Newsletter

Maaf, Bunga Acuan Rasanya Belum Bisa Turun Bulan Ini...

Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 June 2019 04:52
Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya perkembangan di Wall Street yang positif, meski relatif terbatas. Semoga ini cukup untuk menjadi pendorong semangat pelaku pasar di Asia saat memulai perdagangan. 

Sentimen kedua adalah penantian investor jelang rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) yang hasilnya diumumkan pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Untuk rapat kali ini, pasar masih memperkirakan The Fed mempertahankan suku bunga acuan di 2,25-2,5% dengan probabilitas mencapai 80,8%, berdasarkan CME Fedwatch. 

Minimnya peluang penurunan suku bunga acuan bulan ini membuat dolar AS masih punya tenaga untuk merangkak naik. Akhir pekan lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat sampai 0,58%. 

Oleh karena itu, rupiah dkk di Asia harus tetap waspada karena dolar AS bisa saja perkasa seperti kemarin. Bahkan dolar AS sempat menguat terhadap seluruh mata uang utama Benua Kuning, tidak ada yang selamat. 


Sentimen ketiga adalah pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo seputar prospek penurunan suku bunga acuan. Perry menyebutkan memang ada ruang untuk penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Namun, masih ada faktor yang membuat bank sentral pikir-pikir. 

"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry. 


Oleh karena itu, seperti halnya The Fed, kemungkinan BI belum berniat menurunkan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juni yang berlangsung pekan ini. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia masih memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%. 

Sembari menunggu arah suku bunga acuan yang lebih jelas, tampaknya investor juga masih wait and see untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Ini bisa membuat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini bergerak dalam kegalauan, belum ada tren yang terbentuk dalam waktu dekat. 

Sentimen keempat, yang bisa positif bagi rupiah, adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:13 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 1,68% dan 1,12%. 

Ternyata isu memanasnya situasi Timur Tengah tidak cukup kuat untuk mengangkat harga si emas hitam. Investor lebih mengkhawatirkan risiko penurunan permintaan global akibat perlambatan ekonomi. 


Kita sudah melihat bagaimana New York Empire State Manufacturing Index anjlok ke titik terendah dalam hampir tiga tahun. Kemarin, China juga merilis data yang mengkhawatirkan yaitu pertumbuhan produksi industrial yang hanya 5% year-on-year pada Mei, terendah sejak awal 2002 atau sekitar 17 tahun. 

Perlambatan sudah dirasakan oleh dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Ketika dua mesin utama pertumbuhan ekonomi global bermasalah, maka seluruh negara niscaya akan ikut merasakannya. Pertumbuhan ekonomi global yang lebih lemah sepertinya menjadi kenyataan pahit yang harus diterima. 

Saat ekonomi melambat, maka permintaan energi tentu ikut berkurang karena lesunya aktivitas dunia usaha dan rumah tangga. Tidak heran harga minyak terseret ke selatan alias melemah. 

Namun bagi rupiah, koreksi harga minyak bisa menjadi berkah. Sebab penurunan harga minyak bisa membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia. 

Saat biaya impor minyak turun, maka tekanan di transaksi berjalan (current account) dan Neraca Pembayaran Indonesia sedikit banyak akan terangkat. Rupiah akan punya fondasi yang lebih kuat. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 4)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular