG terpaksa finis dengan koreksi, setelah dua hari sebelumnya selalu menguat di kisaran 1%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik dan S&P 500 masing-masing naik 0,96%, sementara Nasdaq Composite bertambah 0,8%. 

Bursa saham New York masih bersemangat karena prospek penurunan suku bunga acuan. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan Federal Funds Rate sebesar 25 bps ke 2-2,5% pada Juli mencapai 73,9%. 

Arus modal juga berdatangan ke pasar saham karena yield obligasi pemerintah AS yang turun 0,4 bps ke 2,0232%, terendah sejak 8 November 2016. Penurunan suku bunga acuan memang berdampak instan terhadap yield obligasi. 

Pelaku pasar juga semringah karena hubungan AS-China yang membaik. Rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 akhir bulan ini memunculkan kembali harapan terciptanya damai dagang di antara kedua negara. 

"Tim dari kedua negara akan melakukan komunikasi, merujuk kepada instruksi dari para kepala negara. Kami berharap AS akan menciptakan kondisi dan atmosfer yang memadai untuk memecahkan masalah melalui dialog. 

"Kedua pihak memiliki kepentingan yang sama, Saya yakin dengan menyelesaikan hal-hal yang menjadi perhatian bersama maka kedua negara akan dapat menemukan solusi dengan cara yang sepatutnya," papar Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters. 

China juga siap untuk melakukan reformasi ekonomi dan akan lebih ramah kepada para investor asing. Isu-isu ini memang menjadi sorotan AS. 

"China akan meneruskan komitmen untuk reformasi dan keterbukaan. Kami menyambut lebih banyak investasi asing di China. Kami juga akan melakukan pelonggaran akses di sejumlah sektor untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan taat aturan perundangan," kata Li Keqiang, Perdana Menteri China, dikutip dari Reuters. 

Faktor lain yang menghijaukan Wall Street adalah lonjakan harga minyak dunia. Pada pukul 04:41 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet meroket masing-masing 4,38% dan 5,8%. 

Tensi di Timur Tengah yang meninggi menjadi penyebab kenaikan harga si emas hitam. Iran menembak jatuh drone militer milik AS, meski Presiden Trump menilai kejadian itu hanya kesalahpahaman. 

"Saya rasa Iran membuat kekhilafan. Lagi pula itu adalah pesawat tanpa awak, tidak ada orang di dalamnya. Akan berbeda kalau ada pilotnya. Sulit dipercaya kalau itu (penembakan drone) dilakukan dengan sengaja," kata Trump, mengutip Reuters. 


Walau Trump mencoba menenangkan suasana, tetapi tidak mampu menutup kekhawatiran pasar bahwa situasi bisa memanas kapan saja. AS dan sekutunya terus memojokkan Iran, menuduh Teheran sebagai pelaku serangan atas dua kapal kargo di Selat Hormuz beberapa waktu lalu serta sejumlah aksi lainnya. 

Apalagi Iran juga agak panas karena menilai wilayah udaranya telah dimasuki benda asing yang bisa mengancam keamanan nasional. "Wilayah udara kami adalah batas yang sangat penting, dan Iran akan selalu merespons dengan kuat kepada setiap negara yang melanggarnya," tegas Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran, mengutip Reuters. 

Ketegangan di Timur Tengah (jika terus tereskalasi) dikhawatirkan akan mengganggu produksi dan pasokan minyak ke pasar global. Maklum, Timur Tengah adalah kawasan penghasil minyak terbesar di dunia. 

Namun kenaikan harga minyak membuat saham emiten-emiten energi di Wall Street ikut menanjak. Harga saham Exxon Mobil naik 1,71% dan Chevron terangkat 1,13%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dinamika di Wall Street yang positif. Diharapkan optimisme di sana bisa menular sampai ke Asia, tidak terkecuali Indonesia. 

Sentimen kedua adalah arah kebijakan moneter global yang sepertinya semakin terkonfirmasi menuju pelonggaran. Setelah kemarin ada The Fed, BoJ, dan BI, datang lagi hasil rapat Bank Sentral Inggris (BoE). 

Gubernur Mark Carney dan rekan juga masih mempertahankan suku bunga acuan di angka 0,75%. Namun pernyataan yang menyertainya menggambarkan begitu nestapanya prospek perekonomian Negeri John Bull. 

"Risiko ke bawah (downside risk) pertumbuhan ekonomi meningkat. Secara global, friksi dagang terus meningkat sementara di sisi domestik persepsi terhadap No-Deal Brexit juga meningkat. Suku bunga di negara-negara maju mengarah ke bawah, dan ketidakpastian terkait Brexit juga memberikan tekanan," sebut keterangan tertulis BoE. 

Setelah tumbuh 0,5% pada kuartal I-2019, BoE memperkirakan ekonomi Inggris pada kuartal II-2019 mendatar. Tidak tumbuh alias 0%. Konsumsi rumah tangga dinilai masih cukup kuat, tetapi ada perlambatan di sisi investasi. 

Laju inflasi juga terancam tidak bisa mencapai target 2%. Pada Mei, inflasi memang masih 2% year-on-year (YoY), tetapi pada akhir tahun sepertinya akan di bawah itu.  

BoE menegaskan masih berpegang pada kenaikan suku bunga acuan secara gradual, dengan asumsi ekonomi tidak mengalami kontraksi dan Brexit berjalan mulus. Namun sejumlah pihak justru berpandangan sebaliknya. 

"Jika terjadi No-Deal Brexit, maka BoE sepertinya akan mengubah arah kebijakan dengan lebih mendukung pertumbuhan ekonomi. Caranya adalah menurunkan suku bunga," kata Ekonom Capital Economics Thomas Pugh, mengutip Reuters. 

Apabila pelaku pasar menilai BoE lebih baik mengikuti tren pelonggaran kebijakan moneter global, maka semakin nyata bahwa suku bunga memang sedang mengarah ke selatan. Situasi ini bisa menguntungkan pasar keuangan Indonesia, karena seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Indonesia mampu menawarkan keuntungan dan keamanan. 

Sentimen ketiga adalah tekanan terhadap dolar AS yang belum juga mereda. Pada pukul 05:21 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,5%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini melemah nyaris 1%. 

Keyakinan pasar terhadap penurunan suku bunga acuan masih membebani langkah dolar AS. Situasi ini bisa menjadi momentum bagi rupiah untuk melanjutkan penguatan. Kalau rupiah menguat lagi, maka apresiasinya menjadi empat hari beruntun. 

Namun rupiah patut waspada dengan sentimen keempat yaitu lonjakan harga minyak. Walau sentimen ini mungkin berdampak positif ke pasar saham karena bisa mendongkrak laba emiten-emiten energi dan pertambangan, tetapi efeknya justru negatif terhadap rupiah. 

Kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini membengkak, dan semakin membebani transaksi berjalan (current account). Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi nilai tukar mata uang, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. 


Kalau transaksi berjalan masih bermasalah, rupiah akan dibayangi risiko pelemahan. Jadi walau faktor suku bunga global mendukung rupiah, tetapi mata uang Tanah Air perlu waspada dengan kenaikan harga minyak. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Rilis data tingkat inflasi Jepang periode Mei (06:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Jepang periode Juni versi Nikkei (07:30 WIB).
  • Rilis data pembacaan awal PMI manufaktur AS periode Juni (20:45 WIB).
  • Rilis data penjualan rumah bukan baru di AS periode Mei (21:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (Mei 2019 YoY)3,32%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (Mei 2019)US$ 120,35 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular