Newsletter

Selamat Datang di Minggu Tenang

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
27 May 2019 05:33
Selamat Datang di Minggu Tenang
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani periode yang positif pekan lalu. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melejit 3,96%, rupiah menguat 0,41% melawan dolar Amerika Serikat (AS), dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 10,3 basis poin (bps). 

Di satu sisi, investor memanfaatkan situasi IHSG cs yang sudah terkoreksi dalam pada pekan sebelumnya. IHSG rontok hingga minus 6,16%, rupiah melemah 0,87%, dan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 0,8 bps. 

Di sisi lain, investor juga sedang 'menghukum' AS seiring memanasnya perang dagang dengan China. Setelah kedua negara saling menaikkan tarif bea masuk, AS maju selangkah dengan memasukkan Huawei (raksasa teknologi telekomunikasi asal China) ke daftar hitam. Artinya, tidak ada yang boleh berbisnis dengan Huawei kecuali seizin pemerintah Negeri Adidaya. 

China pun berang. Prospek kelanjutan dialog dagang menjadi samar-samar, karena Beijing mendesak Washington untuk mengubah perilakunya jika ingin kembali ke meja perundingan. 

"Jika AS ingin melanjutkan perundingan dagang, maka mereka harus tulus dan memperbaiki kesalahannya. Negosiasi hanya bisa berlanjut bila didasari kesamaan dan saling menghormati. Kami memantau perkembangan terkini dan siap melakukan langkah-langkah yang diperlukan," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters. 

Berlanjutnya perang dagang dengan China diprediksi memukul perekonomian AS sendiri. Harga produk impor (termasuk bahan baku dan barang modal) asal China menjadi semakin mahal gara-gara bea masuk, sehingga menurunkan aktivitas investasi. AS pun akan kesulitan menjual produk ke China, khususnya produk pertanian, karena kenaikan bea masuk. 

Dunia usaha pun mulai melihat prospek perekonomian ke depan agak gloomy. Perkiraan angka Purchasing Manager's Index (PMI) edisi Mei versi IHS Markit ada di 50,6%. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6 dan menjadi yang terendah sejak September 2009. 
 

Tidak hanya dunia usaha, rumah tangga juga sepertinya menahan diri. Terlihat dari penjualan rumah baru yang pada April tercatat 673.000 unit. Turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya. 

Perlambatan investasi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi membuat pelaku pasar mulai berani bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate bisa ditempuh sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.  


Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 22,7%. Sementara peluang untuk turun 25 basis poin ke 2-2,25% lebih tinggi yaitu 42%. 

Kemungkinan penurunan suku bunga acuan yang semakin tinggi tentu menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, penurunan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, arus modal meninggalkan AS, bertebaran ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia.
 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pada perdagangan akhir pekan lalu, Wall Street finis di jalur hijau meski dalam rentang terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,37%, S&P 500 menguat 0,13%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,11%. 

Pelaku pasar lega karena AS mulai melunak dan siap kembali bernegosiasi dengan China. Presiden AS Donald Trump menyatakan proses menuju kesepakatan damai dagang bisa berlangsung cepat. 

"Ini sedang terjadi dan terjadi dengan cepat. Saya rasa (proses negosiasi) dengan China akan cepat karena saya tidak bisa membayangkan ribuan perusahaan keluar dari negaranya," tegas Trump daam pidato di Gedung Putih, mengutip Reuters. 

Bulan depan, Trump berencana bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Jepang dalam KTT G20. Seperti di Argentina akhir tahun lalu, pertemuan keduanya di sela-sela KTT membuahkan jalan menuju damai dagang. 

Salah satu poin dalam kesepakatan AS-China, menurut Trump, harus memasukkan Huawei. Sebab dia menilai perusahaan ini berbahaya dan harus dipantau. 

"Kalau Anda melihat apa yang mereka lakukan dari sudut pandang keamanan, sudut pandang militer, sangat berbahaya. Jika kami membuat kesepakatan, saya membayangkan Huawei mungkin termasuk di dalamnya," sebut Trump. 

Namun pernyataan Trump ini tidak terlampau signifikan dalam menggerakkan pasar. Sebab, AS akan menyambut libur panjang di mana pada Senin waktu setempat pasar diliburkan memperingati Memorial Day. 

Aktivitas di pasar terlihat sepi, volume transaksi 'hanya' melibatkan 5,58 miliar unit saham. Cukup jauh di bawah rata-rata selama 20 hari perdagangan terakhir yaitu 6,95 miliar. 

"Memang ada sentimen positif. Namun dengan volume perdagangan yang tipis, tidak cukup untuk menggerakkan pasar," ujar John Carey, Managing Director di Amundi Pioner Asset Management yang berbasis di Boston, dikutip dari Reuters. 

Minimnya pergerakan pada akhir pekan tidak banyak membantu, Wall Street tetap anjlok secara mingguan. DJIA minus 0,68%, S&P 500 amblas 1,16%, dan Nasdaq ambrol 2,29%. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang positif pada pekan lalu. Semoga hijaunya Wall Street, walau tipis, bisa mengangkat mood pelaku pasar di Asia, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Ada dua kemungkinan, pertama bisa jadi dolar AS bangkit karena koreksinya sudah lumayan dalam.

Selama sepekan terakhir, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) turun 0,33%. Dalam sebulan terakhir, pelemahannya adalah 0,4%. 

Ini bisa menyebabkan dolar AS mengalami technical rebound. Dolar AS yang sudah murah bisa mengundang investor untuk kembali mengoleksi mata uang ini sehingga nilainya menguat. Jika ini terjadi, maka rupiah perlu waspada. 

Kemungkinan kedua, dolar AS masih akan tertekan karena kuatnya hawa penurunan suku bunga acuan. Data-data ekonomi AS yang melempem bisa menjadi faktor yang membuat The Fed mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan, meski tampaknya tidak dieksekusi dalam waktu dekat. 

"Dengan situasi saat ini, kami memperkirakan bahwa proteksionisme yang semakin merebak akan mengarahkan The Fed untuk melonggarkan kebijakan moneter. Percepatan laju inflasi yang terjadi hanya sementara, perlambatan pertumbuhan ekonomi sepertinya lebih persisten," tegas Michael Hanson, Head of Global Macro Strategy di TD Securities, dalam laporan tertulis. 

Jadi, mari kita lihat ke mana dolar AS bergerak. Apakah ke utara? Atau ke selatan? Namun yang jelas, rupiah tidak boleh mengendurkan kewaspadaan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah hubungan dagang AS. Jika dengan China masih panas, Negeri Adidaya justru menjadi mesra dengan Jepang. Padahal sebelumnya Trump mengancam bakal menerapkan bea masuk terhadap produk otomotif Jepang, yang dinilai menjadi biang kerok defisit perdagangan AS dengan Negeri Matahari Terbit. 

Trump bertolak ke Jepang untuk bertemu dengan Perdana Menteri Shinzo Abe. Di sana, mereka berdua tidak hanya menggelar rapat tetapi juga bermain golf dan menonton pertandingan sumo. 

"Kemajuan signifikan terjadi dalam proses negosiasi dagang dengan Jepang. Produk pertanian dan daging memainkan peran," demikian cuit Trump di Twitter. 

"Dengan kesepakatan ini, kami berharap bisa mengatasi masalah ketimpangan dagang, menghilangkan hambatan ekspor, dan menjamin kesetaraan. Kami sudah dekat. Pekan lalu, ekspor daging sapi dari AS ke Jepang sudah mendapatkan akses penuh, kali pertama sejak tahun 2000. Kami menyambut baik dan berharap akan ada pengumuman lebih lanjut dan beberapa di antaranya akan sangat penting dalam beberapa bulan ke depan," papar Trump di depan para pengusaha, mengutip Reuters. 

Well, walau tensi dengan China masih tinggi setidaknya hubungan AS-Jepang membaik. Ini bisa menjadi harapan tidak akan terjadi perang dagang dalam skala yang lebih luas. 

Sentimen keempat adalah dinamika proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Akhir pekan lalu, Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan akan mundur pada 7 Juni setelah mengakui kegagalannya mengendalikan Brexit dengan mulus. 

Cukup banyak calon yang digadang-gadang menjadi penerus May di Jalan Downing No 10. Matt Hancock (Menteri Kesehatan), Dominic Raab (mantan menteri urusan Brexit), Andrea Leadsom (mantan ketua parlemen), Boris Johnson (mantan menteri luar negeri), Jeremy Hunt (Menteri Luar Negeri). Rory Stewart (Menteri Pembangunan Luar Negeri), dan Esther McVey (mantan menteri tenaga kerja dan pensiun) menyatakan siap berkompetisi menjadi kepala pemerintahan di Negeri Ratu Elizabeth.

Sejumlah pengganti May menegaskan bahwa Inggris siap jika memang sampai terjadi No Deal Brexit. Artinya, Inggris berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apa-apa. 

"Agar bisa sukses dalam negosiasi, Anda harus siap untuk pergi begitu saja," ujar Leadsom, mengutip Reuters. 

"Kami akan meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober. Deal or no deal!" tegas Johson, mengutip Reuters. 

May dijadwalkan kembali membawa proposal Brexit jilid empat ke parlemen pada pekan pertama Juni. Sebagai catatan, tiga proposal sebelumnya mentah di Palace of Westminster (gedung parlemen Inggeis). 

Pekan ini menjadi penentuan nasib May. Apakah selama seminggu ini dia berhasil meyakinkan parlemen untuk menggolkan proposal Brexit? Atau lagi-lagi gagal dan mencetak quatrick

Situasi Brexit yang masih penuh ketidakpastian bisa membawa risiko di pasar. Investor bisa saja bersikap wait and see, yang menurunkan minat terhadap instrumen-instrumen berisiko. 

Di Indonesia, pekan ini bisa dibilang sebagai masa tenang sebelum memasuki libur Idul Fitri. Jadi kalau tidak ada sesuatu yang luar biasa, maka sepertinya pasar bakal anteng saja. Laut akan tenang, tanpa ombak tinggi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data laba industri China periode April (08:30 WIB).
  • Rilis data ekspor-impor Hong Kong periode April (15:30 WIB). 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q I-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q I-2019)US$ 2,42 miliar
Cadangan devisa (April 2019)US$ 124,29 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular