
Newsletter
Dag-Dig-Dug-Der Jelang 22 Mei, Bagaimana Pasar Hari Ini?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 May 2019 06:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu menjadi periode yang kelam bagi pasar keuangan Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah kompak melemah.
Sepanjang pekan lalu, IHSG jatuh 6,16% secara point-to-point. Indeks saham Asia juga sebagian besar melemah, tetapi koreksi IHSG menjadi yang paling dalam.
Dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,87%. Tidak cuma rupiah, sebagian besar mata uang utama Benua Kuning juga terdepresiasi di hadapan greenback, seperti yen Jepang (-0,12%), yuan China (-1,41%), won Korea Selatan (-1,66%), rupee India (-0,39%), dolar Singapura (-1,07%), ringgit Malaysia (-0,43%), sampai baht Thailand (-0.98%).
Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 0,8 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga aset ini sedang turun akibat tingginya aksi jual.
Selama minggu kemarin, investor asing memang getol melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih mencapai Rp 3,63 triliun. Sementara di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing pada 16 Mei tercatat Rp 954,13 triliun, turun Rp 7,89 triliun dibandingkan sepekan sebelumnya.
Harap maklum, investor global dibuat ketar-ketir karena perang dagang AS-China yang kembali memanas. AS memberlakukan kenaikan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah ini dibalas oleh China dengan menaikkan bea masuk untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 60 miliar dari semula 5-10% menjadi 20-25%.
Hubungan Washington dan Beijing yang sempat mesra setelah beberapa kali dialog dagang kini tegang lagi. Bahkan pembicaraan terakhir di Washington berakhir dengan menyisakan rasa tidak enak di mulut.
"Setiap negara memiliki martabat," tegas Liu He, Wakil Perdana Menteri China, usai pertemuan, mengutip Reuters.
Perang dagang AS-China yang kembali bergelora membuat prospek pertumbuhan ekonomi global meredup. Arus perdagangan dan rantai pasok global akan terhambat sehingga ikut meredam aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Sementara dari dalam negeri, tekanan yang dialami IHSG dkk datang dari rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada April defisit US$ 2,5 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
Akibat rilis data ini, Bank Indonesia (BI) sepertinya menjadi kurang yakin terhadap proyeksi transaksi berjalan (current account). Meski masih memproyeksikan defisit transaksi berjalan di kisaran 2,5-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019, tetapi rasanya akan lebih lebar dari perkiraan semula.
Dua perkembangan ini menjadi pukulan bagi rupiah. Dengan pasokan devisa dari sektor perdagangan yang minim cenderung seret, maka fondasi penopang rupiah menjadi rapuh karena hanya mengandalkan arus modal dari pasar keuangan alias hot money. Rentan sekali.
Rupiah yang rentan melemah membuat aset-aset berbasis mata uang ini kena gerahnya, ikut terkena tekanan jual. Sebab, investor mana yang mau memegang aset dengan risiko penurunan nilai?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama finis di zona merah pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,38%, S&P 500 melemah 0,58%, dan Nasdaq Composite amblas 1,04%.
Investor di pasar saham New York panik, karena tersiar kabar perundingan dagang AS-China terancam mandek. Tidak bisa dilanjutkan lagi. Selamat tinggal damai dagang.
"Akibat hal-hal yang dilakukan AS sepanjang proses negosiasi, kami meyakini bahwa kalau memang ada sesuatu dari dialog ini tentu harus dibuktikan dengan ketulusan," sindir Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari Reuters.
Rasanya China sudah lelah dengan provokasi AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Ogah terus disudutkan, China pun mulai mengamuk.
"Perang dagang tidak akan membuat kami tunduk. Itu hanya akan membuat kami lebih kuat!" tulis tajuk People's Daily, harian terbitan Partai Komunis China, mengutip Reuters.
Amukan China tampaknya mulai menuai hasil, AS sepertinya gentar juga. Kementerian Perdagangan AS tengah mempertimbangkan pengurangan sanksi terhadap Huawei (perusahaan telekomunikasi asal China) yang masuk ke daftar hitam.
Kementerian yang dipimpin Wilbur Ross tersebut tengah mengkaji pemberian waktu bagi perusahaan dan individu untuk tetap bisa menggunakan perangkat Huawei milik mereka. Tenggat waktu ini kabarnya akan berlaku selama 90 hari. Namun hanya berlaku untuk perangkat yang sudah dimiliki sebelumnya (existing), bukan transaksi pembelian baru.
Akan tetapi, pelaku pasar terlanjur takut. Aset-aset berisiko seperti saham pun ditinggalkan dan instrumen aman seperti obligasi pemerintah AS kebanjiran peminat. Sepanjang pekan lalu, yield instrumen ini terkoreksi 6,2 bps.
Bukan cuma pada akhir pekan, Wall Street juga terkoreksi secara mingguan. DJIA minus 0,69%, S&P 500 berkurang 0,76%, dan Nasdaq melemah 0,17%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu performa Wall Street yang kurang memuaskan baik pada perdagangan akhir pekan maupun secara mingguan. Ini dikhawatirkan menjadi perusak mood pelaku pasar di Asia dalam memulai pekan yang baru.
Sentimen kedua, investor masih harus memasang mata dan telinga untuk mendapatkan kabar terbaru seputar perkembangan hubungan AS-China. Semoga langkah AS yang melunak dengan memberikan keringanan terkait sanksi kepada Huawei mendapat respons positif dari China sehingga dialog dagang bisa dilanjutkan lagi.
Jika perang dagang terus terjadi dan bahkan semakin parah, maka pertaruhannya adalah perekonomian dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memberi wanti-wanti bahwa perang dagang akan menjadi salah satu risiko utama.
"Risiko (pertumbuhan ekonomi) ke bawah yang ada saat ini adalah berlanjutnya tensi antara AS dan China. Kalau tensi ini tidak bisa diselesaikan, maka akan menjadi risiko ke depannya," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, seperti dikutip dari Reuters.
Namun emosi China sejauh ini belum reda. Tajuk di kantor berita Xinhua menyebutkan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak akan mengalah terhadap bullying yang dilakukan AS.
"AS sekali lagi melakukan bullying kepada China. Namun trik AS dengan menekan China tidak akan berhasil. Hambatan ini justru membuat China semakin kuat, dan perjalanan menuju kebangkitan ekonomi nasional tidak terbendung," tegas tajuk tersebut.
Well, semoga ada kabar baik yang menenangkan. Terserah itu dari Washington atau Beijing, yang penting adem. Sebab kalau tidak, perang dagang masih akan menjadi risiko yang bisa menyeret pasar keuangan global ke zona merah.
Sentimen ketiga adalah ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara Arab Saudi dan kawan-kawan dengan Iran. Belum lama ini, koalisi Arab Saudi menggempur ibukota Yaman, Sanaa, melalui serangan udara dengan dalih memberantas milisi Houthi yang dibekingi Iran.
"Kerajaan Arab Saudi tidak ingin ada perang di kawasan ini, dan tidak ingin mencari perang. Kami akan melakukan sebisa mungkin untuk mencegah perang. Namun pada saat yang sama, Kerajaan akan merespons dengan segenap kekuatan serta melindungi diri dan kepentingannya," jelas Adel Al Jubeir, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Pernyataan senada dikemukakan oleh Teheran. Mayor Jenderal Hossein Salami, Komandan Korps Penjaga Revolusi Islam Iran, menegaskan pihaknya tidak mencari perang tetapi tidak takut kalau itu sampai terjadi (amit-amit).
Ketegangan di Timur Tengah dikhawatirkan bisa mempengaruhi harga minyak. Konflik (kalau berkepanjangan) bisa membuat pasokan si emas hitam dari kawasan tersebut terhambat. Timur Tengah adalah daerah penghasil minyak terbesar di dunia, sehingga saat pasokan dari sana berkurang maka harga bisa naik cukup signifikan.
Terbukti sepanjang pekan lalu harga minyak jenis brent melonjak 2,25%. Sementara harga light sweet naik sampai 1,78%.
Jika tren ini berlanjut, maka bisa menjadi alamat jelek buat rupiah. Pasalnya, kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini semakin mahal. Padahal Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum juga memadai.
Artinya, akan ada tekanan bagi neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ini bukan berita baik buat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah semakin dekatnya pengumuman hasil resmi Pemilu 2019. Komisi Pemilihan Umum (KPU) rencananya akan merilis hasil Pileg dan Pilpres pada 22 Mei.
The moment of truth sudah semakin dekat. Siapa yang bakal menjadi pemimpin dan wakil rakyat dalam 5 tahun ke depan akan menjadi terang-benderang pada Rabu mendatang.
Namun semakin dekat ke Hari H, situasi bukannya tenang tetapi malah semakin gaduh. Kubu pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus menyuarakan dalam Pemilu sehingga hasilnya tidak sah. Artinya, ada delegitimasi atas keputusan KPU.
Rencana aksi massa besar-besaran pada 22 Mei pun kian santer terdengar. Bahkan kepolisian mengendus upaya teror yang akan menunggangi aksi tersebut.
Dag-dig-dug-der menuju 22 Mei ini bisa membuat pelaku pasar memilih untuk menunggu terlebih dulu. Ada kemungkinan investor menunda rencana masuk ke pasar keuangan Indonesia sebelum situasi agak tenang.
Apabila ini terjadi, maka pasar keuangan Indonesia bisa jadi bakal melanjutkan masa prihatin. Kurangnya 'darah' tentu akan membuat IHSG cs terkulai lemas.
Akan tetapi, ada sentimen kelima yang memberi harapan. Berapa koreksi IHSG pekan lalu? 6,16%. Berapa depresiasi rupiah? 0,87%.
Koreksi yang sudah dalam tersebut membuat IHSG dan rupiah berpotensi mengalami technical rebound. Valuasi IHSG dan rupiah yang sudah murah bisa memancing investor untuk kembali datang dan melakukan aksi borong. Kalau ini sampai kejadian, maka awan mendung yang menggelayuti Indonesia bisa berlalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell
Sepanjang pekan lalu, IHSG jatuh 6,16% secara point-to-point. Indeks saham Asia juga sebagian besar melemah, tetapi koreksi IHSG menjadi yang paling dalam.
Dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,87%. Tidak cuma rupiah, sebagian besar mata uang utama Benua Kuning juga terdepresiasi di hadapan greenback, seperti yen Jepang (-0,12%), yuan China (-1,41%), won Korea Selatan (-1,66%), rupee India (-0,39%), dolar Singapura (-1,07%), ringgit Malaysia (-0,43%), sampai baht Thailand (-0.98%).
Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 0,8 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga aset ini sedang turun akibat tingginya aksi jual.
Selama minggu kemarin, investor asing memang getol melepas aset-aset di pasar keuangan Indonesia. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih mencapai Rp 3,63 triliun. Sementara di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing pada 16 Mei tercatat Rp 954,13 triliun, turun Rp 7,89 triliun dibandingkan sepekan sebelumnya.
Harap maklum, investor global dibuat ketar-ketir karena perang dagang AS-China yang kembali memanas. AS memberlakukan kenaikan bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Langkah ini dibalas oleh China dengan menaikkan bea masuk untuk importasi produk made in the USA senilai US$ 60 miliar dari semula 5-10% menjadi 20-25%.
Hubungan Washington dan Beijing yang sempat mesra setelah beberapa kali dialog dagang kini tegang lagi. Bahkan pembicaraan terakhir di Washington berakhir dengan menyisakan rasa tidak enak di mulut.
"Setiap negara memiliki martabat," tegas Liu He, Wakil Perdana Menteri China, usai pertemuan, mengutip Reuters.
Perang dagang AS-China yang kembali bergelora membuat prospek pertumbuhan ekonomi global meredup. Arus perdagangan dan rantai pasok global akan terhambat sehingga ikut meredam aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Sementara dari dalam negeri, tekanan yang dialami IHSG dkk datang dari rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada April defisit US$ 2,5 miliar. Ini menjadi defisit paling dalam sepanjang sejarah bangsa Indonesia.
Akibat rilis data ini, Bank Indonesia (BI) sepertinya menjadi kurang yakin terhadap proyeksi transaksi berjalan (current account). Meski masih memproyeksikan defisit transaksi berjalan di kisaran 2,5-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019, tetapi rasanya akan lebih lebar dari perkiraan semula.
Dua perkembangan ini menjadi pukulan bagi rupiah. Dengan pasokan devisa dari sektor perdagangan yang minim cenderung seret, maka fondasi penopang rupiah menjadi rapuh karena hanya mengandalkan arus modal dari pasar keuangan alias hot money. Rentan sekali.
Rupiah yang rentan melemah membuat aset-aset berbasis mata uang ini kena gerahnya, ikut terkena tekanan jual. Sebab, investor mana yang mau memegang aset dengan risiko penurunan nilai?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama finis di zona merah pada perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,38%, S&P 500 melemah 0,58%, dan Nasdaq Composite amblas 1,04%.
Investor di pasar saham New York panik, karena tersiar kabar perundingan dagang AS-China terancam mandek. Tidak bisa dilanjutkan lagi. Selamat tinggal damai dagang.
"Akibat hal-hal yang dilakukan AS sepanjang proses negosiasi, kami meyakini bahwa kalau memang ada sesuatu dari dialog ini tentu harus dibuktikan dengan ketulusan," sindir Lu Kang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, dikutip dari Reuters.
Rasanya China sudah lelah dengan provokasi AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Ogah terus disudutkan, China pun mulai mengamuk.
"Perang dagang tidak akan membuat kami tunduk. Itu hanya akan membuat kami lebih kuat!" tulis tajuk People's Daily, harian terbitan Partai Komunis China, mengutip Reuters.
Amukan China tampaknya mulai menuai hasil, AS sepertinya gentar juga. Kementerian Perdagangan AS tengah mempertimbangkan pengurangan sanksi terhadap Huawei (perusahaan telekomunikasi asal China) yang masuk ke daftar hitam.
Kementerian yang dipimpin Wilbur Ross tersebut tengah mengkaji pemberian waktu bagi perusahaan dan individu untuk tetap bisa menggunakan perangkat Huawei milik mereka. Tenggat waktu ini kabarnya akan berlaku selama 90 hari. Namun hanya berlaku untuk perangkat yang sudah dimiliki sebelumnya (existing), bukan transaksi pembelian baru.
Akan tetapi, pelaku pasar terlanjur takut. Aset-aset berisiko seperti saham pun ditinggalkan dan instrumen aman seperti obligasi pemerintah AS kebanjiran peminat. Sepanjang pekan lalu, yield instrumen ini terkoreksi 6,2 bps.
Bukan cuma pada akhir pekan, Wall Street juga terkoreksi secara mingguan. DJIA minus 0,69%, S&P 500 berkurang 0,76%, dan Nasdaq melemah 0,17%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu performa Wall Street yang kurang memuaskan baik pada perdagangan akhir pekan maupun secara mingguan. Ini dikhawatirkan menjadi perusak mood pelaku pasar di Asia dalam memulai pekan yang baru.
Sentimen kedua, investor masih harus memasang mata dan telinga untuk mendapatkan kabar terbaru seputar perkembangan hubungan AS-China. Semoga langkah AS yang melunak dengan memberikan keringanan terkait sanksi kepada Huawei mendapat respons positif dari China sehingga dialog dagang bisa dilanjutkan lagi.
Jika perang dagang terus terjadi dan bahkan semakin parah, maka pertaruhannya adalah perekonomian dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) kembali memberi wanti-wanti bahwa perang dagang akan menjadi salah satu risiko utama.
"Risiko (pertumbuhan ekonomi) ke bawah yang ada saat ini adalah berlanjutnya tensi antara AS dan China. Kalau tensi ini tidak bisa diselesaikan, maka akan menjadi risiko ke depannya," tegas Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, seperti dikutip dari Reuters.
Namun emosi China sejauh ini belum reda. Tajuk di kantor berita Xinhua menyebutkan bahwa Negeri Tirai Bambu tidak akan mengalah terhadap bullying yang dilakukan AS.
"AS sekali lagi melakukan bullying kepada China. Namun trik AS dengan menekan China tidak akan berhasil. Hambatan ini justru membuat China semakin kuat, dan perjalanan menuju kebangkitan ekonomi nasional tidak terbendung," tegas tajuk tersebut.
Well, semoga ada kabar baik yang menenangkan. Terserah itu dari Washington atau Beijing, yang penting adem. Sebab kalau tidak, perang dagang masih akan menjadi risiko yang bisa menyeret pasar keuangan global ke zona merah.
Sentimen ketiga adalah ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara Arab Saudi dan kawan-kawan dengan Iran. Belum lama ini, koalisi Arab Saudi menggempur ibukota Yaman, Sanaa, melalui serangan udara dengan dalih memberantas milisi Houthi yang dibekingi Iran.
"Kerajaan Arab Saudi tidak ingin ada perang di kawasan ini, dan tidak ingin mencari perang. Kami akan melakukan sebisa mungkin untuk mencegah perang. Namun pada saat yang sama, Kerajaan akan merespons dengan segenap kekuatan serta melindungi diri dan kepentingannya," jelas Adel Al Jubeir, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, dikutip dari Reuters.
Pernyataan senada dikemukakan oleh Teheran. Mayor Jenderal Hossein Salami, Komandan Korps Penjaga Revolusi Islam Iran, menegaskan pihaknya tidak mencari perang tetapi tidak takut kalau itu sampai terjadi (amit-amit).
Ketegangan di Timur Tengah dikhawatirkan bisa mempengaruhi harga minyak. Konflik (kalau berkepanjangan) bisa membuat pasokan si emas hitam dari kawasan tersebut terhambat. Timur Tengah adalah daerah penghasil minyak terbesar di dunia, sehingga saat pasokan dari sana berkurang maka harga bisa naik cukup signifikan.
Terbukti sepanjang pekan lalu harga minyak jenis brent melonjak 2,25%. Sementara harga light sweet naik sampai 1,78%.
Jika tren ini berlanjut, maka bisa menjadi alamat jelek buat rupiah. Pasalnya, kenaikan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini semakin mahal. Padahal Indonesia mau tidak mau harus mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum juga memadai.
Artinya, akan ada tekanan bagi neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ini bukan berita baik buat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah semakin dekatnya pengumuman hasil resmi Pemilu 2019. Komisi Pemilihan Umum (KPU) rencananya akan merilis hasil Pileg dan Pilpres pada 22 Mei.
The moment of truth sudah semakin dekat. Siapa yang bakal menjadi pemimpin dan wakil rakyat dalam 5 tahun ke depan akan menjadi terang-benderang pada Rabu mendatang.
Namun semakin dekat ke Hari H, situasi bukannya tenang tetapi malah semakin gaduh. Kubu pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terus menyuarakan dalam Pemilu sehingga hasilnya tidak sah. Artinya, ada delegitimasi atas keputusan KPU.
Rencana aksi massa besar-besaran pada 22 Mei pun kian santer terdengar. Bahkan kepolisian mengendus upaya teror yang akan menunggangi aksi tersebut.
Dag-dig-dug-der menuju 22 Mei ini bisa membuat pelaku pasar memilih untuk menunggu terlebih dulu. Ada kemungkinan investor menunda rencana masuk ke pasar keuangan Indonesia sebelum situasi agak tenang.
Apabila ini terjadi, maka pasar keuangan Indonesia bisa jadi bakal melanjutkan masa prihatin. Kurangnya 'darah' tentu akan membuat IHSG cs terkulai lemas.
Akan tetapi, ada sentimen kelima yang memberi harapan. Berapa koreksi IHSG pekan lalu? 6,16%. Berapa depresiasi rupiah? 0,87%.
Koreksi yang sudah dalam tersebut membuat IHSG dan rupiah berpotensi mengalami technical rebound. Valuasi IHSG dan rupiah yang sudah murah bisa memancing investor untuk kembali datang dan melakukan aksi borong. Kalau ini sampai kejadian, maka awan mendung yang menggelayuti Indonesia bisa berlalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal I-2019 (06:50 WIB).
- Rilis data neraca transaksi berjalan Zona Euro periode Maret (16:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY) | 5,17% |
Inflasi (April 2019 YoY) | 2,83% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (Q I-2019) | -2,6% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | US$ 2,42 miliar |
Cadangan devisa (April 2019) | US$ 124,29 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kalau IHSG dan Rupiah Melemah, Itu Gara-gara Jerome Powell
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular