
Newsletter
Kalau tak Ada Aral Melintang, IHSG & Rupiah Menguat Hari Ini
Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 April 2019 06:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditransaksikan bervariasi pada perdagangan kemarin, Senin (29/4/2019): Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,39% ke level 6.425,9, sementara nilai tukar rupiah melemah 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.195/dolar AS.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas indeks saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,97%, indeks Straits Times naik 1,49%, dan indeks Kospi naik 1,7%.
Sementara itu, kinerja rupiah juga senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang terdepresiasi melawan dolar AS. Namun, depresiasi rupiah menjadi yang kedua terdalam.
Optimisme bahwa perekonomian AS tak akan mengalami hard landing menghasilkan output yang berbeda di pasar saham dan pasar valuta asing.
Menjelang akhir pekan kemarin, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan sebesar 3,2% (QoQ annualized), jauh di atas konsensus dan capaian kuartal sebelumnya yang hanya sebesar 2,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.
Rilis data tersebut melengkapi rangkaian rilis data ekonomi AS sebelumnya yang juga oke. Pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) diumumkan naik 2,7% MoM pada bulan Maret, menandai kenaikan tertinggi sejak Agustus 2018 dan jauh mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, belum lama ini International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2019 menjadi 2,3%, dari yang sebelumnya 2,5% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%.
Ketika perekonomian AS berada dalam kondisi yang kuat, tentu negara-negara lain akan ikut merasakan dampak positifnya, mengingat posisi AS sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Bagi pasar saham, laju perekonomian yang oke tentu menjadi sebuah katalis positif.
Namun, berbeda cerita jika berbicara mengenai pasar valuta asing. Deretan data ekonomi AS yang kinclong membuat keyakinan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas suku bunga acuan pada tahun ini menjadi memudar. Praktis, dolar AS menjadi memiliki daya tarik yang besar sehingga mata uang negara-negara Asia dilego pelaku pasar, tak terkecuali rupiah.
BERLANJUT KE HALAMAN 2
Beralih ke AS, Wall Street menorehkan kinerja yang impresif, di mana indeks Dow Jones ditutup naik 0,04%, sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite menguat masing-masing sebesar 0,11% dan 0,19%. Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite berakhir di level penutupan tertinggi sepanjang masa.
Rilis data ekonomi yang lagi-lagi menggembirakan sukses membangkitkan hasrat investor untuk berburu saham-saham di Negeri Paman Sam. Kemarin, personal spending periode Maret 2019 diumumkan tumbuh sebesar 0,9% secara bulanan, di atas capaian periode Februari yang sebesar 0,1%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yang sebesar 0,7%, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai catatan, data ini menggambarkan perubahan jumlah uang yang dibelanjakan oleh konsumen di AS (setelah disesuaikan dengan inflasi).
Selain oleh data ekonomi, kuatnya laju perekonomian AS juga dibuktikan oleh rilis laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di sana.
Hingga Senin pagi waktu setempat, dari 231 perusahaan anggota indeks S&P 500 yang sudah merilis kinerja keuangan kuartalannya, sebanyak 77,5% di antaranya berhasil mencatatkan laba bersih di atas ekspektasi, menurut data FactSet yang dilansir dari CNBC International. Rata-rata pertumbuhan laba bersihnya adalah sebesar 1% secara tahunan, jauh di atas ekspektasi yakni kontraksi sebesar 4,2%.
Lebih lanjut, sentimen positif bagi bursa saham Negeri Paman Sam datang dari optimisme yang menyelimuti negosiasi dagang AS-China. Pada hari ini, delegasi AS dijadwalkan menggelar negosiasi dagang lanjutan dengan China di Beijing.
Dalam pernyataan tertulisnya yang dirilis pada pekan lalu, Gedung Putih mengatakan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan memimpin delegasi AS. Sementara itu, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.
Dalam pertemuan pekan ini, isu-isu krusial yang selama ini sulit sekali untuk dipecahkan seperti pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa akan kembali dibahas.
BERLANJUT KE HALAMAN 3
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dari Wall Street yang bisa dibilang sangat positif. Walaupun penguatan kemarin tak signifikan, namun sudah cukup untuk membuat indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite ditutup di level tertinggi sepanjang masa, sesuatu yang pastinya tidak mudah untuk dilakukan.
Sentimen kedua yang perlu dicermati adalah perkembangan seputar negosiasi dagang AS-China. Melansir pemberitaan New York Times yang dikutip dari CNBC International, negosiasi dagang antara AS dan China disebut Mnuchin sudah memasuki tahap akhir.
“Saya rasa kedua belah pihak memiliki keinginan untuk mencapai sebuah kesepakatan,” papar Mnuchin. “Kami telah mencapi banyak kemajuan.”
Namun, pernyataan defensif juga diungkapkan Mnuchin. Menurutnya, walaupun kedua negara sudah mendekati sebuah kesepakatan, kini negosiasi memasuki tahap di mana sebuah kesepakatan bisa diteken atau justru berakhir tanpa kesepakatan sama sekali.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Jika kesepakatan dagang bisa segera disegel, ada kemungkinan bahwa pengenaan bea masuk tersebut akan dicabut, mendorong perekonomian AS dan China melaju lebih kencang.
Mengingat nasib perekonomian AS dan China selaku 2 negara dengan nilai perekonomian terbesar yang menjadi taruhannya, pelaku pasar patut mencermati segala perkembangan yang datang dari China, tepatnya Beijing.
Kalau sampai nada-nada positif terdengar dari sana, maka aksi beli dengan intensitas yang besar bisa terjadi di pasar keuangan Asia. Sebaliknya, kalau nada-nada negatif yang terdengar, aksi jual dengan intensitas yang besar bisa jadi merupakan sebuah keniscayaan.
BERLANJUT KE HALAMAN 4
Sentimen ketiga yang perlu dicermati investor adalah pergerakan dolar AS. Sepertinya, mata uang negara-negara kawasan Asia akan perkasa di hadapan greenback pada hari ini, termasuk rupiah. Hingga pukul 05:33 WIB, indeks dolar AS terkoreksi sebesar 0,16%.
Sejatinya, data ekonomi yang dirilis di AS masih kondusif untuk mendorong aksi beli atas dolar AS. Namun, penguatan yang sudah cukup tinggi membuat pelaku pasar lebih memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah didapatkan. Alhasil, dolar AS menjadi loyo. Dalam sepekan terakhir, indeks dolar AS sudah menguat sebesar 0,58%.
Khusus untuk rupiah, pelemahan pada perdagangan kemarin membuatnya resmi tak pernah mencetak apresiasi selama 6 hari beruntun. Kali terakhir rupiah menguat adalah sehari selepas gelaran pemilihan umum atau pada tanggal 18 April silam. Selepas itu, rupiah ditransaksikan melemah atau setidaknya flat. Alhasil, ruang bagi investor untuk mengakumulasi rupiah pada hari ini menjadi terbuka lebar.
Apalagi, harga minyak mentah dunia terlihat mendukung bagi rupiah. Hingga pukul 5:45 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Juni hanya naik tipis 0,09% ke level US$ 63,56/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni turun 0,26% ke level US$ 71,96/barel.
Kala harga minyak mentah terkendali, ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan bisa ditekan.
Sebagai informasi, sepanjang kuartal-IV 2018, CAD Indonesia tercatat senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Penguatan rupiah pada akhirnya diharapkan bisa ‘merayu’ investor asing yang kemarin membukukan jual bersih senilai Rp 336,7 miliar di pasar saham tanah air (pasar reguler) untuk kembali masuk.
Jadi, kalau tak ada aral melintang, seharusnya IHSG dan rupiah bisa sama-sama menguat pada hari ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 5
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
(ank/prm) Next Article Welcome, 2022! Please be Kind to Us...
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas indeks saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,97%, indeks Straits Times naik 1,49%, dan indeks Kospi naik 1,7%.
Sementara itu, kinerja rupiah juga senada dengan mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya yang terdepresiasi melawan dolar AS. Namun, depresiasi rupiah menjadi yang kedua terdalam.
Optimisme bahwa perekonomian AS tak akan mengalami hard landing menghasilkan output yang berbeda di pasar saham dan pasar valuta asing.
Menjelang akhir pekan kemarin, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan sebesar 3,2% (QoQ annualized), jauh di atas konsensus dan capaian kuartal sebelumnya yang hanya sebesar 2,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.
Rilis data tersebut melengkapi rangkaian rilis data ekonomi AS sebelumnya yang juga oke. Pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) diumumkan naik 2,7% MoM pada bulan Maret, menandai kenaikan tertinggi sejak Agustus 2018 dan jauh mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,7% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Maret 2019 diumumkan naik sebesar 1,6% secara bulanan, menandai kenaikan tertinggi sejak September 2017 dan jauh membaik dibandingkan capaian bulan Februari yakni kontraksi sebesar 0,2%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yakni pertumbuhan sebesar 0,9% saja, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai informasi, belum lama ini International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2019 menjadi 2,3%, dari yang sebelumnya 2,5% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%.
Ketika perekonomian AS berada dalam kondisi yang kuat, tentu negara-negara lain akan ikut merasakan dampak positifnya, mengingat posisi AS sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Bagi pasar saham, laju perekonomian yang oke tentu menjadi sebuah katalis positif.
Namun, berbeda cerita jika berbicara mengenai pasar valuta asing. Deretan data ekonomi AS yang kinclong membuat keyakinan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas suku bunga acuan pada tahun ini menjadi memudar. Praktis, dolar AS menjadi memiliki daya tarik yang besar sehingga mata uang negara-negara Asia dilego pelaku pasar, tak terkecuali rupiah.
BERLANJUT KE HALAMAN 2
Beralih ke AS, Wall Street menorehkan kinerja yang impresif, di mana indeks Dow Jones ditutup naik 0,04%, sementara indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite menguat masing-masing sebesar 0,11% dan 0,19%. Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite berakhir di level penutupan tertinggi sepanjang masa.
Rilis data ekonomi yang lagi-lagi menggembirakan sukses membangkitkan hasrat investor untuk berburu saham-saham di Negeri Paman Sam. Kemarin, personal spending periode Maret 2019 diumumkan tumbuh sebesar 0,9% secara bulanan, di atas capaian periode Februari yang sebesar 0,1%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yang sebesar 0,7%, seperti dilansir dari Forex Factory.
Sebagai catatan, data ini menggambarkan perubahan jumlah uang yang dibelanjakan oleh konsumen di AS (setelah disesuaikan dengan inflasi).
Selain oleh data ekonomi, kuatnya laju perekonomian AS juga dibuktikan oleh rilis laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di sana.
Hingga Senin pagi waktu setempat, dari 231 perusahaan anggota indeks S&P 500 yang sudah merilis kinerja keuangan kuartalannya, sebanyak 77,5% di antaranya berhasil mencatatkan laba bersih di atas ekspektasi, menurut data FactSet yang dilansir dari CNBC International. Rata-rata pertumbuhan laba bersihnya adalah sebesar 1% secara tahunan, jauh di atas ekspektasi yakni kontraksi sebesar 4,2%.
Lebih lanjut, sentimen positif bagi bursa saham Negeri Paman Sam datang dari optimisme yang menyelimuti negosiasi dagang AS-China. Pada hari ini, delegasi AS dijadwalkan menggelar negosiasi dagang lanjutan dengan China di Beijing.
Dalam pernyataan tertulisnya yang dirilis pada pekan lalu, Gedung Putih mengatakan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan memimpin delegasi AS. Sementara itu, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.
Dalam pertemuan pekan ini, isu-isu krusial yang selama ini sulit sekali untuk dipecahkan seperti pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa akan kembali dibahas.
BERLANJUT KE HALAMAN 3
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan dari Wall Street yang bisa dibilang sangat positif. Walaupun penguatan kemarin tak signifikan, namun sudah cukup untuk membuat indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite ditutup di level tertinggi sepanjang masa, sesuatu yang pastinya tidak mudah untuk dilakukan.
Sentimen kedua yang perlu dicermati adalah perkembangan seputar negosiasi dagang AS-China. Melansir pemberitaan New York Times yang dikutip dari CNBC International, negosiasi dagang antara AS dan China disebut Mnuchin sudah memasuki tahap akhir.
“Saya rasa kedua belah pihak memiliki keinginan untuk mencapai sebuah kesepakatan,” papar Mnuchin. “Kami telah mencapi banyak kemajuan.”
Namun, pernyataan defensif juga diungkapkan Mnuchin. Menurutnya, walaupun kedua negara sudah mendekati sebuah kesepakatan, kini negosiasi memasuki tahap di mana sebuah kesepakatan bisa diteken atau justru berakhir tanpa kesepakatan sama sekali.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Jika kesepakatan dagang bisa segera disegel, ada kemungkinan bahwa pengenaan bea masuk tersebut akan dicabut, mendorong perekonomian AS dan China melaju lebih kencang.
Mengingat nasib perekonomian AS dan China selaku 2 negara dengan nilai perekonomian terbesar yang menjadi taruhannya, pelaku pasar patut mencermati segala perkembangan yang datang dari China, tepatnya Beijing.
Kalau sampai nada-nada positif terdengar dari sana, maka aksi beli dengan intensitas yang besar bisa terjadi di pasar keuangan Asia. Sebaliknya, kalau nada-nada negatif yang terdengar, aksi jual dengan intensitas yang besar bisa jadi merupakan sebuah keniscayaan.
BERLANJUT KE HALAMAN 4
Sentimen ketiga yang perlu dicermati investor adalah pergerakan dolar AS. Sepertinya, mata uang negara-negara kawasan Asia akan perkasa di hadapan greenback pada hari ini, termasuk rupiah. Hingga pukul 05:33 WIB, indeks dolar AS terkoreksi sebesar 0,16%.
Sejatinya, data ekonomi yang dirilis di AS masih kondusif untuk mendorong aksi beli atas dolar AS. Namun, penguatan yang sudah cukup tinggi membuat pelaku pasar lebih memilih untuk merealisasikan keuntungan yang sudah didapatkan. Alhasil, dolar AS menjadi loyo. Dalam sepekan terakhir, indeks dolar AS sudah menguat sebesar 0,58%.
Khusus untuk rupiah, pelemahan pada perdagangan kemarin membuatnya resmi tak pernah mencetak apresiasi selama 6 hari beruntun. Kali terakhir rupiah menguat adalah sehari selepas gelaran pemilihan umum atau pada tanggal 18 April silam. Selepas itu, rupiah ditransaksikan melemah atau setidaknya flat. Alhasil, ruang bagi investor untuk mengakumulasi rupiah pada hari ini menjadi terbuka lebar.
Apalagi, harga minyak mentah dunia terlihat mendukung bagi rupiah. Hingga pukul 5:45 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Juni hanya naik tipis 0,09% ke level US$ 63,56/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juni turun 0,26% ke level US$ 71,96/barel.
Kala harga minyak mentah terkendali, ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan bisa ditekan.
Sebagai informasi, sepanjang kuartal-IV 2018, CAD Indonesia tercatat senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.
Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Penguatan rupiah pada akhirnya diharapkan bisa ‘merayu’ investor asing yang kemarin membukukan jual bersih senilai Rp 336,7 miliar di pasar saham tanah air (pasar reguler) untuk kembali masuk.
Jadi, kalau tak ada aral melintang, seharusnya IHSG dan rupiah bisa sama-sama menguat pada hari ini.
BERLANJUT KE HALAMAN 5
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur China periode April (08:00 WIB)
- Rilis pertumbuhan ekonomi Zona Euro kuartal I-2019 (16:00 WIB)
- Rilis tingkat pengangguran Zona Euro periode Maret (16:00 WIB)
- Rilis tingkat pengagguran Jerman periode April (14:55 WIB)
- Rilis tingkat inflasi Jerman periode April (19:00 WIB)
- Rilis Indeks Keyakinan Konsumen Amerika Serikat (AS) periode April (21:00 WIB)
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Maret 2019 YoY) | 2,48% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2019) | US$ 124,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm) Next Article Welcome, 2022! Please be Kind to Us...
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular