
Newsletter
Pantau Terus Arah Suku Bunga dan Perang Dagang AS-China
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 June 2019 05:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, tetapi nilai tukar rupiah masih mampu menguat tipis.
Kemarin, IHSG finis dengan koreksi 0,47%. IHSG tidak pernah merasakan menisnya zona hijau alias melemah seharian.
Sepertinya investor sedang melakukan ambil untung (profit taking) karena IHSG sebelumnya menguat empat hari berturut-turut. Dalam periode tersebut, penguatan IHSG mencapai 4,52%.
Artinya harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah menjadi relatif mahal. Investor tentu tergiur untuk mencairkan keuntungan yang sudah diperoleh sehingga IHSG mau tidak mau terkoreksi.
Sementara nilai tukar rupiah ditutup menguat 0,04% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Perjalanan rupiah kemarin sangat dinamis, karena bolak-balik di zona merah dan hijau.
Awalnya rupiah juga bernasib sama dengan IHSG, terserang virus ambil untung. Maklum, penguatan rupiah sebelum kemarin sudah terjadi selama tiga hari beruntun. Selama periode tersebut, rupiah menguat 1,04%.
Sebaliknya, dolar AS malah tertekan. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,4%. Bahkan koreksi indeks ini mencapai 1,09% sejak awal Juni.
Dolar AS yang sudah murah membuat investor tergoda untuk memiliknya. Aksi borong sempat terjadi sehingga mata uang Negeri Paman Sam menguat terhadap mata uang Asia, termasuk Indonesia.
Akan tetapi ternyata itu tidak lama. Dolar AS memang masih dihinggapi sentimen negatif dalam jangka yang lebih panjang, karena persepsi penurunan suku bunga acuan yang semakin kuat.
Maklum, sejumlah data teranyar di AS memberi konfirmasi sinyal perlambatan ekonomi. Pertama, pembacaan awal indeks optimisme ekonomi keluaran IBD/TIPP untuk Juni berada di angka 53,2. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 58,6 yang merupakan pencapaian tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Kedua, inflasi tingkat produsen AS pada Mei tercatat 0,1% month-on-month (MoM). Melambat dibandingkan April yaitu 0,2% MoM.
Ketiga, pada April, pembukaan lowongan kerja baru di Negeri Adidaya yang ditunjukkan melalui survei Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS) menunjukkan angka 7,4 juta. Turun dibandingkan posisi Maret yaitu 7,5 juta.
Oleh karena itu, tidak heran pelaku pasar semakin yakin bahwa The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, Jerome 'Jay' Powell dan kolega diperkirakan memulai siklus penurunan Federal Funds Rate pada Juli. Probabilitas penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% dalam rapat The Fed bulan depan mencapai 64,2%.
Bagi dolar AS, penurunan suku bunga bukan kabar baik. Sebab penurunan suku bunga akan membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini (utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) kurang menguntungkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG finis dengan koreksi 0,47%. IHSG tidak pernah merasakan menisnya zona hijau alias melemah seharian.
Sepertinya investor sedang melakukan ambil untung (profit taking) karena IHSG sebelumnya menguat empat hari berturut-turut. Dalam periode tersebut, penguatan IHSG mencapai 4,52%.
Artinya harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah menjadi relatif mahal. Investor tentu tergiur untuk mencairkan keuntungan yang sudah diperoleh sehingga IHSG mau tidak mau terkoreksi.
Sementara nilai tukar rupiah ditutup menguat 0,04% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Perjalanan rupiah kemarin sangat dinamis, karena bolak-balik di zona merah dan hijau.
Awalnya rupiah juga bernasib sama dengan IHSG, terserang virus ambil untung. Maklum, penguatan rupiah sebelum kemarin sudah terjadi selama tiga hari beruntun. Selama periode tersebut, rupiah menguat 1,04%.
Sebaliknya, dolar AS malah tertekan. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,4%. Bahkan koreksi indeks ini mencapai 1,09% sejak awal Juni.
Dolar AS yang sudah murah membuat investor tergoda untuk memiliknya. Aksi borong sempat terjadi sehingga mata uang Negeri Paman Sam menguat terhadap mata uang Asia, termasuk Indonesia.
Akan tetapi ternyata itu tidak lama. Dolar AS memang masih dihinggapi sentimen negatif dalam jangka yang lebih panjang, karena persepsi penurunan suku bunga acuan yang semakin kuat.
Maklum, sejumlah data teranyar di AS memberi konfirmasi sinyal perlambatan ekonomi. Pertama, pembacaan awal indeks optimisme ekonomi keluaran IBD/TIPP untuk Juni berada di angka 53,2. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 58,6 yang merupakan pencapaian tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
Kedua, inflasi tingkat produsen AS pada Mei tercatat 0,1% month-on-month (MoM). Melambat dibandingkan April yaitu 0,2% MoM.
Ketiga, pada April, pembukaan lowongan kerja baru di Negeri Adidaya yang ditunjukkan melalui survei Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS) menunjukkan angka 7,4 juta. Turun dibandingkan posisi Maret yaitu 7,5 juta.
Oleh karena itu, tidak heran pelaku pasar semakin yakin bahwa The Federal Reserves/The Fed akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, Jerome 'Jay' Powell dan kolega diperkirakan memulai siklus penurunan Federal Funds Rate pada Juli. Probabilitas penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% dalam rapat The Fed bulan depan mencapai 64,2%.
Bagi dolar AS, penurunan suku bunga bukan kabar baik. Sebab penurunan suku bunga akan membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini (utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) kurang menguntungkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular