
Newsletter
Dear The Fed, Turun Atau Nggak Nih...?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 June 2019 05:27

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu hasil di Wall Street yang kurang oke. Namun koreksi di Wall Street yang sangat minim semestinya tidak membuat pelaku pasar di Asia bereaksi berlebihan.
Sentimen kedua, investor perlu terus memantau dinamika perang dagang AS-China, terutama prospek pertemuan Trump dan Xi di Osaka. Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, menilai pertemuan tersebut (kalau terlaksana) tidak akan memutuskan apa-apa. Hanya memberi arah bagaimana proses negosiasi ke depan.
"Di G20, kemungkinan besar bentuk kesepakatannya adalah bagaimana arah ke depannya. Bukan kesepakatan yang bersifat mutlak," tegasnya, mengutip Reuters.
Sejauh ini China juga belum mengendurkan urat syaraf di depan AS. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menegaskan bahwa Beijing tidak takut jika memang harus menjalani perang dagang.
"China tidak ingin perang dagang, tetapi tidak takut untuk menghadapinya. Jika AS ingin friksi dagang tereskalasi, maka kami akan merespons dan berjuang sampai akhir," tuturnya, mengutip Reuters.
So, AS dan China terlihat sama-sama belum selow, belum santai. Semoga semakin dekat dengan KTT G20 akan muncul kabar-kabar yang lebih menyejukkan hati.
Sentimen ketiga adalah arah kebijakan suku bunga The Federal Reserves/The Fed. Tekanan terhadap Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk menurunkan suku bunga acuan semakin besar. Bahkan tekanan itu kembali datang dari Gedung Putih.
"Fed telah menghancurkan kita, mereka tidak mendengarkan saya. Mereka bukan orang-orang saya," tegas Trump dalam wawancara dengan CNBC International.
Trump memang sudah berklai-kali menegaskan ketidaksukaannya terhadap kebijakan suku bunga yang ditempuh The Fed. Dia menilai The Fed terlalu agresif menaikkan suku bunga acuan sehingga membatasi ekspansi ekonomi di Negeri Paman Sam.
Di luar tekanan dari Trump, tampaknya The Fed sendiri memang sedang merenung dan isi renungan tersebut bisa jadi mengarah ke penurunan suku bunga acuan. Sebab The Fed terlihat semakin khawatir dengan kondisi perekonomian terkini.
"Pada April, saya bilang bahwa saya optimistis outlook cukup solid. Namun saat ini saya benar-benar waspada terhadap risiko downside. Sebuah perubahan besar dalam waktu yang begitu singkat," kata Presiden The Fed Dallas Robert Kaplan, dikutip dari Reuters.
Naga-naganya Federal Funds Rate memang bakal diturunkan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, sepertinya pemotongan Federal Funds Rate akan terjadi pada Juli dengan peluang 63,8%. Sangat wajar, karena The Fed sendiri sudah terlihat agak khawatir.
Akibat kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan yang semakin terang-benderang, dolar AS pun mundur teratur. Pada pukul 04:45 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,04%.
Pelemahan dolar AS bisa menjadi momentum bagi rupiah dkk di Asia untuk melanjutkan perjalanan ke utara alias menguat. Asal tidak terkena profit taking seperti kemarin, peluang rupiah untuk kembali terapresiasi di hadapan dolar AS cukup terbuka.
Sejauh ini tanda-tanda penguatan rupiah masih terlihat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Semoga penguatan ini bisa bertahan dan menular ke pasar spot.
Sentimen keempat, yang juga bisa membantu rupiah, adalah koreksi harga minyak dunia. Pada pukul 04:53 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet turun masing-masing 0,53% dan 0,41%.
Penurunan harga si emas hitam dipicu oleh proyeksi teranyar yang dirilis US Energy Information Administration yang merevisi proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia pada 2019 dari awalnya 1,38 juta barel/hari menjadi 1,22 juta barel/hari. Sedangkan pertumbuhan permintaan untuk 2020 juga direvisi ke bawah dari 1,53 juta barel/hari menjadi 1,42 juta barel/hari.
Prospek permintaan yang tidak terlalu cerah itu membuat harga minyak lesu. Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak justru menjadi berita bahagia.
Sebab, koreksi harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Artinya devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak bisa dihemat dan tekanan di transaksi berjalan (current account) berkurang. Ingat, di dalam transaksi berjalan yang sehat terdapat rupiah yang kuat, karena ditopang oleh devisa dari sektor perdagangan yang memadai.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua, investor perlu terus memantau dinamika perang dagang AS-China, terutama prospek pertemuan Trump dan Xi di Osaka. Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, menilai pertemuan tersebut (kalau terlaksana) tidak akan memutuskan apa-apa. Hanya memberi arah bagaimana proses negosiasi ke depan.
"Di G20, kemungkinan besar bentuk kesepakatannya adalah bagaimana arah ke depannya. Bukan kesepakatan yang bersifat mutlak," tegasnya, mengutip Reuters.
Sejauh ini China juga belum mengendurkan urat syaraf di depan AS. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menegaskan bahwa Beijing tidak takut jika memang harus menjalani perang dagang.
"China tidak ingin perang dagang, tetapi tidak takut untuk menghadapinya. Jika AS ingin friksi dagang tereskalasi, maka kami akan merespons dan berjuang sampai akhir," tuturnya, mengutip Reuters.
So, AS dan China terlihat sama-sama belum selow, belum santai. Semoga semakin dekat dengan KTT G20 akan muncul kabar-kabar yang lebih menyejukkan hati.
Sentimen ketiga adalah arah kebijakan suku bunga The Federal Reserves/The Fed. Tekanan terhadap Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk menurunkan suku bunga acuan semakin besar. Bahkan tekanan itu kembali datang dari Gedung Putih.
"Fed telah menghancurkan kita, mereka tidak mendengarkan saya. Mereka bukan orang-orang saya," tegas Trump dalam wawancara dengan CNBC International.
Trump memang sudah berklai-kali menegaskan ketidaksukaannya terhadap kebijakan suku bunga yang ditempuh The Fed. Dia menilai The Fed terlalu agresif menaikkan suku bunga acuan sehingga membatasi ekspansi ekonomi di Negeri Paman Sam.
Di luar tekanan dari Trump, tampaknya The Fed sendiri memang sedang merenung dan isi renungan tersebut bisa jadi mengarah ke penurunan suku bunga acuan. Sebab The Fed terlihat semakin khawatir dengan kondisi perekonomian terkini.
"Pada April, saya bilang bahwa saya optimistis outlook cukup solid. Namun saat ini saya benar-benar waspada terhadap risiko downside. Sebuah perubahan besar dalam waktu yang begitu singkat," kata Presiden The Fed Dallas Robert Kaplan, dikutip dari Reuters.
Naga-naganya Federal Funds Rate memang bakal diturunkan dalam waktu dekat. Mengutip CME Fedwatch, sepertinya pemotongan Federal Funds Rate akan terjadi pada Juli dengan peluang 63,8%. Sangat wajar, karena The Fed sendiri sudah terlihat agak khawatir.
Akibat kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan yang semakin terang-benderang, dolar AS pun mundur teratur. Pada pukul 04:45 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,04%.
Pelemahan dolar AS bisa menjadi momentum bagi rupiah dkk di Asia untuk melanjutkan perjalanan ke utara alias menguat. Asal tidak terkena profit taking seperti kemarin, peluang rupiah untuk kembali terapresiasi di hadapan dolar AS cukup terbuka.
Sejauh ini tanda-tanda penguatan rupiah masih terlihat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Semoga penguatan ini bisa bertahan dan menular ke pasar spot.
Periode | Kurs 11 Juni (15:55 WIB) | Kurs 12 Juni (04:05 WIB) |
1 Pekan | Rp 14.242,7 | Rp 14.224 |
1 Bulan | Rp 14.308,2 | Rp 14.313 |
2 Bulan | Rp 14.375,7 | Rp 14.361 |
3 Bulan | Rp 14.448,2 | Rp 14.458 |
6 Bulan | Rp 14.650,7 | Rp 14.635 |
9 Bulan | Rp 14.840,2 | Rp 14.818 |
1 Tahun | Rp 15.035,7 | Rp 15.028 |
2 Tahun | Rp 15.836,3 | Rp 15.816 |
Sentimen keempat, yang juga bisa membantu rupiah, adalah koreksi harga minyak dunia. Pada pukul 04:53 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet turun masing-masing 0,53% dan 0,41%.
Penurunan harga si emas hitam dipicu oleh proyeksi teranyar yang dirilis US Energy Information Administration yang merevisi proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia pada 2019 dari awalnya 1,38 juta barel/hari menjadi 1,22 juta barel/hari. Sedangkan pertumbuhan permintaan untuk 2020 juga direvisi ke bawah dari 1,53 juta barel/hari menjadi 1,42 juta barel/hari.
Prospek permintaan yang tidak terlalu cerah itu membuat harga minyak lesu. Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak justru menjadi berita bahagia.
Sebab, koreksi harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini lebih murah. Artinya devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak bisa dihemat dan tekanan di transaksi berjalan (current account) berkurang. Ingat, di dalam transaksi berjalan yang sehat terdapat rupiah yang kuat, karena ditopang oleh devisa dari sektor perdagangan yang memadai.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular